Melongok Pemugaran Candi Sanggrahan Peninggalan Kerajaan Majapahit
A
A
A
TULUNGAGUNG - Pemugaran Candi Sanggrahan peninggalan Kerajaan Majapahit di Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, telah berlangsung satu tahun delapan bulan. Serupa operasi face off, runtuhan tak merata yang sebelumnya menghias 'wajah' candi lenyap sudah. Potongan batu andesit sempurna menambal sulam seluruh konstruksi yang sebelumnya rapuh dan tidak utuh.
Secara kasat mata, bangunan berubah total seperti bangunan baru. Sebagai peninggalan purbakala berasa muda. Aura yang memancar lebih cerah. Apalagi sejumlah nyiur yang sebelumnya menjadi peneduh tidak lagi tumbuh di sana.
"Penggunaan batu andesit itu seperti jenis batu aslinya. Hanya saja tentu usia batu ini lebih muda," kata Zaenuri (42), juru kunci Candi Sanggrahan kepada KORAN SINDO.
Suasana terasa sunyi. Satu satunya 'peziarah' di siang terik itu hanya tiga bocah yang tidak lain anak-anak warga setempat. Setelah kenyang bermain di sekitar bawah candi, anak-anak seusia siswa sekolah dasar itu satu per satu menaiki trap berundak. Mereka berhenti setiba di puncak. Trap berundak itu juga hasil pemugaran. Untuk menambal sulam, tim pemugar mendatangkan seluruh batu andesit dari Mojokerto.
Ketinggian Candi Sanggrahan mencapai 5,86 meter. Secara matematis memiliki panjang bangunan 12,60 meter dengan lebar 9,05 meter. Di puncak yang berupa lantai terdapat bagian khusus yang berisi timbunan pasir. "Saat hujan deras mengguyur pasir itu berfungsi sebagai resapan," kata Zaenuri.
Secara arsitektur, candi Budha Siwa yang berbentuk bujur sangkar itu menempatkan agian muka menghadap ke barat. Penempatan sumbu atau arah mata angin barat dan timur merupakan khas candi di Jawa Timur. Barat menjadi pintu masuk.
Sejumlah teks menyebut barat sebagai arah matahari terbenam sekaligus ditafsirkan kegelapan. Sedangkan sisi belakang candi selalu menghadap timur, berorientasi (pemujaan) ke gunung dan juga mengarah pada terbitnya matahari. Tidak heran gugusan perbukitan cadas berdiri menjulang di sebelah timur atau bagian belakang Candi Sanggrahan.
"Di Candi Sanggrahan ini rombongan Majapahit pembawa jenazah Gayatri atau Rajapatni, yakni permaisuri raja pertama Majapahit, singgah sebentar sebelum melanjutkan upacara perabuan," jelas Zaenuri yang merupakan juru kunci Candi Sanggrahan generasi ketiga.
Candi Sanggrahan berdiri pada tahun 1350. Pendirian candi bersama dengan perpindahan estafet kekuasaan Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani kepada Hayam Wuruk yang tak lain putranya sendiri.
Tribhuwanatunggadewi yang memerintah selama 22 tahun adalah anak Gayatri atau Rajapatni, istri Raden Wijaya, Raja Pertama Majapahit. Pada kurun waktu yang sama (1350) Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja keempat Majapahit dengan gelar Sri Rajasanagara. Di bawah pemerintahan Hayam Wuruk dengan tandem Patih Amangkubumi Gajah Mada, Kerajaan Majapahit mencapai puncak kebesarannya.
Dari Candi Sanggrahan, rombongan pembawa jenazah Gayatri melanjutkan perjalanan ke tempat yang kini bernama situs Candi Gayatri. Di lokasi yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari Candi Sanggrahan itu upacara perabuan jenazah dilakukan.
Gayatri di akhir hayatnya meninggalkan istana dan memilih laku hidup sebagai Bhiksuni atau pendeta Budha wanita. Tidak heran di Candi Sanggrahan terdapat enam arca Budha. "Namun karena faktor keamanan semua arca dipindahkan ke museum Tulungagung," kata Zaenuri.
Faktor usia ditambah terjangan panas dan hujan, kata Zaenuri, membuat sejumlah batu Candi Sanggrahan sebelum pemugaran berwarna gelap, kusamm dan melapuk di banyak tempat.
Karena alasan itu BP3 Trowulan Mojokerto menerjunkan tim untuk melakukan pemugaran. Kendati demikian, proyek 'rekonstruksi' yang dimulai bulan April 2014 dan berakhir November 2016 itu hanya menyentuh seperempat dari seluruh bagian candi induk.
Pihak Trowulan hanya memugar bagian tengah dan atas, terutama sisi barat candi. "Sisi timur candi juga bagian bawah tetap asli, termasuk relief yang ada. Sebab kondisinya memang masih baik," jelas Zaenuri.
Pahatan relief yang memutar di bagian kaki candi itu berbentuk seekor singa. Lambang singa merujuk pada Kerajaan Singasari. Hal itu mengingat Gayatri merupakan putri Kertanegara, raja terakhir Singasari.
Menurut Zaenuri, pemugaran belum selesai. Sebab sebagian besar tembok penahan candi yang bersusun atas batu bata merah dalam kondisi tidak lagi simetris. Beberapa sisi bangunan bahkan terlihat sudah miring.
Karenanya, pihak Trowulan berencana melanjutkan pemugaran pada tahun 2017 ini. Meski rata-rata jumlah kunjungan wisatawan 150 orang per bulan, Candi Sanggrahan merupakan salah satu tempat wisata sejarah yang diperhitungkan di wilayah Tulungagung. "Harapanya proyek pemugaran akan berpengaruh pada tingkat kunjungan wisatawan yang semakin meningkat," pungkasnya.
Harapan senada disampaikan Idham Cholid, warga setempat yang juga pemilik warung kopi di lokasi Candi Sanggrahan. Menurut dia ramainya wisatawan ke Candi Sanggrahan akan membawa dampak positif bagi perekonomian warga sekitar.
"Selain pemugaran, langkah pemerintah desa memusatkan kegiatan seni dan budaya di kompleks candi secara tidak langsung akan meningkatkan kunjungan masyarakat ke candi," ujarnya.
Secara kasat mata, bangunan berubah total seperti bangunan baru. Sebagai peninggalan purbakala berasa muda. Aura yang memancar lebih cerah. Apalagi sejumlah nyiur yang sebelumnya menjadi peneduh tidak lagi tumbuh di sana.
"Penggunaan batu andesit itu seperti jenis batu aslinya. Hanya saja tentu usia batu ini lebih muda," kata Zaenuri (42), juru kunci Candi Sanggrahan kepada KORAN SINDO.
Suasana terasa sunyi. Satu satunya 'peziarah' di siang terik itu hanya tiga bocah yang tidak lain anak-anak warga setempat. Setelah kenyang bermain di sekitar bawah candi, anak-anak seusia siswa sekolah dasar itu satu per satu menaiki trap berundak. Mereka berhenti setiba di puncak. Trap berundak itu juga hasil pemugaran. Untuk menambal sulam, tim pemugar mendatangkan seluruh batu andesit dari Mojokerto.
Ketinggian Candi Sanggrahan mencapai 5,86 meter. Secara matematis memiliki panjang bangunan 12,60 meter dengan lebar 9,05 meter. Di puncak yang berupa lantai terdapat bagian khusus yang berisi timbunan pasir. "Saat hujan deras mengguyur pasir itu berfungsi sebagai resapan," kata Zaenuri.
Secara arsitektur, candi Budha Siwa yang berbentuk bujur sangkar itu menempatkan agian muka menghadap ke barat. Penempatan sumbu atau arah mata angin barat dan timur merupakan khas candi di Jawa Timur. Barat menjadi pintu masuk.
Sejumlah teks menyebut barat sebagai arah matahari terbenam sekaligus ditafsirkan kegelapan. Sedangkan sisi belakang candi selalu menghadap timur, berorientasi (pemujaan) ke gunung dan juga mengarah pada terbitnya matahari. Tidak heran gugusan perbukitan cadas berdiri menjulang di sebelah timur atau bagian belakang Candi Sanggrahan.
"Di Candi Sanggrahan ini rombongan Majapahit pembawa jenazah Gayatri atau Rajapatni, yakni permaisuri raja pertama Majapahit, singgah sebentar sebelum melanjutkan upacara perabuan," jelas Zaenuri yang merupakan juru kunci Candi Sanggrahan generasi ketiga.
Candi Sanggrahan berdiri pada tahun 1350. Pendirian candi bersama dengan perpindahan estafet kekuasaan Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani kepada Hayam Wuruk yang tak lain putranya sendiri.
Tribhuwanatunggadewi yang memerintah selama 22 tahun adalah anak Gayatri atau Rajapatni, istri Raden Wijaya, Raja Pertama Majapahit. Pada kurun waktu yang sama (1350) Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja keempat Majapahit dengan gelar Sri Rajasanagara. Di bawah pemerintahan Hayam Wuruk dengan tandem Patih Amangkubumi Gajah Mada, Kerajaan Majapahit mencapai puncak kebesarannya.
Dari Candi Sanggrahan, rombongan pembawa jenazah Gayatri melanjutkan perjalanan ke tempat yang kini bernama situs Candi Gayatri. Di lokasi yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari Candi Sanggrahan itu upacara perabuan jenazah dilakukan.
Gayatri di akhir hayatnya meninggalkan istana dan memilih laku hidup sebagai Bhiksuni atau pendeta Budha wanita. Tidak heran di Candi Sanggrahan terdapat enam arca Budha. "Namun karena faktor keamanan semua arca dipindahkan ke museum Tulungagung," kata Zaenuri.
Faktor usia ditambah terjangan panas dan hujan, kata Zaenuri, membuat sejumlah batu Candi Sanggrahan sebelum pemugaran berwarna gelap, kusamm dan melapuk di banyak tempat.
Karena alasan itu BP3 Trowulan Mojokerto menerjunkan tim untuk melakukan pemugaran. Kendati demikian, proyek 'rekonstruksi' yang dimulai bulan April 2014 dan berakhir November 2016 itu hanya menyentuh seperempat dari seluruh bagian candi induk.
Pihak Trowulan hanya memugar bagian tengah dan atas, terutama sisi barat candi. "Sisi timur candi juga bagian bawah tetap asli, termasuk relief yang ada. Sebab kondisinya memang masih baik," jelas Zaenuri.
Pahatan relief yang memutar di bagian kaki candi itu berbentuk seekor singa. Lambang singa merujuk pada Kerajaan Singasari. Hal itu mengingat Gayatri merupakan putri Kertanegara, raja terakhir Singasari.
Menurut Zaenuri, pemugaran belum selesai. Sebab sebagian besar tembok penahan candi yang bersusun atas batu bata merah dalam kondisi tidak lagi simetris. Beberapa sisi bangunan bahkan terlihat sudah miring.
Karenanya, pihak Trowulan berencana melanjutkan pemugaran pada tahun 2017 ini. Meski rata-rata jumlah kunjungan wisatawan 150 orang per bulan, Candi Sanggrahan merupakan salah satu tempat wisata sejarah yang diperhitungkan di wilayah Tulungagung. "Harapanya proyek pemugaran akan berpengaruh pada tingkat kunjungan wisatawan yang semakin meningkat," pungkasnya.
Harapan senada disampaikan Idham Cholid, warga setempat yang juga pemilik warung kopi di lokasi Candi Sanggrahan. Menurut dia ramainya wisatawan ke Candi Sanggrahan akan membawa dampak positif bagi perekonomian warga sekitar.
"Selain pemugaran, langkah pemerintah desa memusatkan kegiatan seni dan budaya di kompleks candi secara tidak langsung akan meningkatkan kunjungan masyarakat ke candi," ujarnya.
(zik)