Inggit Garnasih, Ibu Kaum Marhaen yang Tersingkir di Hari Tuanya

Minggu, 17 Juli 2016 - 05:05 WIB
Inggit Garnasih, Ibu...
Inggit Garnasih, Ibu Kaum Marhaen yang Tersingkir di Hari Tuanya
A A A
PERAN Inggit Garnasih dalam kehidupan Soekarno sangatlah besar. Dialah wanita yang selalu mendukung dan berada di samping Bung Karno, saat bapak Indonesia merdeka ini mengalami kesulitan di penjara dan masa pembuangannya.

Namun pada akhirnya dia harus tersingkir oleh wanita yang lebih muda dan hangat, justru di hari tuanya. Kisah tragis Inggit ini merupakan satu babak dalam tragedi cinta Soekarno dan perjuangan mencapai Indonesia merdeka.

Sebelum bertemu dengan Soekarno, Inggit adalah seorang nyonya kaya di Bandung. Suaminya H Sanusi merupakan seorang pengusaha yang kecanduan judi. Hubungan rumah tangga mereka kurang bahagia, hingga akhirnya dia bertemu Soekarno.

Dalam buku karangan Im Yang Tjoe yang terbit tahun 1933 dan berjudul Soekarno sebagi Manoesia, dituliskan bahwa Inggit berasal dari keluarga miskin dan tidak berpunya yang dalam istilah Soekarno adalah kaum Marhaenisme.

"Inggit Garnasih adalah seorang putri atau ibu dari kaum rakyat jelata yang dalam istilah Bung Karno kaum Marhaen sejati. Ia adalah putri seorang miskin, tidak terpelajar, tetapi berhati emas," tulis Im Yang Tjoe, di halaman 50.

Inggit kemudian menikah dengan H Sanusi, pengusaha kaya di Bandung. Namun perkawinan mereka tidak bahagia. Inggit akhirnya diceraikan dan dinikahi Soekarno yang saat itu baru saja bercerai dengan istrinya Siti Oetari Tjokroaminoto.

Saat Soekarno melamar Inggit sebagai istrinya, terjadi percakapan antara Soekarno dengan ayahanda Inggit. Waktu itu, ayahanda Inggit telah mengingatkan bahwa hubungan beda kelas sosial antara mereka tidak akan kekal abadi.

"Wahai orang muda, kau adalah keturunan bangsawan, dan dirimu seorang terpelajar. Kami adalah keluarga miskin, anakku Inggit sudah janda. Lagi pula tidak terpelajar, tidak sepadan untuk menjadi istrimu," terang ayahanda Inggit.

Lebih lanjut ayahanda Inggit menambahkan, "Terus terang saya khawatir, sebagaimana yang lazim terjadi, perjodohan yang demikian tidak akan panjang, karena ada saja yang membuat kau malu, yang membikin anakku sakit hati."

Kawin cerai akibat pernikahan beda kelas sosial pada saat itu sangat sering terjadi. Kekhawatiran orangtua Inggit ini sangat beralasan. Apalagi, saat itu Inggit baru saja dicerai H Sanusi. Saat mendengar paparan itu, Soekarno terdiam.

Namun akhirnya dia bicara. Setelah mendengar alasan Soekarno dan melihat sorot matanya yang menunjukkan kesungguhan, akhirnya lamarannya diterima. Sebelumnya, Soekarno juga telah meminta izin kepada ayah ibundanya di Blitar.

Jawaban orangtua Soekarno saat itu tidak berkeberatan dia menikahi Inggit. Hanya saja, mereka mengingatkan agar Soekarno bisa lebih bijak dengan mengambil pelajaran dari kegagalan pernikahan "politiknya" dengan Siti Oetari.

Setelah sempat merenung selama beberapa malam, akhirnya Soekarno menikahi Inggit. Kepada Cindy Adams dalam bukunya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Soekarno mengatakan pernikahan keduanya terjadi pada tahun 1923.

"Dengan Inggit berada di sampingku, aku melangkah maju memenuhi perjanjianku dengan sang nasib," kata Soekarno.

Sejak itu, Inggit dan Soekarno selalu bersama. Ke mana Soekarno pergi, Inggit selalu mengikuti bagai bayangannya, baik dalam rapat-rapat umum, maupun dalam pertemuan-pertemuan. Tanpa Inggit, Soekarno merasa dirinya ada yang kurang.

Bahkan bisa dikatakan, yang membuat pergerakan Soekarno maju saat itu adalah Inggit yang selalu memberikan dukungan dengan berada di sampingnya. Pengorbanan Inggit terhadap perjuangan Soekarno tidak mengenal batas dan pasang surut.

Saat Soekarno mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), pada 4 Juli 1927, Inggit lah orang yang pertama kali mendukung Soekarno. Begitupun saat Soekarno dipenjara karena aktivitas politiknya, Inggit jugalah yang menemaninya.

"Pengorbanan Inggit tidak ada batasnya. Bayangkan perasaan seorang istri yang ditinggal suaminya masuk penjara. Ibu Marhaen yang berhati mulia ini merasakan penderitaan itu tanpa sepatah keluhan pun," tulis Im Yang Tjoe.

Sejak Bung Karno mendekam di dalam penjara Banceuy sampai Sukamiskin, tiap-tiap minggu Inggit datang menyambang, bukan dengan kemurungan, tetapi dengan pemberian dukungan atas kebenaran sikap politik yang diambil Soekarno.

"Koesno, kau adalah kesatria, maka terimalah cobaan ini dengan gagah, dengan pendirian yang tetap dan pikiran yang tenang," ucap Inggit, kepada Soekarno yang saat itu hampir saja putus asa akibat mendekam di dalam penjara.

Atas dukungan yang sangat besar dari Inggit, Soekarno merasa bara api yang memenuhi dadanya semakin terjaga. Hal itu tampak dari tidak adanya penyesalan dalam wajahnya saat menerima vonis empat tahun penjara oleh pengadilan.

Setelah menjalani masa hukuman penjara, Soekarno akhirnya dibebaskan pada 31 Desember 1931. Orang pertama yang berbahagia menyambut pembebasan Bung Karno adalah Inggit. Namun, kebahagiaan Inggit saat itu hanya sebentar saja.

Delapan bulan setelah dibebaskan, Soekarno kembali ditangkap dan ditahan, untuk kemudian dibuang ke Ende, Pulau Flores, karena aktivitas politiknya yang semakin meningkat. Dalam pembuangan itu, Inggit lah orang yang menemaninya.

Selama dalam pembuangan di Ende, Soekarno tampak sangat tertekan. Namun, dia berusaha sedapat mungkin agar semua perasaannya itu tidak diketahui Inggit. Tetapi, tidak ada yang bisa dirahasiakan Soekarno dari istrinya Inggit.

Sedari awal Inggit telah mengetahui kesusahan hati Soekarno, baik selama dia dipenjara dan dalam pembuangan. Maka itu, Inggit selalu berusaha membesarkan hati Soekarno dengan mendukung kebenaran politik yang telah diambilnya.

"Inggit selamanya memberitahu padaku, bahwa dia merasa dengan pasti suatu waktu nanti aku akan menjadi orang penting. Tetapi aku tidak pernah membahasanya. Aku tidak pernah bicara tentang masa depan," kata Soekarno.

Situasi Ende yang kurang sehat membuat Soekarno terserang malaria dan mengalami sakit parah. Demi kesehatan Bung Karno, pemerintah kolonial Hindia Belanda akhirnya memindahkan tempat pengasingannya dari Ende menuju Bengkulu.

Saat berada di Bengkulu inilah, Inggit merasa bersusah hati, bukan lantaran penderitaan yang dialaminya selama menemani Bung Karno di pengasingan. Tetapi karena adanya wanita lain yang berusaha mengisi hati Bung Karno.

Seketika, Inggit diingatkan dengan peristiwa yang dialami Siti Oetari yang diceraikan Soekarno setelah dia bertemu Inggit. Meski ada beberapa perbedaan khusus dalam kasus Oetari, secara umum Inggit merasakan adanya persamaan.

Soekarno terlibat percintaan dengan seorang gadis cantik muridnya sendiri yang bernama Fatmawati, putri Ketua Muhammadiyah Ahmad Hassan. Peristiwa itu berawal ketika Soekarno diminta mengajar di sekolah Muhammadiyah.

Dalam sekolah itu, terdapat Fatmawati yang cantik dengan tubuh menarik. Saat mengajar, Soekarno suka memperhatikan gadis ini. Setiap ada waktu senggang, Soekarno selalu mengajak Fatmawati untuk berjalan menyusuri pantai berdua.

Meski Soekarno menjelaskan hubungannya dengan Fatmawati yang saat itu baru berusia 15 tahun lebih sebagai ayah dengan putrinya, namun sebagai seorang istri yang sangat peka dan mengenal Bung Karno, Inggit tidak percaya.

"Aku merasakan ada api percintaan yang sedang menyala-nyala di rumah ini, Tak usah berbohong. Seseorang tidak bisa menutupi sorotan matanya yang bersinar-sinar bila berada di dekat orang yang dicintainya," sergah Inggit.

Merasa dipergoki, Soekarno berdalih bahwa dirinya menginginkan seorang anak dari istrinya dan Inggit tidak bisa memenuhi kehendaknya itu. Anak angkat yang telah mereka pungut, ternyata tidak bisa memuaskan hasrat Soekarno.

"Kau menjadi tulang punggungku dan tangan kananku selama separuh hidupku. Bagaimanapun juga, aku ingin merasakan kegembiraan memiliki anak. Aku selalu berdoa secara khusus, agar di satu hari memiliki anak laki-laki," katanya.

Mendengar jawaban Soekarno itu, Inggit merasa ditusuk, hatinya berdarah. Tidak ingin dijadikan istri kedua, Inggit akhirnya meminta cerai dari Soekarno. Awalnya Soekarno menolak, tetapi Inggit tetap dengan keputusannya.

Inggit pun teringat kembali ucapan ayahnya saat Soekarno datang ke rumahnya untuk melamar, bahwa hubungan antara golongan bangsawan dan terpelajar, dengan orang miskin tidak berpendidikan selamanya tidak akan kekal abadi.

Sejak di Bengkulu itulah, hubungan Inggit dan Soekarno mulai terasa dingin. Meski demikian, Inggit tetap menemani Bung Karno dan mendukung aktivitas politiknya yang masih dalam pengawasan ketat polisi kolonial Hindia Belanda.

Saat tentara Jepang menyerbu Palembang yang berada di selatan Sumatera, Belanda memilih mundur. Namun mereka ingat Soekarno dan istrinya masih berada di Bengkulu. Kemudian, mereka langsung mengungsikan Soekarno dari Bengkulu.

Sehari sebelum Jepang sampai di Bengkulu, Soekarno beserta istrinya telah dilarikan keluar oleh Belanda. Mereka melakukan perjalanan dengan berjalan kaki sejauh 300 kilometer menuju Padang melewati hutan belantara.

Selama berada di Padang, Soekarno langsung berada di bawah pengawasan bala tentara Jepang. Dari Padang, Soekarno dan Inggit diungsikan lagi ke Palembang, untuk kemudian diberangkatkan ke Jakarta dengan menggunakan kapal laut.

Pada masa-masa sulit itu, hanya Inggit lah sosok manusia yang setia menemani Soekarno. Meski saat itu keduanya sedang dilanda "perang dingin", pada masa sulit itu mereka tetap menjadi pasangan yang kompak dan saling mengisi.

Hingga akhirnya, situasi mulai sedikit normal, hubungan dingin yang telah berlangsung sejak di Bengkulu kembali menguap. Menghadapi persoalan itu, Soekarno tampak sangat tertekan, dan fisiknya menjadi gampang sakit.

Melihat situasi ini, orang-orang terdekat Soekarno tampak khawatir. Akhirnya, Inggit dan Soekarno resmi bercerai. Inggit kemudian kembali ke rumah orangtuanya di Bandung dan Soekarno melamar Fatmawati cintanya, di Bengkulu.

Usia Inggit saat itu telah cukup lanjut, yakni menginjak 48 tahun. Sedangkan Soekarno baru menginjak usia 43 tahun. Perbedaan usia antara Soekarno dengan Inggit cukup jauh. Usia Inggit lima tahun lebih tua dari Soekarno.

Pada hari tuanya, Inggit hidup seorang diri, kesepian, tanpa anak dan pendamping hidup. Demikian ibu kaum Marhaen ini akhirnya tersingkir oleh kehadiran Fatmawati yang lebih muda dan bergairah. Sampai di sini ulasan Cerita Pagi.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1276 seconds (0.1#10.140)