Puluhan Vila Tak Berizin di Ciater Diduga Milik Pejabat
A
A
A
SUBANG - Sejumlah kalangan masyarakat mendesak aparat berwenang segera membongkar puluhan bangunan vila tak berizin (ilegal), yang marak berdiri di kawasan konservasi hutan bambu Kecamatan Ciater, Subang.
Pasalnya, selain tidak mengantongi izin, keberadaan vila-vila mewah tersebut, dianggap dapat merusak keletarian hutan bambu sebagai kawasan hutan lindung dan daerah resapan air.
"Dimana-mana berdiri vila mewah, sebagian lahan lainnya malah ditanami sayuran. Kondisi ini tak bisa dibiarkan, sebab akan merusak lingkungan hutan, dan menimbulkan ancaman longsor atau banjir," ujar Ketua DPRD Subang, Beni Rudiono, Kamis (18/2/2016).
Dia menuding, sejumlah pihak berada di belakang maraknya pendirian vila-vila mewah ilegal tersebut. Karena itu, DPRD memastikan segera memanggil pihak-pihak itu untuk diklarifikasi, guna mencari solusi menyelamatkan kawasan lindung itu.
"Kami akan secepatnya memanggil manajemen PTPN VIII, kecamatan, dan aparat lainnya. Kami yakin, mereka-mereka ini terlibat dalam pendirian puluhan vila bodong itu. Perlu ada tindakan tegas dalam hal ini," ucap politisi PDIP tersebut.
Aktivis lingkungan gerakan masyarakat peduli lingkungan (Gampil) Subang, Iis Rohaeti, menyebut, puluhan vila ilegal yang berdiri di kawasan lindung ini, dimiliki para oknum pejabat.
"Mulai dari oknum aparat hukum, pejabat pemkab, pejabat badan pertanahan, hingga oknum LSM dan wartawan," tuturnya.
Dia pun mendesak Pemkab Subang menindak tegas keberadaan puluhan vila liar tersebut. "Sebaiknya, vila-vila bodong dan merusak lingkungan itu dibongkar saja," timpal Iis.
Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Suwarna Murdias, didampingi Kabid Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal), Nano Sumpena mengungkapkan, berdasarkan catatannya, jumlah vila mewah bodong dan sejumlah bangunan liar lainnya, yang berdiri di lahan hutan bambu, sebanyak 25 unit.
Sisa lahan lainnya ditanami sayuran oleh warga pendatang, dan dibangun empat petak kolam pemancingan ikan.
Akibat aktivitas pembukaan hutan ini, luas lahan konservasi yang semula tujuh hektare, menyusut drastis menjadi hanya tiga hektare saja. Selain itu, aktivitas tersebut juga menyebabkan hilangnya dua dari tiga sumber mata air panas purba, yang selama ini menjadi sumber wisata pemandian air panas Sari Ater.
"Saat ini, sumber mata air panas yang tersisa hanya tinggal satu, umbalan air panas bulan-bulan. Jika perusakan hutan bambu ini terus dibiarkan, maka 10 tahun ke depan, air panas Ciater hanya tinggal kenangan,"katanya.
Pihaknya mengaku aneh, setiap tahun selalu muncul vila-vila baru dan makin luasnya petani pendatang asal Lembang yang menanam sayuran di lokasi hutan bambu tersebut.
"Aneh saja, vila-vila itu kan tak mungkin berdiri, jika tak ada pihak yang mengizinkan pendiriannya," pungkasnya.
Pasalnya, selain tidak mengantongi izin, keberadaan vila-vila mewah tersebut, dianggap dapat merusak keletarian hutan bambu sebagai kawasan hutan lindung dan daerah resapan air.
"Dimana-mana berdiri vila mewah, sebagian lahan lainnya malah ditanami sayuran. Kondisi ini tak bisa dibiarkan, sebab akan merusak lingkungan hutan, dan menimbulkan ancaman longsor atau banjir," ujar Ketua DPRD Subang, Beni Rudiono, Kamis (18/2/2016).
Dia menuding, sejumlah pihak berada di belakang maraknya pendirian vila-vila mewah ilegal tersebut. Karena itu, DPRD memastikan segera memanggil pihak-pihak itu untuk diklarifikasi, guna mencari solusi menyelamatkan kawasan lindung itu.
"Kami akan secepatnya memanggil manajemen PTPN VIII, kecamatan, dan aparat lainnya. Kami yakin, mereka-mereka ini terlibat dalam pendirian puluhan vila bodong itu. Perlu ada tindakan tegas dalam hal ini," ucap politisi PDIP tersebut.
Aktivis lingkungan gerakan masyarakat peduli lingkungan (Gampil) Subang, Iis Rohaeti, menyebut, puluhan vila ilegal yang berdiri di kawasan lindung ini, dimiliki para oknum pejabat.
"Mulai dari oknum aparat hukum, pejabat pemkab, pejabat badan pertanahan, hingga oknum LSM dan wartawan," tuturnya.
Dia pun mendesak Pemkab Subang menindak tegas keberadaan puluhan vila liar tersebut. "Sebaiknya, vila-vila bodong dan merusak lingkungan itu dibongkar saja," timpal Iis.
Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Suwarna Murdias, didampingi Kabid Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal), Nano Sumpena mengungkapkan, berdasarkan catatannya, jumlah vila mewah bodong dan sejumlah bangunan liar lainnya, yang berdiri di lahan hutan bambu, sebanyak 25 unit.
Sisa lahan lainnya ditanami sayuran oleh warga pendatang, dan dibangun empat petak kolam pemancingan ikan.
Akibat aktivitas pembukaan hutan ini, luas lahan konservasi yang semula tujuh hektare, menyusut drastis menjadi hanya tiga hektare saja. Selain itu, aktivitas tersebut juga menyebabkan hilangnya dua dari tiga sumber mata air panas purba, yang selama ini menjadi sumber wisata pemandian air panas Sari Ater.
"Saat ini, sumber mata air panas yang tersisa hanya tinggal satu, umbalan air panas bulan-bulan. Jika perusakan hutan bambu ini terus dibiarkan, maka 10 tahun ke depan, air panas Ciater hanya tinggal kenangan,"katanya.
Pihaknya mengaku aneh, setiap tahun selalu muncul vila-vila baru dan makin luasnya petani pendatang asal Lembang yang menanam sayuran di lokasi hutan bambu tersebut.
"Aneh saja, vila-vila itu kan tak mungkin berdiri, jika tak ada pihak yang mengizinkan pendiriannya," pungkasnya.
(nag)