Pelaku Pertempuran 10 November Terkulai Lemah dalam Kemiskinan
A
A
A
TUBAN - Bangsa Indonesia telah menikmati kemerdekaan selama 71 tahun. Hal itu tidak lepas dari jasa para pahlawan yang telah berjuang, dan berkorban demi mewujudkan negara proklamasi 17 Agustus 1945.
Para pejuang yang seharusnya mendapatkan perhatian negara, justru nasibnya dicampakkan. Salah satunya adalah Moestadjab. Pada akhir hayatnya, prajurit yang ikut berperang melawan Belanda ini menderita sakit parah sejak tiga tahun lalu.
Nasib Moestadjab yang memprihatinkan itu diketahui setelah rombongan siswa Taman Kanak-kanak Bhayangkari bersama anggota Polsek Rengel, mengunjungi rumahnya di Dusun Lohgawe, Desa Sawahan, Kecamatan Rengel, Tuban, Jawa Timur.
Kondisi kesehatan veteran berusia 92 tahun ini cukup memprihatinkan. Selain hidup dalam kemiskinan, pelaku pertempuran peristiwa 10 November di Surabaya itu kini harus menghabiskan hari-harinya di atas tempat tidur.
Dia menderita sakit sejak tiga tahun lalu, sehingga tak mampu lagi bangun, maupun duduk, apalagi berjalan. Untuk melakukan aktivitas sehari-hari, seperti makan, minum, dan mandi, dia dibantu anak perempuannya Azizah (43).
Meski dalam kondisi lemah dan hidup dalam keterbatasan, namun tak mengurangi semangat Moestajab dalam menyambut kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-71 tahun.
Bahkan, dengan mata berkaca-kaca dia tetap menyambut hangat kedatangan rombongan siswa bersama petugas kepolisian yang menyambanginya. Dia bercerita tentang kisahnya dalam peperangan yang heroik.
Dimulai dari masa mudanya sebagai pekerja pelayaran, lalu masuk menjadi prajurit, dan mendapatkan pelatihan militer di zaman Jepang atau di jaman tentara Peta saat itu.
Bahkan, saat pecah perang 10 November di Surabaya, dia langsung bergerak dan berjuang bersama prajurit lain untuk mengusir penjajah. Kala itu, dia menjadi anggota siap tempur atau Sipur yang bertugas menghancurkan jembatan dan jalan.
Kisah Moestadjab yang menyentuh ini membuatnya dianugerahi gelar kehormatan. Sebuah gelar yang didapatnya pada tahun 1981 di tandatangani langsung oleh Wapangab Laksamana TNI Soedomo.
"Saya juga pernah mengebom Belanda di Surabaya, di bawah komando Bung Tomo saat itu, mulai dari Bojonegoro sampai Tuban. Saya juga pernah berperang melawan Belanda," katanya, Selasa (16/8/2016).
Sementara itu, anggota Polsek Rengel mengaku, pihaknya sengaja mengunjungi dan memberikan santunan kepada veteran perang kemerdekaan ini, bersama siswa TK Bhayangkara, dengan harapan generasi penerus bangsa ini memiliki kepedulian.
Hidup dalam keterbatasan bersama anaknya Azizah, Moestadjab kini hanya mengandalkan tunjangan sebesar Rp1,400 juta perbulan yang didapat dari pemerintah.
Sementara untuk menjalankan rutinitas sehari-hari, baik untuk makan maupun minum, Moestadjab selalu dibantu Azizah. Karena kondisinya tersebut, saat ini dia tidak pernah lagi keluar kamar.
Para pejuang yang seharusnya mendapatkan perhatian negara, justru nasibnya dicampakkan. Salah satunya adalah Moestadjab. Pada akhir hayatnya, prajurit yang ikut berperang melawan Belanda ini menderita sakit parah sejak tiga tahun lalu.
Nasib Moestadjab yang memprihatinkan itu diketahui setelah rombongan siswa Taman Kanak-kanak Bhayangkari bersama anggota Polsek Rengel, mengunjungi rumahnya di Dusun Lohgawe, Desa Sawahan, Kecamatan Rengel, Tuban, Jawa Timur.
Kondisi kesehatan veteran berusia 92 tahun ini cukup memprihatinkan. Selain hidup dalam kemiskinan, pelaku pertempuran peristiwa 10 November di Surabaya itu kini harus menghabiskan hari-harinya di atas tempat tidur.
Dia menderita sakit sejak tiga tahun lalu, sehingga tak mampu lagi bangun, maupun duduk, apalagi berjalan. Untuk melakukan aktivitas sehari-hari, seperti makan, minum, dan mandi, dia dibantu anak perempuannya Azizah (43).
Meski dalam kondisi lemah dan hidup dalam keterbatasan, namun tak mengurangi semangat Moestajab dalam menyambut kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-71 tahun.
Bahkan, dengan mata berkaca-kaca dia tetap menyambut hangat kedatangan rombongan siswa bersama petugas kepolisian yang menyambanginya. Dia bercerita tentang kisahnya dalam peperangan yang heroik.
Dimulai dari masa mudanya sebagai pekerja pelayaran, lalu masuk menjadi prajurit, dan mendapatkan pelatihan militer di zaman Jepang atau di jaman tentara Peta saat itu.
Bahkan, saat pecah perang 10 November di Surabaya, dia langsung bergerak dan berjuang bersama prajurit lain untuk mengusir penjajah. Kala itu, dia menjadi anggota siap tempur atau Sipur yang bertugas menghancurkan jembatan dan jalan.
Kisah Moestadjab yang menyentuh ini membuatnya dianugerahi gelar kehormatan. Sebuah gelar yang didapatnya pada tahun 1981 di tandatangani langsung oleh Wapangab Laksamana TNI Soedomo.
"Saya juga pernah mengebom Belanda di Surabaya, di bawah komando Bung Tomo saat itu, mulai dari Bojonegoro sampai Tuban. Saya juga pernah berperang melawan Belanda," katanya, Selasa (16/8/2016).
Sementara itu, anggota Polsek Rengel mengaku, pihaknya sengaja mengunjungi dan memberikan santunan kepada veteran perang kemerdekaan ini, bersama siswa TK Bhayangkara, dengan harapan generasi penerus bangsa ini memiliki kepedulian.
Hidup dalam keterbatasan bersama anaknya Azizah, Moestadjab kini hanya mengandalkan tunjangan sebesar Rp1,400 juta perbulan yang didapat dari pemerintah.
Sementara untuk menjalankan rutinitas sehari-hari, baik untuk makan maupun minum, Moestadjab selalu dibantu Azizah. Karena kondisinya tersebut, saat ini dia tidak pernah lagi keluar kamar.
(san)