Ilyas Yakub, Wartawan dan Ulama yang Diasingkan Belanda

Jum'at, 02 Desember 2016 - 05:00 WIB
Ilyas Yakub, Wartawan...
Ilyas Yakub, Wartawan dan Ulama yang Diasingkan Belanda
A A A
Banyak ulama asal Sumatera Barat yang kiprahnya tak perlu diragukan lagi saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya, Ilyas Yakub.

Lahir di Asam Kumbang, Bayang, Pesisir Selatan, Hindia Belanda, 14 Juni 1903, Ilyas Yakub menjadi sosok yang membuat Belanda khawatir. Diasingkan ke sejumlah daerah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya.

Ilyas Yakub adalah anak ketiga dari pasangan Haji Ya'kub-Siti Hajir. Menurut pemerhati sejarah Minangkabau Fikrul Hanif, di masa kecil Ilyas belajar dengan kakeknya, Syekh Abdurrahman yang merupakan ulama besar di Bayang.

Kala itu, Bayang merupakan basis pengembangan Islam di Pantai Barat Sumatera, berpusat di surau tuo yang didirikan Syeikh Buyung Muda Puluikpuluik-salah seorang dari enam ulama pengembang Islam di Pantai Barat Sumatera, seangkatan dengan Syeikh Burhanuddin Ulakan Pariaman.

Ayah Ilyas Yakub merupakan seorang pedagang kain. Ilyas Yakub mengecap pendidikan Gouvernements Inlandsche School. Setamat sekolah itu, Ilyas bekerja sebagai juru tulis (1917-1919) di perusahaan tambang Oembilin Steenkolenontginning (Tambang Batubara Ombilin) Sawahlunto.

Hanya dua tahun, Ilyas memutuskan keluar dari perusahaan itu. Dia protes terhadap pimpinan perusahaan yang kasar terhadap buruh kontrak.

Ilyas memutuskan memperdalam ilmu agama ke Syekh Haji Abdul Wahab dan Mesir tahun1923. Ketika berada di Mesir, Ilyas Yakub aktif di sejumlah organisasi dan partai politik seperti Hizb al-Wathan (Partai Tanah Air) didirikan oleh Mustafa Kamal, Perkumpulan Mahasiswa Indonesia dan Malaysia (PMIM), Jam'iyat al-Khairiyah, dan lainnya.

Selain aktif di organisasi pergerakan di Mesir, bersama dengan murid Haji Abdul Karim Amrullah yakni Muchtar Luthfi, Ilyas Yakub aktif memimpin majalah Seruan Al-Azhar dan Pilihan Timur.

Majalah Seruan Al-Azhar adalah majalah mahasiswa, sementara majalah Pilihan Timur adalah majalah politik. Kala itu, kedua majalah tersebut banyak dibaca mahasiswa Indonesia-Malaysia di Mesir.

Gerakan Ilyas Yakub dalam jurnalistik dan politik antipenjajah di Mesir, tercium oleh Belanda. Pemerintah Belanda berusaha melunakkan sikap radikal Ilyas Yakub. Namun, upaya itu gagal total. Sejak itu, Belanda menganggap Ilyas Yakub sebagai radikalis, ekstremis.

Menurut Fikrul Hanif, Belanda berupaya membendung gerakan Ilyas Yakub. Saat berniat kembali ke Tanah Air, Ilyas dipaksa transit di Singapura, bahkan nyaris nyasar di Jambi.

Di Tanah Air, Ilyas Yakub kemudian bertemu teman-temannya yang bergerak di PNI dan PSI. Kemudian, terjadi proses dialektika yang berujung pada keinginan Ilyas Yakub menyandingkan asas Islam dan kebangsaan.

Hal itu terwujud saat dia dan Muchtar Luthfi mendirikan PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia) dengan asas Islam dan kebangsaan. Tujuannya, menegakkan Islam dan memperkuat wawasan kebangsaan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Sebuah surat kabar Medan Rakyat dia terbitkan sebagai alat propaganda. PERMI menjalankan sikap politik nonkooperatif dan tak kenal kompromi dengan bangsa apa pun yang kental punya perilaku imperialisme dan kolonialisme. Karena itu pula, PERMI secara prinsipil mencap bahwa kapitalisme dan imperalisme merupakan penyebab penderitaan rakyat Indonesia.

Gerakan nonkooperatif yang diusung PERMI menyebabkan Ilyas Yakub harus berhadapan langsung dengan pemerintah Belanda. Untuk memperkuat jaringannya dalam menghadapi psywar pemerintah Belanda, Ilyas Yakub menjalin hubungan dengan organisasi pergerakan seperti Pertindo.

Menurut Fikrul Hanif, Ilyas Yakub dan Muchtar Yahya dianggap menyebar kebencian. PERMI dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan dibekukan. Tokoh-tokohnya pun ditangkap.

Ilyas Yakub bersama dua temannya yakni Mukhtar Luthfi dan Jalaludin Thaib ditangkap dan dipenjarakan. Setelah sembilan bulan di Penjara Muaro Padang, ia diasingkan ke Bouven Digul, Papua, pada 1934-1944.

Selama di Digul, Ilyas Yakub yang didampingi sang istri, Tinur, sering sakit-sakitan. Pada masa awal penjajahan Jepang di Indonesia, kondisi para tahanan Digul kian memprihatinkan. Mereka dipindahkan ke pedalaman Papua, yakni di Kali Bina Wantaka, kemudian diasingkan ke Australia.

Pada Oktober 1945, ketika berlabuh di Tanjung Priok, Ilyas Yakub kembali ditahan dan diasingkan. Selama sembilan bulan, dia dan istrinya berpindah-pindah, antara lain ke Kupang, Serawak, Brunei Darussalam, dan Labuhan, Singapura.

Tahun 1946, setahun setelah Indonesia merdeka, masa tahanan Ilyas Yakub berakhir. Dia kembali bergabung dengan kaum republik. Ilyas juga bergerak pada masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia (1948-1949). Tahun itu juga, Ilyas Yakub menjabat ketua DPR Sumatera Tengah. Kemudian, dia terpilih lagi sebagai anggota DPRD wakil Masyumi dan merangkap sebagai penasihat Gubernur Sumatera Tengah bidang politik dan agama.

Ilyas Yakub meninggal dunia 2 Agustus 1958. Dia dikukuhkan sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI dengan SK Mensos No. Pol-61/PK/1968, 16 Desember 1968, lalu dikukuhkan kembali dengan Keputusan Presiden RI Nomor 074/TK/Tahun 1999 tanggal 13 Agustus 1999.

Sumber: id.wikipedia.org (diolah dari berbagai sumber)
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0856 seconds (0.1#10.140)