Keadaan Memaksa untuk Terus Nomaden hingga Mengemis

Jum'at, 10 Juni 2016 - 06:57 WIB
Keadaan Memaksa untuk Terus Nomaden hingga Mengemis
Keadaan Memaksa untuk Terus Nomaden hingga Mengemis
A A A
PANGKALAN BALAI - Suku Anak Dalam yang notabenenya hidup secara nomaden ini memang sudah terbiasa menetap dan tinggal berpindah-pindah di kawasan hutan Jambi perbatasan Kabupaten Banyuasin Sumsel. Sekarang kondisinya miris karena kian tersisihkan, akibat hutan mereka habis oleh pembalakan liar dan dirampas perkebunan kelapa sawit serta karet.

Tak pelak keadaan ini memaksa mereka untuk terpaksa pindah hingga mengemis di Jalan Lintas Timur Palembang - Betung, Dari pantauan Koran SINDO pada Kamis (9/6/2016) sempat melihat satu rombongan Suku Anak Dalam.

Sebanyak 31 orang tampak berjalan terseok-seok di pinggir Jalan Lintas Timur, Palembang-Betung, kawasan Musi Pahit Banyuasin, mulai dari anak-anak, wanita, pria dewasa, mereka merupakan satu kelompok yang di dalamnya terdapat beberapa keluarga besar.

Saat ditemui banyak dari mereka pria dan anak - anak hanya menggunakan celana panjang tanpa pakaian atas, namun sebenarnya bila diperhatikan secara seksama, penampilan mereka tidak jauh berbeda dengan masyarakat modern saat ini.

Namun memang yang paling mencolok dari mereka, ada perbedaan untuk yang lelaki mulai dari usia anak-anak sampai tua, para kaum pria di Suku Anak Dalam ini tidak ada yang mengenakan pakaian, dan hanya menggunakan sandal plastik saja, dengan rambut kumal dan kulit legam terbakar, bahkan pada pundaknya penuh barang bawaan.

Berbeda dengaan yang perempuan, mereka berjalan secara kelompok dan bertugas membawa anaknya dengan cara berbaris, mulai dari yang kecil digendong hingga yang sudah bisa berjalan.

Koran SINDO mendapatkan kesempatan melakukan wawancara dengan salah satu dari Suku Anak Dalam, Endan (30) mengatakan mereka terpaksa jalan seperti ini, untuk mencari tempat tinggal baru karena hutan mereka telah dirampas pihak perkebunan dan pemerintah di perbatasan wilayah Jambi. Meskipun dengan bahasa yang masih kental dengan bahasa adatnya.

"Sudah satu bulan kami jalan, mulai dari Lubuk Linggau, terus ke Muara Enim, Prabumulih, Palembang dan di Banyuasin, lalu ke Muba, jadi kami pulang ke Jambi sekitar 2 bulan," katanya sambil melihat bungkusan rokok yang berada di bibir jalan.

Akibatnya mereka sekarang tidak memiliki "Huma" atau rumah yang merupakan tempat tinggal mereka dibuat dengan menggunakan terpal dari plastik ini, mereka biasanya menempati huma ini mulai dari 4 hingga 7 orang lebih.

Mengenai hutan atau huma mereka yang hilang, Endan mengutarakan yang melakukannya adalah perusahan perkebunan sawit besar, bahkan mereka sudah diusir dan ditakuti dengan suara keras dari arah perusahaan.

"Kami sudah ramai datang ke perusahaan, kami minta ganti denda adat karena rugi tanah nenek moyang kami justru kami dijawab dengan kekerasan," kata pria yang memiliki 4 orang anak ini.

Keadaan bertambah pahit, setelah kehilangan hutan membuat mereka yang banyak buta huruf otomatis tidak bisa bekerja di perusahaan telah merampas tanah mereka. "Kami buta huruf, tidak bisa baca tulis, jadi kami tidak bisa diterima bekerja. Itu kata orang perusahaan," ujarnya.

Kini hutan mereka yang habis tinggal Hutan Lindung Bukit 12 atau Bukit Barisan, anak-anak ada sekitar 12 mereka belum bisa masuk ke gunung, mereka memilih untuk keluar karena sering diserang oleh pihak perusahaan.

"Pernah kami mengambil berondolan atau buah kelapa sawit malah karung kami dirobek pihak perusahaan," katanya.

Sedangkan yang dikatakan Muhammad (60) mereka melakukan perjalanan ini karena memang sudah adat mereka, saat ditanya kenapa tidak menumpang mobil truk yang melintas.

Salah satu ketua dari kelompok ini menjawab, jika tidak ada yang akan mau mengajak mereka, terlebih ini sudah adat, masyarakat harus berjalan kaki, jika tidak akan dikenakan denda adat, yaitu sebayak 20 potong kain.

Bahkan mereka harus meminta kepada pengguna jalan karena mereka sudah lapar dan susah. "Kami susah kami lapar, habis hutan kami karena PT. Dari pada kami merampok ya makanya kami minta-minta," katanya.

Rupanya dirinya juga mengatakan, jika saat ini perjalanan mereka dalam rangka "Melangun" dalam bahasa adat mereka atau buang sial yang artinya, karena salah satu dari kelompok mereka ada yang mati, dalam kepercayaan mereka jika tidak jalan maka akan ada yang dijemput ikut mati.

Saat di Palembang dirinya mengatakan dapat bantuan dari dinas sosial seperti makanan pakaian dan peralatan masak, kalau uang tidak.

Meski tubuh Suku Anak Dalam ini kuat dan sehat, sayang fisik mereka tidak mereka manfaatkan untuk bekerja keras, tetapi setelah sampai di kampung mereka katanya akan pulang ke Bukit 12.

Terlihat tanpa rasa malu, beberapa dari mereka yang fasih bahasa Indonesia itu melanjutkan perjalanan sambil menengadahkan tangan ke para pengemudi dan orang mereka jumpai.

Bahkan sempat beberapa remaja meminta rokok kepada wartawan yang mewawancarainya, atas imbalan bercerita tentang adatnya.

Sementara Kepala Dinas Sosial Banyuasin Roni Utama saat ditemui terkait masuknya Suku Anak Dalam ke wilayah Banyuasin ini mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Dinas Provinsi Sumsel menangani eksodus Suku Anak Dalam tersebut. Petugas langsung turun ke lokasi Suku Anak Dalam yang melintas di Jalan Musi Pahit.

"Kita akan berikan bantuan makanan dan pakaian ke mereka, dan akan kita antar, namun mereka menolak diantar sampai Bukit Sulap. Soal kenapa kita antar mereka saja ke hutan Bukit Sulap, itu karena mereka menolak," katanya.

Roni juga menegaskan, pihaknya sudah semampu mungkin membantu Suku Anak Dalam ini, namun mereka masih berpegang pada kepercayaan adanya.

"Jadi karena adat menolak untuk kita antar ke Bukit Sulap. Kalau mereka tidak jalan akan didenda 20 potong kain, itu kenapa mereka tidak mau," tandasnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7353 seconds (0.1#10.140)