Melihat Cara Bojonegoro Berkawan dengan Bencana
A
A
A
Mau tak mau, suka tak suka, Bojonegoro dan bencana memang punya hubungan yang sangat erat. Pada musim hujan, wilayah Bojonegoro kerap dilanda banjir dan tanah longsor, serta angin puting beliung. Sebaliknya, saat kemarau tiba, kekeringan dan kebakaran kerap datang tanpa diundang.
Begitulah potret Bojonegoro yang sebagian wilayahnya berupa perbukitan, sedangkan sebagian lagi adalah dataran rendah yang harus berhadapan dengan luapan Sungai Bengawan Solo.
Tapi, belajar dari bencana yang datang silih berganti itu, Bojonegoro justru sukses melakukan inovasi. Inovasi itulah yang membuat Bojonegoro akhirnya sukses mengelola bencana.
“Bencana tak bisa kita lawan, tapi bisa dijadikan kawan,” kata Bupati Bojonegoro Suyoto dalam Seminar Success Story yang diselenggarakan sebagai bagian dari Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) BNPB dan BPBD di Hotel Bidakara Jakarta, Kamis 25 Februari lalu.
Menurut pria yang kerap disapa Kang Yoto ini, inovasi yang dilakukan Bojonegoro untuk menghadapi ancaman kekeringan, adalah membuat sistem tampungan air (embung) dan manajemen air. Sementara bencana banjir memunculkan ide penggunaan paving, dan kolam renang.
Bojonegoro kini memiliki sekitar 340 embung penampung air hujan. Air hasil tampungan ini bisa dimanfaatkan untuk keperluan irigasi maupun sebagai air baku air minum saat kemarau tiba.
Di hadapan sejumlah perwakilan dari BNPB/BPBD, Kang Yoto menceritakan tentang banjir 2007 yang memporakporandakan seluruh Bojonegoro. Wilayah Kecamatan Kota yang tak pernah tersentuh banjir ikut luluh lantak kala itu. Jalan-jalan beraspal tak lagi jelas bentuknya.
Pemerintah saat itu bingung tak tahu harus berbuat apa. “Waktu itu belum ada BNPB dan BPBD. Kami dan masyarakat kalang kabut,” ungkap Kang Yoto.
Tetapi kerusakan hal itu melahirkan ide untuk mempaving jalan. Inovasi ini membuat jalanan tak rusak meski baru tersapu banjir.
Pemkab pun mengambil peranan aktif melakukan sosialisasi, sekaligus belajar bersama masyarakat. Dengan demikian, masyarakat mengetahui apa yang harus dilakukan saat banjir datang.
Pemkab Bojonegoro juga memasukkan pelajaran renang sebagai kurikulum muatan lokal wajib bagi seluruh siswa mulai jenjang SD. Orang yang pintar berenang pasti lebih percaya diri dibandingkan dengan yang tak pandai berenang. “Ini membuat kolam renang dan pabrik paving menjadi usaha yang menguntungkan di Bojonegoro,” kata Kang Yoto.
Kesiapan warga untuk menghadapi bencana memang sangat diperlukan. Pemkab bahkan juga sudah menyediakan tempat-tempat untuk evakuasi saat banjir tiba. Bukan hanya untuk manusia, tapi juga untuk hewan ternak.
Kabupaten Bojonegoro juga membangun sinergitas antara pemerintah daerah, jajaran vertikal, masyarakat, relawan, media dan Satuan Linmas. Secara khusus peran pemerintah dalam tata kelola bencana terbagi dalam beberapa fungsi yakni fungsi kendali informasi, fungsi kendali alat dan sumber daya manusia, serta fungsi fasilitator dan koordinasi.
“Bagi warga Bojonegoro, banjir sekarang tak lagi jadi menjadi hal yang ditakuti. Bahkan beberapa tempat sampai memiliki spanduk bertuliskan Selamat Datang Banjir,” kata Kang Yoto dengan canda. Unik kan?
Begitulah potret Bojonegoro yang sebagian wilayahnya berupa perbukitan, sedangkan sebagian lagi adalah dataran rendah yang harus berhadapan dengan luapan Sungai Bengawan Solo.
Tapi, belajar dari bencana yang datang silih berganti itu, Bojonegoro justru sukses melakukan inovasi. Inovasi itulah yang membuat Bojonegoro akhirnya sukses mengelola bencana.
“Bencana tak bisa kita lawan, tapi bisa dijadikan kawan,” kata Bupati Bojonegoro Suyoto dalam Seminar Success Story yang diselenggarakan sebagai bagian dari Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) BNPB dan BPBD di Hotel Bidakara Jakarta, Kamis 25 Februari lalu.
Menurut pria yang kerap disapa Kang Yoto ini, inovasi yang dilakukan Bojonegoro untuk menghadapi ancaman kekeringan, adalah membuat sistem tampungan air (embung) dan manajemen air. Sementara bencana banjir memunculkan ide penggunaan paving, dan kolam renang.
Bojonegoro kini memiliki sekitar 340 embung penampung air hujan. Air hasil tampungan ini bisa dimanfaatkan untuk keperluan irigasi maupun sebagai air baku air minum saat kemarau tiba.
Di hadapan sejumlah perwakilan dari BNPB/BPBD, Kang Yoto menceritakan tentang banjir 2007 yang memporakporandakan seluruh Bojonegoro. Wilayah Kecamatan Kota yang tak pernah tersentuh banjir ikut luluh lantak kala itu. Jalan-jalan beraspal tak lagi jelas bentuknya.
Pemerintah saat itu bingung tak tahu harus berbuat apa. “Waktu itu belum ada BNPB dan BPBD. Kami dan masyarakat kalang kabut,” ungkap Kang Yoto.
Tetapi kerusakan hal itu melahirkan ide untuk mempaving jalan. Inovasi ini membuat jalanan tak rusak meski baru tersapu banjir.
Pemkab pun mengambil peranan aktif melakukan sosialisasi, sekaligus belajar bersama masyarakat. Dengan demikian, masyarakat mengetahui apa yang harus dilakukan saat banjir datang.
Pemkab Bojonegoro juga memasukkan pelajaran renang sebagai kurikulum muatan lokal wajib bagi seluruh siswa mulai jenjang SD. Orang yang pintar berenang pasti lebih percaya diri dibandingkan dengan yang tak pandai berenang. “Ini membuat kolam renang dan pabrik paving menjadi usaha yang menguntungkan di Bojonegoro,” kata Kang Yoto.
Kesiapan warga untuk menghadapi bencana memang sangat diperlukan. Pemkab bahkan juga sudah menyediakan tempat-tempat untuk evakuasi saat banjir tiba. Bukan hanya untuk manusia, tapi juga untuk hewan ternak.
Kabupaten Bojonegoro juga membangun sinergitas antara pemerintah daerah, jajaran vertikal, masyarakat, relawan, media dan Satuan Linmas. Secara khusus peran pemerintah dalam tata kelola bencana terbagi dalam beberapa fungsi yakni fungsi kendali informasi, fungsi kendali alat dan sumber daya manusia, serta fungsi fasilitator dan koordinasi.
“Bagi warga Bojonegoro, banjir sekarang tak lagi jadi menjadi hal yang ditakuti. Bahkan beberapa tempat sampai memiliki spanduk bertuliskan Selamat Datang Banjir,” kata Kang Yoto dengan canda. Unik kan?
(hyk)