Kiai Busyro Syuhada Guru Spiritual Panglima Besar Jenderal Sudirman
A
A
A
Nama Jenderal Sudirman atau Soedirman sudah tidak asing lagi bagi kita semua. Namun sosok guru spiritual sang jenderal besar tersebut hanya sedikit yang mengetahuinya. Guru spiritual sang panglima besar tak lain adalah Kiai Haji Busyro Syuhada sang ulama yang berasal dari Banjarnegara.
Kiai Haji Busyro Syuhada lahir di Banjarnegara pada tahun 1872 dengan nama Ibrahim. Ibrahim kecil memiliki karakter yang berani dan tangguh sehingga disegani oleh kawan-kawannya. Ibrahim belajar silat dan pada usia remaja telah menunjukkan ketangkasannya.
Dengan ketangkasannya ini Ibrahim melakukan perlawanan terhadap Belanda, sehingga pemuda ini sampai menjadi buronan Belanda. Lalu Ibrahim berkelana hingga ke Betawi, dan selanjutnya ke Tanah Suci Mekkah. Baik di Betawi maupun di Mekkah Ibrahim selalu menimba ilmu agama maupun ilmu pencak silat dan olah kanuragan.
Sekembalinya dari Tanah Suci, Ibrahim menikah dengan puteri KH Ali. Dia kemudian mendirikan Pondok Pesantren Binorong di Banjarnegara. Sepulang dari ibadah haji, Ibrahim masih menjadi buronan Belanda, sehingga kemudian berganti nama menjadi KH Busyro Syuhada.
Sebagaimana umumnya pesantren, para santri diajarkan ilmu agama dan beladiri pencak silat. Pencak silatnya dikenal dengan nama Aliran Banjaran yang intinya memadukan ilmu batin dan ilmu luar.
Aliran pencak silat yang dirintis Kiai Busyro Syuhada ini kelak menjadi cikal bakal perguruan silat Tapak Suci.
Awal kisah sang jenderal besar mulai berguru kepada Kiai Busyro Syuhada saat Sudirman berkunjung ke Pesantren Kiai Busyro di Banjarnegara.
Dia bermaksud silaturrahmi. Saat itu Sudirman masih menjalankan pekerjaan sebagai guru di Cilacap. Pada pertemuan itu, tiba-tiba saja Kiai Busyro menangkap suatu firasat saat berhadapan dengan Sudirman.
Lalu Kiai Busyro menyarankan agar Sudirman tinggal sementara waktu di pesantren. Dia ingin agar Sudirman mau menjadi muridnya. Namun Kiai Busyro tidak menjelaskan alasan sesungguhnya menjadikan dirinya menjadi murid sang kiai.
Walau Sudirman terkejut mendengar saran Kiai Busyro Syuhada. Tetapi dia menyambut dengan antusias. Bagaimanapun juga, saran dan nasehat seorang ulama tentu baik dan pasti ada alasan-alasan khusus yang tidak dapat diungkapkan.
Selanjutnya Sudirman nyantri di pesantren asuhan Kiai Busyro Syuhada. Saat itu usia Sudirman sekitar 25 tahun. Selama menjadi santri, Sudirman diperlakukan khusus oleh Kiai Busyro, bahkan terkesan diistimewakan. Semua keperluan Sudirman menyangkut urusan apa saja, termasuk urusan makan dan minum selalu disiapkan.
Kiai Busyro sengaja menyediakan seorang pelayan khusus untuk murid spesialnya itu. Pelayan itu masih keponakan Kiai Busyro sendiri yang bernama Amrullah. Saat itu usia Amrullah lebih muda 5 tahun dibandingkan Sudirman. Amrullah adalah ayah kandung Abdul Malik.
Di Pesantren Sudirman digembleng secara khusus baik ilmu agama, silat maupun olah kanuragan. Sudirman diharuskan berpuasa dan saat tengah malam melakukan salat sunah secara rutin.
Dikisahkan, walau dalam keadaan berpuasa, Sudirman diperintahkan melakukan pekerjaan keras memotong beberapa pohon yang ada di dekat pesantren.
Batang-batang pohon itu kemudian diseretnya. Lalu dimasukkan ke dalam kolam atau empang. Pekerjaan itu dilakukan sendirian tanpa dibantu siapapun. Setelah matahari terbenam, batang pohon itu harus dikeluarkan lagi dari kolam.
Saat Sudirman berbuka puasa dan sahur, Amrullah bertugas menyediakan makanan dan minuman.
Di samping itu, Kiai Busyro juga memberi amalan zikir atau hizib khusus kepada Sudirman untuk dibaca setiap harinya.
Secara hampir bersamaan, hizib ini juga diamalkan Amrullah. Namun pada 1942, Kiai Busyro meninggal dunia. Melihat kenyataan itu, Sudirman memutuskan kembali ke kampung halamannya di Purbalingga. Namun tidak berapa lama kemudian balatentara Jepang mulai menjajah Indonesia.
Seolah sudah menjadi takdirnya, Sudirman segera mengikuti pendidikan militer di Bogor bergabung dengan tentara PETA (Pembela Tanah Air).
Begitu tamat pendidikan, Sudirman menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Sesudah TKR (Tentara Keamanan Rakyat) terbentuk, Sudirman diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas.
Pada saat Sudirman bergerilya, banyak kisah-kisah seputar perjuangannya. Dikisahkan, musuh selalu gagal memburunya.
Bahkan Sudirman pernah luput dari tangan musuh yang hanya berjarak sekitar 10-20 meter. Andaikata saat itu penyakitnya kambuh dan membuatnya batuk-batuk, pastilah musuh akan mendengar dan menangkapnya.
Tetapi atas Kebesaran Allah SWT, pada detik yang genting itu penyakitnya tidak kambuh. Sungguh aneh tidak ada satupun musuh yang melihat Sudirman bersembunyi diantara rumput alang-alang yang pendek.
Di sisi lain, wibawa dan kharisma Sudirman terpancar kuat dari ekspresi wajah dan tubuhnya. Meskipun saat itu tubuhnya kurus, lemah dan harus ditandu, tetapi seluruh jajaran angkatan perang patuh di bawah komandonya. Semua ini merupakan hasil disiplin yang diperoleh dari gurunya Kiai Busyro Syuhada.
Salah satu keunggulan dan kepiawaian Sudirman dalam memimpin pasukan adalah pada saat pertempuran Ambarawa. Sudirman yang saat itu berpangkat Kolonel langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga musuh (sekutu) benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya diputus sama sekali. Padahal waktu itu pasukan Sekutu dilengkapi persenjataan tank.
Setelah bertempur selama 4 hari, pada 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu yang dipimpin Inggris dibuat mundur ke Semarang.
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.
Karena keberhasilannya ini Sudirman diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Panglima dengan pangkat Jenderal.
Sumber:
- wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
- sangpencerah id
Kiai Haji Busyro Syuhada lahir di Banjarnegara pada tahun 1872 dengan nama Ibrahim. Ibrahim kecil memiliki karakter yang berani dan tangguh sehingga disegani oleh kawan-kawannya. Ibrahim belajar silat dan pada usia remaja telah menunjukkan ketangkasannya.
Dengan ketangkasannya ini Ibrahim melakukan perlawanan terhadap Belanda, sehingga pemuda ini sampai menjadi buronan Belanda. Lalu Ibrahim berkelana hingga ke Betawi, dan selanjutnya ke Tanah Suci Mekkah. Baik di Betawi maupun di Mekkah Ibrahim selalu menimba ilmu agama maupun ilmu pencak silat dan olah kanuragan.
Sekembalinya dari Tanah Suci, Ibrahim menikah dengan puteri KH Ali. Dia kemudian mendirikan Pondok Pesantren Binorong di Banjarnegara. Sepulang dari ibadah haji, Ibrahim masih menjadi buronan Belanda, sehingga kemudian berganti nama menjadi KH Busyro Syuhada.
Sebagaimana umumnya pesantren, para santri diajarkan ilmu agama dan beladiri pencak silat. Pencak silatnya dikenal dengan nama Aliran Banjaran yang intinya memadukan ilmu batin dan ilmu luar.
Aliran pencak silat yang dirintis Kiai Busyro Syuhada ini kelak menjadi cikal bakal perguruan silat Tapak Suci.
Awal kisah sang jenderal besar mulai berguru kepada Kiai Busyro Syuhada saat Sudirman berkunjung ke Pesantren Kiai Busyro di Banjarnegara.
Dia bermaksud silaturrahmi. Saat itu Sudirman masih menjalankan pekerjaan sebagai guru di Cilacap. Pada pertemuan itu, tiba-tiba saja Kiai Busyro menangkap suatu firasat saat berhadapan dengan Sudirman.
Lalu Kiai Busyro menyarankan agar Sudirman tinggal sementara waktu di pesantren. Dia ingin agar Sudirman mau menjadi muridnya. Namun Kiai Busyro tidak menjelaskan alasan sesungguhnya menjadikan dirinya menjadi murid sang kiai.
Walau Sudirman terkejut mendengar saran Kiai Busyro Syuhada. Tetapi dia menyambut dengan antusias. Bagaimanapun juga, saran dan nasehat seorang ulama tentu baik dan pasti ada alasan-alasan khusus yang tidak dapat diungkapkan.
Selanjutnya Sudirman nyantri di pesantren asuhan Kiai Busyro Syuhada. Saat itu usia Sudirman sekitar 25 tahun. Selama menjadi santri, Sudirman diperlakukan khusus oleh Kiai Busyro, bahkan terkesan diistimewakan. Semua keperluan Sudirman menyangkut urusan apa saja, termasuk urusan makan dan minum selalu disiapkan.
Kiai Busyro sengaja menyediakan seorang pelayan khusus untuk murid spesialnya itu. Pelayan itu masih keponakan Kiai Busyro sendiri yang bernama Amrullah. Saat itu usia Amrullah lebih muda 5 tahun dibandingkan Sudirman. Amrullah adalah ayah kandung Abdul Malik.
Di Pesantren Sudirman digembleng secara khusus baik ilmu agama, silat maupun olah kanuragan. Sudirman diharuskan berpuasa dan saat tengah malam melakukan salat sunah secara rutin.
Dikisahkan, walau dalam keadaan berpuasa, Sudirman diperintahkan melakukan pekerjaan keras memotong beberapa pohon yang ada di dekat pesantren.
Batang-batang pohon itu kemudian diseretnya. Lalu dimasukkan ke dalam kolam atau empang. Pekerjaan itu dilakukan sendirian tanpa dibantu siapapun. Setelah matahari terbenam, batang pohon itu harus dikeluarkan lagi dari kolam.
Saat Sudirman berbuka puasa dan sahur, Amrullah bertugas menyediakan makanan dan minuman.
Di samping itu, Kiai Busyro juga memberi amalan zikir atau hizib khusus kepada Sudirman untuk dibaca setiap harinya.
Secara hampir bersamaan, hizib ini juga diamalkan Amrullah. Namun pada 1942, Kiai Busyro meninggal dunia. Melihat kenyataan itu, Sudirman memutuskan kembali ke kampung halamannya di Purbalingga. Namun tidak berapa lama kemudian balatentara Jepang mulai menjajah Indonesia.
Seolah sudah menjadi takdirnya, Sudirman segera mengikuti pendidikan militer di Bogor bergabung dengan tentara PETA (Pembela Tanah Air).
Begitu tamat pendidikan, Sudirman menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Sesudah TKR (Tentara Keamanan Rakyat) terbentuk, Sudirman diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas.
Pada saat Sudirman bergerilya, banyak kisah-kisah seputar perjuangannya. Dikisahkan, musuh selalu gagal memburunya.
Bahkan Sudirman pernah luput dari tangan musuh yang hanya berjarak sekitar 10-20 meter. Andaikata saat itu penyakitnya kambuh dan membuatnya batuk-batuk, pastilah musuh akan mendengar dan menangkapnya.
Tetapi atas Kebesaran Allah SWT, pada detik yang genting itu penyakitnya tidak kambuh. Sungguh aneh tidak ada satupun musuh yang melihat Sudirman bersembunyi diantara rumput alang-alang yang pendek.
Di sisi lain, wibawa dan kharisma Sudirman terpancar kuat dari ekspresi wajah dan tubuhnya. Meskipun saat itu tubuhnya kurus, lemah dan harus ditandu, tetapi seluruh jajaran angkatan perang patuh di bawah komandonya. Semua ini merupakan hasil disiplin yang diperoleh dari gurunya Kiai Busyro Syuhada.
Salah satu keunggulan dan kepiawaian Sudirman dalam memimpin pasukan adalah pada saat pertempuran Ambarawa. Sudirman yang saat itu berpangkat Kolonel langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga musuh (sekutu) benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya diputus sama sekali. Padahal waktu itu pasukan Sekutu dilengkapi persenjataan tank.
Setelah bertempur selama 4 hari, pada 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu yang dipimpin Inggris dibuat mundur ke Semarang.
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.
Karena keberhasilannya ini Sudirman diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Panglima dengan pangkat Jenderal.
Sumber:
- wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
- sangpencerah id
(sms)