Eks Ketua Gerwani Blitar Tutup Usia, Banser NU Ucapkan Bela Sungkawa
A
A
A
BLITAR - Mantan Ketua Gerwani Kabupaten Blitar Putmainah tutup usia. Bekas anggota dewan (DPRGR) dari Fraksi Partai Komunis Indonesia (PKI) itu meninggal dunia pada usia 90 tahun. Para peziarah pun berdatangan ke rumah duka di Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar.
Mereka berasal dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk perwakilan organisasi sosial dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Ketua Satkorcab Barisan Ansor Serba Guna (Banser) NU Kabupaten Blitar Imron Rosadi juga hadir disana. Imron mengucapkan bela sungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan.
“Kami turut mengucapkan bela sungkawa, “ tutur Imron atau biasa dipanggil Baron kepada Patmiati, 86 adik kandung Putmainah, Rabu (25/5/2016). Seperti Putmainah, Patmiati tercatat sebagai eks tapol peristiwa 30 September 1965. Ia juga disiksa dan merasakan pengabnya udara penjara wanita Plantungan Semarang selama 9 tahun (1970-1979).
Patmiati dianggap membantu organisasi Gerwani pimpinan Putmainah. Kendati demikian istri anggota TNI AU Abdurrrahman Saleh Malang (juga ditangkap) itu tidak pernah diadili.
Sebagai saudara kandung satu satunya, Patmiati bersama putri sulung Putmainah, yakni Dinana Amin Handayani dan Edi (putra kelima) bertindak sebagai penerima tamu.
Sementara tiga putra Putmainah yang bertempat tinggal di Jakarta dan Temanggung Jawa Tengah masih dalam perjalanan menuju rumah duka. Baron menjelaskan kehadirannya sebagai wujud penghormatan sesama manusia.
Apalagi proses pemakaman almarhumah dilakukan secara agama Islam. Hal itu sekaligus membuktikan bahwa rekonsiliasi 65 di Kabupaten Blitar berjalan alamiah (kultural).
“Ini seperti di wilayah Blitar selatan. Antara anak anak eks PKI dan Ansor bisa hidup bersama berdampingan. Rekonsiliasi di Blitar telah berjalan secara alami. Masa lalu itu telah selesai. Dan yang terpenting tidak ada pihak yang mencoba membukanya lagi sebagai luka lama,“ jelasnya.
Seperti tamu pelayat yang lain. Baron juga mendapat sambutan hangat dan ucapan terima kasih (telah bertakziah) dari pihak keluarga.
Di rumah duka juga terlihat beberapa petugas intelejen dari kepolisian dan militer. Menurut Patmiati, kakaknya menghembuskan nafas terakhir pada pukul 02.30 WIB . Sebelum ajal tiba, suhu tubuh Putmainah tiba tiba meninggi.
“Pada pukul 9 malam suhu tubuh Yu Put (Mbak yu Putmainah) tiba tiba naik sampai 40 derajat celcius. Badanya sampai menggigil,“ tutur Patmiati.
Putmainah sudah tiga tahun menderita stroke. Sebelumnya dia juga sempat mengalami tetanus akibat luka pada gusi yang membuat tidak sadar hingga dua minggu. Akibat stroke separuh tubuh Putmainah lumpuh tiak bisa digerakkan. Dia juga mulai terserang alzeimer (pikun).
Hari harinya nyaris habis di kursi roda dan kamar. Kendati demikian, kata Patmiati semangat kakaknya seolah tidak pernah padam.
Sebelum meninggal Putmainah sempat berpesan bahwa jangan pernah menyerah pada hidup yang tidak adil.
Dia masih sempat mengepalkan sebelah tangan sambil menegaskan maju terus pantang mundur.
“Selain itu sehari sebelum meninggal dunia Yu Put (Putmainah) beberapa kali bicara mau pulang ke rumah bapak (almarhum KH Mansyur). Katanya mau membersihkan rumah bapak,“ jelasnya.
KH Mansyur atau ayah Putmainah merupakan tokoh Sarikat Islam Merah atau Sarikat Rakyat yang terbunuh dalam peristiwa agresi militer Belanda.
Putmainah dimakamkan di TPU Desa Pakisrejo. Keluarga menempatkan makamnya di sebelah kuburan KH Abdurrahman, yakni orang tua KH Mansyur yang dikenal sebagai bekas laskar Prajurit Diponegoro keturunan langsung Sunan Tembayat, penyebar agama Islam di Jawa Tengah.
Sebagaimana lazimnya tradisi muslim nahdliyin (NU), menurut Patmiati pihak keluarga juga akan menggelar doa tahlil untuk Putmainah hingga 40 harinya.
“Kita juga akan melakukan doa tahlil bersama tiga hari, tujuh hari, hingga 40 hari kematian. Kemudian sesuai tradisi akan berlanjut seratus hari dan seribu harinya, “pungkasnya.
Mereka berasal dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk perwakilan organisasi sosial dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Ketua Satkorcab Barisan Ansor Serba Guna (Banser) NU Kabupaten Blitar Imron Rosadi juga hadir disana. Imron mengucapkan bela sungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan.
“Kami turut mengucapkan bela sungkawa, “ tutur Imron atau biasa dipanggil Baron kepada Patmiati, 86 adik kandung Putmainah, Rabu (25/5/2016). Seperti Putmainah, Patmiati tercatat sebagai eks tapol peristiwa 30 September 1965. Ia juga disiksa dan merasakan pengabnya udara penjara wanita Plantungan Semarang selama 9 tahun (1970-1979).
Patmiati dianggap membantu organisasi Gerwani pimpinan Putmainah. Kendati demikian istri anggota TNI AU Abdurrrahman Saleh Malang (juga ditangkap) itu tidak pernah diadili.
Sebagai saudara kandung satu satunya, Patmiati bersama putri sulung Putmainah, yakni Dinana Amin Handayani dan Edi (putra kelima) bertindak sebagai penerima tamu.
Sementara tiga putra Putmainah yang bertempat tinggal di Jakarta dan Temanggung Jawa Tengah masih dalam perjalanan menuju rumah duka. Baron menjelaskan kehadirannya sebagai wujud penghormatan sesama manusia.
Apalagi proses pemakaman almarhumah dilakukan secara agama Islam. Hal itu sekaligus membuktikan bahwa rekonsiliasi 65 di Kabupaten Blitar berjalan alamiah (kultural).
“Ini seperti di wilayah Blitar selatan. Antara anak anak eks PKI dan Ansor bisa hidup bersama berdampingan. Rekonsiliasi di Blitar telah berjalan secara alami. Masa lalu itu telah selesai. Dan yang terpenting tidak ada pihak yang mencoba membukanya lagi sebagai luka lama,“ jelasnya.
Seperti tamu pelayat yang lain. Baron juga mendapat sambutan hangat dan ucapan terima kasih (telah bertakziah) dari pihak keluarga.
Di rumah duka juga terlihat beberapa petugas intelejen dari kepolisian dan militer. Menurut Patmiati, kakaknya menghembuskan nafas terakhir pada pukul 02.30 WIB . Sebelum ajal tiba, suhu tubuh Putmainah tiba tiba meninggi.
“Pada pukul 9 malam suhu tubuh Yu Put (Mbak yu Putmainah) tiba tiba naik sampai 40 derajat celcius. Badanya sampai menggigil,“ tutur Patmiati.
Putmainah sudah tiga tahun menderita stroke. Sebelumnya dia juga sempat mengalami tetanus akibat luka pada gusi yang membuat tidak sadar hingga dua minggu. Akibat stroke separuh tubuh Putmainah lumpuh tiak bisa digerakkan. Dia juga mulai terserang alzeimer (pikun).
Hari harinya nyaris habis di kursi roda dan kamar. Kendati demikian, kata Patmiati semangat kakaknya seolah tidak pernah padam.
Sebelum meninggal Putmainah sempat berpesan bahwa jangan pernah menyerah pada hidup yang tidak adil.
Dia masih sempat mengepalkan sebelah tangan sambil menegaskan maju terus pantang mundur.
“Selain itu sehari sebelum meninggal dunia Yu Put (Putmainah) beberapa kali bicara mau pulang ke rumah bapak (almarhum KH Mansyur). Katanya mau membersihkan rumah bapak,“ jelasnya.
KH Mansyur atau ayah Putmainah merupakan tokoh Sarikat Islam Merah atau Sarikat Rakyat yang terbunuh dalam peristiwa agresi militer Belanda.
Putmainah dimakamkan di TPU Desa Pakisrejo. Keluarga menempatkan makamnya di sebelah kuburan KH Abdurrahman, yakni orang tua KH Mansyur yang dikenal sebagai bekas laskar Prajurit Diponegoro keturunan langsung Sunan Tembayat, penyebar agama Islam di Jawa Tengah.
Sebagaimana lazimnya tradisi muslim nahdliyin (NU), menurut Patmiati pihak keluarga juga akan menggelar doa tahlil untuk Putmainah hingga 40 harinya.
“Kita juga akan melakukan doa tahlil bersama tiga hari, tujuh hari, hingga 40 hari kematian. Kemudian sesuai tradisi akan berlanjut seratus hari dan seribu harinya, “pungkasnya.
(sms)