Pengusaha Sarang Burung Walet Sekap Anak di Bawah Umur
A
A
A
CIREBON - Seorang pengusaha sarang burung walet berisial H di Jalan Pemuda, Kota Cirebon ditetapkan sebagai tersangka karena menyekap dan mempekerjakan anak di bawah umur. Penetapan tersangka ini berdasarkan keterangan korban dan bukti-bukti di lapangan.
"Pemilik perusahaan berinisial H sudah kami periksa dan ditetapkan sebagai tersangka atas kasus memperkerjakan anak di bawah umur," kata Kasat Reskrim Polres Cirebon Kota AKP Dadang Soediantoro.
Namun, sejauh ini H belum ditahan dengan alasan pemeriksaan masih dilakukan. Pihaknya juga masih belum menetapkan pasal yang akan dikenakan terhadap H dengan alasan yang sama. "Pasal yang akan dikenakan nanti, kita lihat hasil pemeriksaannya dulu," timpalnya.
H ditetapkan tersangka setelah Minggu petang 19 Juni, ke empat remaja laki-laki melarikan diri dari sebuah rumah di Jalan Pemuda, Kota Cirebon. Belakangan diketahui, mereka merupakan para pekerja perusahaan sarang burung walet di rumah itu.
Mereka mengaku, melarikan diri karena ingin pulang ke rumah mereka di Jawa Tengah. Sejak bekerja di rumah itu pada Maret 2016, mereka kerapkali tak diizinkan pulang. Jangankan pulang, selama bekerja mereka mengaku telah diperlakukan semena-mena.
Dari empat orang tersebut, dua di antaranya berusia di bawah 17 tahun. Selain keempatnya, polisi yang kemudian menggerebek rumah tersebut, mendapati sekitar 16 perempuan pekerja lain. Mereka pun diduga sebagai korban penyekapan dan penjualan orang.
Kala itu, keempat pekerja yang melarikan diri itu diketahui bernama Andriyanto (14) warga Jalan Selat Karimata 3 RT 2 RW 6, Pekalongan Utara, Pekalongan, Jawa Tengah, Krisnoto (16) Pekalongan, Nur Arifin, warga Ponowareng RT 12 RW 2 Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, dan Warno (22) warga Desa Kenconorejo RT 10 RW 03 Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang.
Berdasar penuturan mereka, awalnya keempatnya ditawari bekerja di sebuah rumah makan di Jakarta, namun malah bekerja di perusahaan burung walet itu sejak Maret 2016.
Perusahaan burung walet itu nyatanya hanya berupa rumah besar nan mewah yang tak tampak layaknya kantor atau tempat usaha seperti seharusnya.
"Saya ditawari seseorang bernama Muri, warga Karawang, untuk bekerja di Jakarta," ungkap Warno saat itu.
Janji manis pemilik perusahaan membuat mereka akhirnya terpaksa setuju bekerja di tempat itu. Dalam pekerjaannya, mereka diwajibkan mencabuti bulu burung walet dengan upah Rp1.100.000. Pada bulan pertama hingga April, mereka memperoleh upah.
Sayangnya, upah itu dipotong untuk makan Rp150 ribu dan Rp50 ribu untuk listrik. Hanya belakangan, lanjutnya, sejak Mei hingga mereka melarikan diri, mereka belum menerima upah. Setidaknya total masih ada Rp11 juta yang belum diberi oleh pengusaha walet tersebut.
"Masih ada 11 kilogram bulu yang belum dibayar, setiap kilogram dihargai Rp1 juta," ujarnya.
Selain upah yang belum dibayar hingga kini, lama kelamaan perlakuan yang mereka terima tak menyenangkan.
Selain kerap dikurung selama jam kerja sejak pukul 08.00-19.00 WIB, mereka pun hanya diberi makan sekali sehari. "Terkadang tak ada makan sama sekali," keluhnya.
Makan yang mereka dapat hanya nasi putih dan tempe, malah terkadang hanya nasi putih saja.
Saat Ramadhan ini, seringkali mereka hanya sahur dengan air putih karena ketiadaan makanan. Saat berbuka puasa pun mereka pernah diberi nasi putih dengan sebungkus mi instan.
Akibat ketiadaan wadah untuk memasak, mi instan itu pun dimakan mentah bersama nasi putih.
Selain bekerja di dalam ruangan seukuran 3x4 meter, selama bekerja mereka hanya diberi waktu istirahat 30 menit.
Bila tak diberi makan, mereka diizinkan membeli makan di luar dengan waktu terbatas. Kadang, mereka meminta tolong petugas keamanan rumah untuk dibelikan makan.
Dengan perlakuan tak menyenangkan dan terkadang mendapat bentakan maupun makian, mereka pun kerap merindukan rumah.
Namun, keinginan mereka untuk pulang dihalangi majikan. Terlebih mereka selalu diperingati adanya oknum Brimob yang berjaga di sana.
Namun, menjelang lebaran keinginan mereka untuk pulang semakin menguat. "Majikan sebenarnya telah mengizinkan untuk pulang dengan syarat sudah membersihkan hingga 11 kg sarang burung walet," ungkap Warno.
Pekerjaan itu sudah harus selesai pada 19 Juni mendatang. Namun setelah 20 Juni selesai, mereka bukannya mendapat upah dari hasil kerja untuk bisa segera pulang, melainkan justru kembali harus bekerja.
Melihat gelagat tak enak, mereka pun melarikan diri dari sebuah pintu penghubung antara rumah majikan dengan restoran yang saat itu dalam kondisi terbuka, Minggu malam 19 Juni. Oleh warga, mereka pun diamankan dan langsung dibawa melapor ke Polres Cirebon Kota.
Dari situlah, polisi pun menggrebek rumah tersebut. Terpisah, Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Pengawasan Tenaga Kerja Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kota Cirebon, Maman Firmansyah mengungkapkan, perusahaan tersebut hingga kini tak terdaftar.
"Staf kami telah mendatangi empat orang pekerja itu, tapi sampai sekarang kami belum menerima laporan lengkap dari kepolisian. Jadi saya belum bisa berkomentar banyak," kilahnya.
"Pemilik perusahaan berinisial H sudah kami periksa dan ditetapkan sebagai tersangka atas kasus memperkerjakan anak di bawah umur," kata Kasat Reskrim Polres Cirebon Kota AKP Dadang Soediantoro.
Namun, sejauh ini H belum ditahan dengan alasan pemeriksaan masih dilakukan. Pihaknya juga masih belum menetapkan pasal yang akan dikenakan terhadap H dengan alasan yang sama. "Pasal yang akan dikenakan nanti, kita lihat hasil pemeriksaannya dulu," timpalnya.
H ditetapkan tersangka setelah Minggu petang 19 Juni, ke empat remaja laki-laki melarikan diri dari sebuah rumah di Jalan Pemuda, Kota Cirebon. Belakangan diketahui, mereka merupakan para pekerja perusahaan sarang burung walet di rumah itu.
Mereka mengaku, melarikan diri karena ingin pulang ke rumah mereka di Jawa Tengah. Sejak bekerja di rumah itu pada Maret 2016, mereka kerapkali tak diizinkan pulang. Jangankan pulang, selama bekerja mereka mengaku telah diperlakukan semena-mena.
Dari empat orang tersebut, dua di antaranya berusia di bawah 17 tahun. Selain keempatnya, polisi yang kemudian menggerebek rumah tersebut, mendapati sekitar 16 perempuan pekerja lain. Mereka pun diduga sebagai korban penyekapan dan penjualan orang.
Kala itu, keempat pekerja yang melarikan diri itu diketahui bernama Andriyanto (14) warga Jalan Selat Karimata 3 RT 2 RW 6, Pekalongan Utara, Pekalongan, Jawa Tengah, Krisnoto (16) Pekalongan, Nur Arifin, warga Ponowareng RT 12 RW 2 Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, dan Warno (22) warga Desa Kenconorejo RT 10 RW 03 Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang.
Berdasar penuturan mereka, awalnya keempatnya ditawari bekerja di sebuah rumah makan di Jakarta, namun malah bekerja di perusahaan burung walet itu sejak Maret 2016.
Perusahaan burung walet itu nyatanya hanya berupa rumah besar nan mewah yang tak tampak layaknya kantor atau tempat usaha seperti seharusnya.
"Saya ditawari seseorang bernama Muri, warga Karawang, untuk bekerja di Jakarta," ungkap Warno saat itu.
Janji manis pemilik perusahaan membuat mereka akhirnya terpaksa setuju bekerja di tempat itu. Dalam pekerjaannya, mereka diwajibkan mencabuti bulu burung walet dengan upah Rp1.100.000. Pada bulan pertama hingga April, mereka memperoleh upah.
Sayangnya, upah itu dipotong untuk makan Rp150 ribu dan Rp50 ribu untuk listrik. Hanya belakangan, lanjutnya, sejak Mei hingga mereka melarikan diri, mereka belum menerima upah. Setidaknya total masih ada Rp11 juta yang belum diberi oleh pengusaha walet tersebut.
"Masih ada 11 kilogram bulu yang belum dibayar, setiap kilogram dihargai Rp1 juta," ujarnya.
Selain upah yang belum dibayar hingga kini, lama kelamaan perlakuan yang mereka terima tak menyenangkan.
Selain kerap dikurung selama jam kerja sejak pukul 08.00-19.00 WIB, mereka pun hanya diberi makan sekali sehari. "Terkadang tak ada makan sama sekali," keluhnya.
Makan yang mereka dapat hanya nasi putih dan tempe, malah terkadang hanya nasi putih saja.
Saat Ramadhan ini, seringkali mereka hanya sahur dengan air putih karena ketiadaan makanan. Saat berbuka puasa pun mereka pernah diberi nasi putih dengan sebungkus mi instan.
Akibat ketiadaan wadah untuk memasak, mi instan itu pun dimakan mentah bersama nasi putih.
Selain bekerja di dalam ruangan seukuran 3x4 meter, selama bekerja mereka hanya diberi waktu istirahat 30 menit.
Bila tak diberi makan, mereka diizinkan membeli makan di luar dengan waktu terbatas. Kadang, mereka meminta tolong petugas keamanan rumah untuk dibelikan makan.
Dengan perlakuan tak menyenangkan dan terkadang mendapat bentakan maupun makian, mereka pun kerap merindukan rumah.
Namun, keinginan mereka untuk pulang dihalangi majikan. Terlebih mereka selalu diperingati adanya oknum Brimob yang berjaga di sana.
Namun, menjelang lebaran keinginan mereka untuk pulang semakin menguat. "Majikan sebenarnya telah mengizinkan untuk pulang dengan syarat sudah membersihkan hingga 11 kg sarang burung walet," ungkap Warno.
Pekerjaan itu sudah harus selesai pada 19 Juni mendatang. Namun setelah 20 Juni selesai, mereka bukannya mendapat upah dari hasil kerja untuk bisa segera pulang, melainkan justru kembali harus bekerja.
Melihat gelagat tak enak, mereka pun melarikan diri dari sebuah pintu penghubung antara rumah majikan dengan restoran yang saat itu dalam kondisi terbuka, Minggu malam 19 Juni. Oleh warga, mereka pun diamankan dan langsung dibawa melapor ke Polres Cirebon Kota.
Dari situlah, polisi pun menggrebek rumah tersebut. Terpisah, Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Pengawasan Tenaga Kerja Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kota Cirebon, Maman Firmansyah mengungkapkan, perusahaan tersebut hingga kini tak terdaftar.
"Staf kami telah mendatangi empat orang pekerja itu, tapi sampai sekarang kami belum menerima laporan lengkap dari kepolisian. Jadi saya belum bisa berkomentar banyak," kilahnya.
(sms)