Meski Diprotes Batik Pangonal Labuhanbatu Tetap Disalurkan ke Murid SD
A
A
A
RANTAUPRAPAT - Meskipun sudah pernah diprotes sejumlah warga, Batik Pangonal Labuhanbatu masih tetap disalurkan kepada siswa di beberapa SDN di Rantauprapat Kabupaten Labuhanbatu. Padahal pengadaan batik itu sumber dananya berasal dari uang masing-masing orangtua siswa. Waktu itu dikutip sebesar Rp200 ribu lebih per murid untuk pengadaan satu helai pakaian batik dan stu stel pakaian olahraga, saat pemerimaan siswa SD beberapa bulan lalu.
Akibatnya, sejumlah orangtua siswa tidak berkenan anaknya dibawa ke ranah politik dengan menggunakan pakaian batik tersebut.
Salah satu orang tua siswa berisial NM (46) warga Rantau Utara mengatakan, awalnya dia kaget melihat pakaian bertuliskan Pangonal Labuhanbatu dipakai olah anaknya yang masih duduk di Sekolah Dasar Negeri.
"Memang setelah mendapat protes waktu itu, batik yang bertuliskan Pangonal Labuhanbatu dicoret pakai corak merah, tetapi nama Pangonal Labuhanbatu itu masih jelas terbaca," kata NM Selasa (17/1/2017).
Dia mengaku tidak setuju dengan nama Batik Pangonal Labuhanbatu yang memanfaatkan pengadaan pakaian dari uang orangtua murid yang mencatut dan mempromosikan nama Pangonal Labuhanbatu.
"Kalau memang mau buat namanya Bupati Pangonal, jangan manfaatkan uang yang dikumpul dari orangtua siswa," bebernya.
Sementara, salah seorang PNS di lingkungan Dinas Pendidikan Labuhanbatu yang tidak bersedia disebut namanya, menyatakan, sudah pernah menolak pakaian batik bertuliskan Pangonal Labuhanbatu untuk siswa SDN dan SMPN itu.
Sebab, sudah banyak yang protes serta keberatan, sehingga dia meminta pihak pengadaan batik bernama Batin agar tidak lagi menyalurkannya ke sekolah, kecuali nama Pangonal Labuhanbatu tidak ada lagi ditulis di batik tersebut.
Namun belakangan nama Pangonal Labuhanbatu masih tetap terbaca dengan jelas, walaupun sudah dicoret dengan warna merah.
"Kebijakan-kebijakan itu sudah saya protes. Kalau ada nama bupati kami tolak, tetapi kalau masih dikasih ke siswa, kami tidak tahu. Itu yang pengadaannya namanya, Batin," ungkapnya.
Terpisah, pihak pengadaan batik bertuliskan Pangonal Labuhanbatu ketika dikonfirmasi enggan memberikan keterangan. "Baju batik mana? Bawa kemari bajunya," ungkapnya seraya langsung menutup telepon selularnya.
Saat disinggung melalui pesan singkat, untuk menanyakan komentarnya apakah dia menyarankan, setiap siswa yang mendapat baju batik itu dapat dikembalikan orang tua siswa ke kediamannya, belum mendapat jawaban.
Sebelumnya, pembelian pakaian seragam batik sekolah untuk siswa/i SMPN bertuliskan Batik Pangonal Labuhanbatu juga dianggap melanggar peraturan pemerintah (PP) tetang pengelolaan pendidikan nasional.
Pasalnya, batik yang harus dibeli siswa/i SMPN sebesar Rp200.000 untuk seragam batik, training dan atribut itu, dinilai melanggar Peraturan Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 pasal 181 hurup a, tetang pengelolaan pendidikan yang melarang adanya penjualan pakaian di sekolah.
Ketua Komite salah satu SMPN di Labuhanbatu berinisial CS (62) mengatakan, jika pemerintah daerah ingin berhasil dalam dunia pendidikan, harus melepaskan kepentingan politik serta bisnis dalam pendidikan. "Kalau dipaksakan beli batik itu, saya tidak setuju," kata CS.
Dia menceritakan, pihaknya tidak tahu siapa yang bersepakat untuk mengharuskan pungtipan uang untuk membeli seragam SMPN Batik Pangonal Labuhanbatu.
"Tiba-tiba sudah nyelonong ada kewajiban membeli batik. Waktu penerimaan siswa SMPN baru dikutip uangnya Rp200 ribu untuk beli baju batik, trening dan atribut. Kalau soal simbol ga apalah. Tapi batik dan traning ini jadi masalah, karena melanggar Peraturan Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 pasal 181 hurup a, tetang pengelolaan pendidikan yang melarang adanya penjualan pakaian di sekolah," ungkapnya.
Akibatnya, sejumlah orangtua siswa tidak berkenan anaknya dibawa ke ranah politik dengan menggunakan pakaian batik tersebut.
Salah satu orang tua siswa berisial NM (46) warga Rantau Utara mengatakan, awalnya dia kaget melihat pakaian bertuliskan Pangonal Labuhanbatu dipakai olah anaknya yang masih duduk di Sekolah Dasar Negeri.
"Memang setelah mendapat protes waktu itu, batik yang bertuliskan Pangonal Labuhanbatu dicoret pakai corak merah, tetapi nama Pangonal Labuhanbatu itu masih jelas terbaca," kata NM Selasa (17/1/2017).
Dia mengaku tidak setuju dengan nama Batik Pangonal Labuhanbatu yang memanfaatkan pengadaan pakaian dari uang orangtua murid yang mencatut dan mempromosikan nama Pangonal Labuhanbatu.
"Kalau memang mau buat namanya Bupati Pangonal, jangan manfaatkan uang yang dikumpul dari orangtua siswa," bebernya.
Sementara, salah seorang PNS di lingkungan Dinas Pendidikan Labuhanbatu yang tidak bersedia disebut namanya, menyatakan, sudah pernah menolak pakaian batik bertuliskan Pangonal Labuhanbatu untuk siswa SDN dan SMPN itu.
Sebab, sudah banyak yang protes serta keberatan, sehingga dia meminta pihak pengadaan batik bernama Batin agar tidak lagi menyalurkannya ke sekolah, kecuali nama Pangonal Labuhanbatu tidak ada lagi ditulis di batik tersebut.
Namun belakangan nama Pangonal Labuhanbatu masih tetap terbaca dengan jelas, walaupun sudah dicoret dengan warna merah.
"Kebijakan-kebijakan itu sudah saya protes. Kalau ada nama bupati kami tolak, tetapi kalau masih dikasih ke siswa, kami tidak tahu. Itu yang pengadaannya namanya, Batin," ungkapnya.
Terpisah, pihak pengadaan batik bertuliskan Pangonal Labuhanbatu ketika dikonfirmasi enggan memberikan keterangan. "Baju batik mana? Bawa kemari bajunya," ungkapnya seraya langsung menutup telepon selularnya.
Saat disinggung melalui pesan singkat, untuk menanyakan komentarnya apakah dia menyarankan, setiap siswa yang mendapat baju batik itu dapat dikembalikan orang tua siswa ke kediamannya, belum mendapat jawaban.
Sebelumnya, pembelian pakaian seragam batik sekolah untuk siswa/i SMPN bertuliskan Batik Pangonal Labuhanbatu juga dianggap melanggar peraturan pemerintah (PP) tetang pengelolaan pendidikan nasional.
Pasalnya, batik yang harus dibeli siswa/i SMPN sebesar Rp200.000 untuk seragam batik, training dan atribut itu, dinilai melanggar Peraturan Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 pasal 181 hurup a, tetang pengelolaan pendidikan yang melarang adanya penjualan pakaian di sekolah.
Ketua Komite salah satu SMPN di Labuhanbatu berinisial CS (62) mengatakan, jika pemerintah daerah ingin berhasil dalam dunia pendidikan, harus melepaskan kepentingan politik serta bisnis dalam pendidikan. "Kalau dipaksakan beli batik itu, saya tidak setuju," kata CS.
Dia menceritakan, pihaknya tidak tahu siapa yang bersepakat untuk mengharuskan pungtipan uang untuk membeli seragam SMPN Batik Pangonal Labuhanbatu.
"Tiba-tiba sudah nyelonong ada kewajiban membeli batik. Waktu penerimaan siswa SMPN baru dikutip uangnya Rp200 ribu untuk beli baju batik, trening dan atribut. Kalau soal simbol ga apalah. Tapi batik dan traning ini jadi masalah, karena melanggar Peraturan Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 pasal 181 hurup a, tetang pengelolaan pendidikan yang melarang adanya penjualan pakaian di sekolah," ungkapnya.
(sms)