Siti Fatimah: Seperti yang Lain, Saya Menolak Penggusuran
A
A
A
BLITAR - Siti Fatimah (75) belum tahu apakah masih bisa menyambung hidup dari berjualan makanan atau tidak. Sebab, tempat tinggalnya terlalu masuk ke dalam, kurang representatif. Posisinya juga sempit berdekatan dengan sungai. Karenanya, kalau hari ini Pemerintah Kota Blitar benar-benar menggusur seluruh pedagang Jalan Mastrip, mata pencaharian warga Kecamatan Kepanjen Kidul, Kota Blitar ini dipastikan tamat.
"Sepertinya tidak bisa lagi, Mas. Soalnya rumahnya tidak memungkinkan," keluh Fatimah.
Siang itu, pukul 14.30 WIB, pintu terluar warung bermodel pagar kayu jeruji masih terbentang lebar. Pertanda warung rawon daging sapi Fatima masih buka. Ini tidak biasanya mengingat setiap pukul 14.00 WIB lapak makanan ini selalu tutup .
Piring-piring berisi tempe goreng, dadar jagung, paha ayam yang belum lama ditiris dari penggorengan masih berderet rapi di balik etalase kaca. Lauk pauk itu masih menumpuk. Padahal, jelang sore piring-piring itu biasanya sudah bersih dan nangkring di tempat penyimpanan.
Maklum, beberapa hari ini Fatimah memang memeras keringat sendiri. Seorang diri dia menanak nasi, menuang sayur, menyeduh minuman sekaligus menyuguhkannya ke pengunjung. Sebab, sudah sepekan lebih pembantunya melahirkan dan belum menampakkan tanda bakal membantunya bekerja.
"Lagian juga akan digusur. Makanya bekerja lebih keras lagi," katanya.
Sejak tahun 1990, Fatimah mengais rezeki sebagai penjual nasi rawon di ruas Jalan Mastrip Kota Blitar. Jerih payahnya mampu membesarkan lima anak yang kini telah memberinya 15 cucu. Karenanya dia kaget saat Pemerintah Kota Blitar tiba-tiba melayangkan pemberitahuan bahwa Jalan Mastrip harus bersih dari pedagang kaki lima dan semacamnya.
Sebanyak 78 pedagang, yakni pedagang makanan minuman, sepatu, kacamata, helm, termasuk tukang cukur harus segera angkat kaki. Batas akhirnya 15 Januari 2017.
Pemkot memberikan uang bongkar Rp1,5 juta kepada setiap pedagang yang bersedia membongkar lapaknya sendiri. "Seperti yang lain, saya menolak penggusuran. Saya tidak percaya penggusuran itu bertujuan untuk membenahi saluran air dan melebarkan jalan," katanya.
Para pedagang kaki lima curiga penggusuran yang dilakukan Pemkot Blitar terkait erat dengan pembangunan ruko baru di kawasan Stasiun Kereta Api Kota Blitar. Ruko baru ini bersebelahan dekat dengan lokasi penggusuran. Apalagi, infomasi yang diterima pedagang harga sewa ruko mencapai ratusan juta per tahun.
Tidak heran Fatimah nekat memilih beradu mulut dengan petugas Satpol PP Kota Blitar yang melarangnya berjualan seminggu jelang penggusuran. "Saya katakan kepada petugas Satpol PP, asal kios saya dibeli, saya mau patuh," tegasnya.
Menurut Nawan selaku juru bicara pedagang Jalan Mastrip, harusnya Pemkot Blitar bisa memberi perhatan lebih baik kepada pedagang. "Ini namanya pembunuhan ekonomi wong cilik. Dan, selama ini kita membayar retribusi Rp2.000 per hari dan Rp5.000 per bulan," katanya.
Nawan masih ingat, keberadaan para pedagang di Jalan Mastrip merupakan keinginan Pemkot Blitar sendiri. Pada tahun 1990, Pemkot merelokasi pedagang di kawasan Klenteng ke Jalan Mastrip. Pedagang diizinkan menempati lahan dengan syarat sanggup membangun kiosnya sendiri. Karenanya, para pedagang ngotot melawan kebijakan semena-mena Pemkot Blitar.
Sebab, di sisi lain Pemkot memberikan ruang bagi pemodal besar, yakni mengizinkan pendirian mal dan pasar modern. "Di hari H penggusuran kita akan tetap berjualan. Serentak membuka warung sejak pagi," tegasnya.
Kini, di kawasan Jalan Mastrip banyak bermunculan spanduk bernada perlawanan. Saat ini para pedagang juga terus menggelar istigasah. Mereka mengharap hati nurani Wali Kota Blitar Muh Samanhudi Anwar bisa terbuka.
Wakil Ketua DPRD Kota Blitar Totok Sugiharto meminta pemerintah menunda penggusuran hingga ada kepastian relokasi. Sementara, Sekda Kota Blitar Rudi Wijanarko mengatakan bahwa tidak ada relokasi dalam penggusuran pedagang di kawasan Jalan Mastrip.
Menurut dia, pemkot hanya menyediakan dana Rp1,5 juta untuk setiap pedagang yang bersedia membongkar kiosnya sendiri. "Program ini memang murni untuk membenahi drainase dan pelebaran jalan," ujarnya.
"Sepertinya tidak bisa lagi, Mas. Soalnya rumahnya tidak memungkinkan," keluh Fatimah.
Siang itu, pukul 14.30 WIB, pintu terluar warung bermodel pagar kayu jeruji masih terbentang lebar. Pertanda warung rawon daging sapi Fatima masih buka. Ini tidak biasanya mengingat setiap pukul 14.00 WIB lapak makanan ini selalu tutup .
Piring-piring berisi tempe goreng, dadar jagung, paha ayam yang belum lama ditiris dari penggorengan masih berderet rapi di balik etalase kaca. Lauk pauk itu masih menumpuk. Padahal, jelang sore piring-piring itu biasanya sudah bersih dan nangkring di tempat penyimpanan.
Maklum, beberapa hari ini Fatimah memang memeras keringat sendiri. Seorang diri dia menanak nasi, menuang sayur, menyeduh minuman sekaligus menyuguhkannya ke pengunjung. Sebab, sudah sepekan lebih pembantunya melahirkan dan belum menampakkan tanda bakal membantunya bekerja.
"Lagian juga akan digusur. Makanya bekerja lebih keras lagi," katanya.
Sejak tahun 1990, Fatimah mengais rezeki sebagai penjual nasi rawon di ruas Jalan Mastrip Kota Blitar. Jerih payahnya mampu membesarkan lima anak yang kini telah memberinya 15 cucu. Karenanya dia kaget saat Pemerintah Kota Blitar tiba-tiba melayangkan pemberitahuan bahwa Jalan Mastrip harus bersih dari pedagang kaki lima dan semacamnya.
Sebanyak 78 pedagang, yakni pedagang makanan minuman, sepatu, kacamata, helm, termasuk tukang cukur harus segera angkat kaki. Batas akhirnya 15 Januari 2017.
Pemkot memberikan uang bongkar Rp1,5 juta kepada setiap pedagang yang bersedia membongkar lapaknya sendiri. "Seperti yang lain, saya menolak penggusuran. Saya tidak percaya penggusuran itu bertujuan untuk membenahi saluran air dan melebarkan jalan," katanya.
Para pedagang kaki lima curiga penggusuran yang dilakukan Pemkot Blitar terkait erat dengan pembangunan ruko baru di kawasan Stasiun Kereta Api Kota Blitar. Ruko baru ini bersebelahan dekat dengan lokasi penggusuran. Apalagi, infomasi yang diterima pedagang harga sewa ruko mencapai ratusan juta per tahun.
Tidak heran Fatimah nekat memilih beradu mulut dengan petugas Satpol PP Kota Blitar yang melarangnya berjualan seminggu jelang penggusuran. "Saya katakan kepada petugas Satpol PP, asal kios saya dibeli, saya mau patuh," tegasnya.
Menurut Nawan selaku juru bicara pedagang Jalan Mastrip, harusnya Pemkot Blitar bisa memberi perhatan lebih baik kepada pedagang. "Ini namanya pembunuhan ekonomi wong cilik. Dan, selama ini kita membayar retribusi Rp2.000 per hari dan Rp5.000 per bulan," katanya.
Nawan masih ingat, keberadaan para pedagang di Jalan Mastrip merupakan keinginan Pemkot Blitar sendiri. Pada tahun 1990, Pemkot merelokasi pedagang di kawasan Klenteng ke Jalan Mastrip. Pedagang diizinkan menempati lahan dengan syarat sanggup membangun kiosnya sendiri. Karenanya, para pedagang ngotot melawan kebijakan semena-mena Pemkot Blitar.
Sebab, di sisi lain Pemkot memberikan ruang bagi pemodal besar, yakni mengizinkan pendirian mal dan pasar modern. "Di hari H penggusuran kita akan tetap berjualan. Serentak membuka warung sejak pagi," tegasnya.
Kini, di kawasan Jalan Mastrip banyak bermunculan spanduk bernada perlawanan. Saat ini para pedagang juga terus menggelar istigasah. Mereka mengharap hati nurani Wali Kota Blitar Muh Samanhudi Anwar bisa terbuka.
Wakil Ketua DPRD Kota Blitar Totok Sugiharto meminta pemerintah menunda penggusuran hingga ada kepastian relokasi. Sementara, Sekda Kota Blitar Rudi Wijanarko mengatakan bahwa tidak ada relokasi dalam penggusuran pedagang di kawasan Jalan Mastrip.
Menurut dia, pemkot hanya menyediakan dana Rp1,5 juta untuk setiap pedagang yang bersedia membongkar kiosnya sendiri. "Program ini memang murni untuk membenahi drainase dan pelebaran jalan," ujarnya.
(zik)