Kisah Korban Bom Sarinah yang Tewas karena Ditilang Polisi
A
A
A
BOYOLALI - SALAH satu korban aksi penembakan dan bom di Sarinah, Jalan MH Tamrin, Jakarta, Rico Hermawan (20) dimakamkan di Dukuh Jayan, Desa Senting, Kecamatan Sambi, Boyolali, Jawa Tengah.
Jenazah Rico diberangkatkan dari RS Polri, Kramat Jati, Jakarta, pada Sabtu 16 Januari 2016 malam melalui perjalanan darat. Mobil ambulans yang membawa tiba di rumah duka pada Minggu 17 Januari 2016 pukul 05.30 WIB.
Dua jam berselang, prosesi pemakaman dimulai setelah dilakukan serah terima jenazah dari Kapolres Boyolali AKBP Budi Sartono dan salat jenazah.
Saat dimakamkan di pemakaman umum dusun setempat yang berjarak sekitar 100 meter dari rumah duka, kedua orangtuanya ikut mengantarkan. Mereka sangat tabah dan mengikhlaskan kepergian anak sulungnya menghadap Ilahi.
“Saat pertama kali mendengar kabar itu, ibunya memang sempat pingsan. Saat jenazah tiba di Boyolali, ibunya kembali pingsan,” tutur Sigit Mulyono Putro (34), paman Rico saat ditemui usai pemakaman, Minggu (17/1/2016).
Diceritakannya, Rico merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Usianya genap 20 tahun karena baru berulang tahun pada 3 Desember 2015 lalu. Saat kecil, Rico dilahirkan di Boyolali, namun dibesarkan di Jakarta.
Mulai dari TK hingga lulus SMK sekitar dua tahun lalu, Rico sekolahnya semua di Jakarta. Ayahnya yang asli dusun setempat, sejak bujang telah merantau ke ibu kota dan berprofesi sebagai wiraswasta.
Sementara ibunya sebagai pedagang sayur di pasar Jakarta. Keluarga kecil itu berdomisili di Jalan Batuampar 5, Condet, Jakarta Timur.
Kabar mengenai Rico yang menjadi korban cukup membuat syok seluruh anggota keluarga. Pasalnya sebelum kejadian, Rico mengantar saudara sepupunya Anggun melamar pekerjaan di kawasan Sarinah.
Anggun yang ibunya merupakan kakak dari ayahnya Rico, sebelum tahun baru lalu sengaja datang ke Jakarta untuk liburan sekaligus mencari pekerjaan.
Setelah kabar mengenai aksi penembakan dan teror bom di Sarinah disiarkan di televisi, kedua orangtua Rico cukup panik karena tahu anak dan keponakan mereka pergi ke kawasan itu.
Rasa cemas semakin besar setelah mendapat kabar Anggun menjadi salah satu korban luka dan dirawat di Rumah Sakit Gatot Subroto (RSPAD).
Dari cerita Anggun, Rico yang bersamanya berboncengan naik sepeda motor ditilang polisi karena salah jalur. Mereka kemudian dibawa ke pos polisi yang ada di Jalan MH Thamrin.
Rico berjalan di depan dan Anggun di belakang dengan jarak antara 2-3 meter. Ketika Rico mulai memasuki pos polisi dan Anggun masih di luar, tiba-tiba ada ledakan bom. Pasca ledakan, Anggun ditolong seorang pengendara Gojek.
Namun dia tidak tahu lagi posisi Rico ada di mana. Dari cerita Anggun, pihak keluarga kala itu juga belum mengetahui posisi Rico ada di mana. Sehingga Ayah Rico bersama anggota keluarga lainnya melakukan pencarian.
Pencarian dilakukan ke rumah sakit yang merawat para korban luka. Termasuk ke sejumlah rumah sakit lainnya, namun nama Rico tidak ditemukan. Pencarian juga dilakukan dengan mengupdate data perkembangan korban teror bom di Jakarta.
Pihak keluarga lalu mencari ke Rumah Sakit Polri tempat tujuh orang jenazah dalam tragedi Sarinah di tempatkan di sana. Hanya saja, keluarga juga tidak dapat melihat jenazah karena tidak diizinkan.
Baru kemudian Ayah Rico diambil sampel DNA untuk mencocokkan dengan salah satu jenazah. Kepastian baru diperoleh bahwa Rico menjadi korban tewas dalam aksi terorisme Sabtu sore, karena hasil tes DNA cocok dengan ayahnya.
Setelah diberikan kepastian dan diserahkan kepada pihak keluarga, jenazah lalu dibawa ke Boyolali untuk dimakamkan. “Ibunya Rico terlebih dahulu berangkat ke Boyolali dengan anggota keluarga lainnya,” terangnya.
Sedangkan ayahnya menyusul kemudian setelah jenazah diberangkat. Sebelum peristiwa maut merenggut anaknya, kedua orangtua Rico sama sekali tidak mendapat firasat apapun. Tingkah laku Rico maupun ucapannya juga biasa-biasa saja.
“Cuma anaknya semakin pendiam sebelum kejadian itu. Dalam sehari-hari memang pendiam, tapi beberapa hari sebelumnya memang agak beda diamnya,” beber Sigit.
Sebelum meninggal dunia, ada keinginan Rico yang belum kesampaian, yakni kuliah sembari bekerja. Setelah lulus SMK, Rico sempat bekerja sebagai penjaga warnet namun kemudian keluar.
Setelah itu, kesehariannya antar jemput ibunya yang berjualan sayur di pasar. Setelah jenazah anaknya dimakamkan, orangtua Rico terlihat mulai bisa tersenyum meski raut wajahnya tak bisa menyembunyikan kesedihan.
Sesekali dia tampak bercanda dengan anak bungsunya Ria. Demikian pula ibunya juga lebih tegar dan bisa menemui pelayat yang masih terus berdatangan.
Hanya saja, dari keluarga belum mengizinkan awak media untuk mewawancarai, karena dikhawatirkan akan kembali syok setelah kehilangan anaknya.
Jenazah Rico diberangkatkan dari RS Polri, Kramat Jati, Jakarta, pada Sabtu 16 Januari 2016 malam melalui perjalanan darat. Mobil ambulans yang membawa tiba di rumah duka pada Minggu 17 Januari 2016 pukul 05.30 WIB.
Dua jam berselang, prosesi pemakaman dimulai setelah dilakukan serah terima jenazah dari Kapolres Boyolali AKBP Budi Sartono dan salat jenazah.
Saat dimakamkan di pemakaman umum dusun setempat yang berjarak sekitar 100 meter dari rumah duka, kedua orangtuanya ikut mengantarkan. Mereka sangat tabah dan mengikhlaskan kepergian anak sulungnya menghadap Ilahi.
“Saat pertama kali mendengar kabar itu, ibunya memang sempat pingsan. Saat jenazah tiba di Boyolali, ibunya kembali pingsan,” tutur Sigit Mulyono Putro (34), paman Rico saat ditemui usai pemakaman, Minggu (17/1/2016).
Diceritakannya, Rico merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Usianya genap 20 tahun karena baru berulang tahun pada 3 Desember 2015 lalu. Saat kecil, Rico dilahirkan di Boyolali, namun dibesarkan di Jakarta.
Mulai dari TK hingga lulus SMK sekitar dua tahun lalu, Rico sekolahnya semua di Jakarta. Ayahnya yang asli dusun setempat, sejak bujang telah merantau ke ibu kota dan berprofesi sebagai wiraswasta.
Sementara ibunya sebagai pedagang sayur di pasar Jakarta. Keluarga kecil itu berdomisili di Jalan Batuampar 5, Condet, Jakarta Timur.
Kabar mengenai Rico yang menjadi korban cukup membuat syok seluruh anggota keluarga. Pasalnya sebelum kejadian, Rico mengantar saudara sepupunya Anggun melamar pekerjaan di kawasan Sarinah.
Anggun yang ibunya merupakan kakak dari ayahnya Rico, sebelum tahun baru lalu sengaja datang ke Jakarta untuk liburan sekaligus mencari pekerjaan.
Setelah kabar mengenai aksi penembakan dan teror bom di Sarinah disiarkan di televisi, kedua orangtua Rico cukup panik karena tahu anak dan keponakan mereka pergi ke kawasan itu.
Rasa cemas semakin besar setelah mendapat kabar Anggun menjadi salah satu korban luka dan dirawat di Rumah Sakit Gatot Subroto (RSPAD).
Dari cerita Anggun, Rico yang bersamanya berboncengan naik sepeda motor ditilang polisi karena salah jalur. Mereka kemudian dibawa ke pos polisi yang ada di Jalan MH Thamrin.
Rico berjalan di depan dan Anggun di belakang dengan jarak antara 2-3 meter. Ketika Rico mulai memasuki pos polisi dan Anggun masih di luar, tiba-tiba ada ledakan bom. Pasca ledakan, Anggun ditolong seorang pengendara Gojek.
Namun dia tidak tahu lagi posisi Rico ada di mana. Dari cerita Anggun, pihak keluarga kala itu juga belum mengetahui posisi Rico ada di mana. Sehingga Ayah Rico bersama anggota keluarga lainnya melakukan pencarian.
Pencarian dilakukan ke rumah sakit yang merawat para korban luka. Termasuk ke sejumlah rumah sakit lainnya, namun nama Rico tidak ditemukan. Pencarian juga dilakukan dengan mengupdate data perkembangan korban teror bom di Jakarta.
Pihak keluarga lalu mencari ke Rumah Sakit Polri tempat tujuh orang jenazah dalam tragedi Sarinah di tempatkan di sana. Hanya saja, keluarga juga tidak dapat melihat jenazah karena tidak diizinkan.
Baru kemudian Ayah Rico diambil sampel DNA untuk mencocokkan dengan salah satu jenazah. Kepastian baru diperoleh bahwa Rico menjadi korban tewas dalam aksi terorisme Sabtu sore, karena hasil tes DNA cocok dengan ayahnya.
Setelah diberikan kepastian dan diserahkan kepada pihak keluarga, jenazah lalu dibawa ke Boyolali untuk dimakamkan. “Ibunya Rico terlebih dahulu berangkat ke Boyolali dengan anggota keluarga lainnya,” terangnya.
Sedangkan ayahnya menyusul kemudian setelah jenazah diberangkat. Sebelum peristiwa maut merenggut anaknya, kedua orangtua Rico sama sekali tidak mendapat firasat apapun. Tingkah laku Rico maupun ucapannya juga biasa-biasa saja.
“Cuma anaknya semakin pendiam sebelum kejadian itu. Dalam sehari-hari memang pendiam, tapi beberapa hari sebelumnya memang agak beda diamnya,” beber Sigit.
Sebelum meninggal dunia, ada keinginan Rico yang belum kesampaian, yakni kuliah sembari bekerja. Setelah lulus SMK, Rico sempat bekerja sebagai penjaga warnet namun kemudian keluar.
Setelah itu, kesehariannya antar jemput ibunya yang berjualan sayur di pasar. Setelah jenazah anaknya dimakamkan, orangtua Rico terlihat mulai bisa tersenyum meski raut wajahnya tak bisa menyembunyikan kesedihan.
Sesekali dia tampak bercanda dengan anak bungsunya Ria. Demikian pula ibunya juga lebih tegar dan bisa menemui pelayat yang masih terus berdatangan.
Hanya saja, dari keluarga belum mengizinkan awak media untuk mewawancarai, karena dikhawatirkan akan kembali syok setelah kehilangan anaknya.
(san)