Pembom Sarinah, Pernah Mondok Bareng Noordin M Top
A
A
A
SUBANG - Ahmad Muhazan bin Saroni (25) warga Kedungwungu, Indramayu, terduga pelaku bom Sarinah Jakarta, ternyata pernah mondok bareng Noordin M Top pentolan teroris asal Malaysia. Ahmad Muhazan mondok bareng Noordin M Top di Pondok Pesantren Miftahul Huda, Kp Bungur, Desa Sukahaji, Kecamatan Ciasem, Subang.
"Benar, Azan (sapaan akrab Ahmad Muhazan) memang pernah mondok di Miftahul Huda bareng Noordin M Top tahun 2007 silam, sebelum tokoh teroris asal Malaysia itu meninggal 2009 lalu," ungkap Kepala Desa Sukahaji, Kecamatan Ciasem, Hakim, Jumat (15/1/2016).
Dia menuturkan, sejak tragedi Bom Bali meletus 2002 silam, aktivitas di pesantren tersebut sudah tidak terlihat, dan hanya sedikit santri yang masih mondok di sana.
"Keberadaan pesantren ini memang dianggap meresahkan warga, karena diduga terkait jaringan terorisme, sehingga mendapat perhatian aparat," ucapnya.
Pihaknya bersama aparat berwajib, mengaku beberapa kali melakukan upaya mediasi dengan pimpinan pesantren itu, yang diketahui bernama Khoerul Anam, agar suasana tidak semakin memburuk. "Namun memang pimpinan pesantren ini sangat sulit ditemui," kata Hakim.
Kasi Pondok Pesantren Kementerian Agama (Kemenag) Subang, Olih Solihin mengaku, Pesantren Miftahul Huda resmi terdaftar di Kemenag.
"Kami beberapa kali berkunjung ke sana, tapi belum pernah ketemu dengan pengasuhnya, Khaerul Anam. Dia cenderung tertutup," timpalnya.
Terpisah, Camat Ciasem Dadang Darmawan, menduga, pesantren ini punya hubungan dengan Abu Bakar Ba'asyir. Sebab, saat dirinya bersama aparat muspika berkunjung ke sana, mereka dibekali sejumlah buku keagamaan karya Abu Bakar Ba'asyir.
"Tapi kami tidak ketemu sama pemimpinnya, Kiai Khoerul Anam. Orangnya susah ditemui," pungkasnya.
Pesantren tersebut, berdiri sejak 1980 dan dipimpin oleh Khoerul Anam, yang merupakan warga pendatang. Pesantren itu semula didirikan dan dipimpin KH Abdullah.
Belakangan, putri kiai itu menikah dengan Khoerul Anam, seorang santri dari sebuah pesantren di Tasikmalaya. Setelah sang kiai wafat, kepemimpinan pesantren dilanjutkan sang menantu, Khoerul Anam.
Awalnya, keberadaan pesantren tersebut diterima baik oleh warga sekitar. Namun, sejak dipimpin Kiai Anam, sejumlah kejanggalan mulai terlihat.
Di antaranya, pesantren sering mengadakan latihan perang yang diikuti orang-orang luar daerah; kegiatannya mulai tertutup; dan kerap menyebut aparat pemerintah sebagai 'thogut' (artinya: setan), suatu istilah yang identik dengan aliran keagamaan radikal.
"Benar, Azan (sapaan akrab Ahmad Muhazan) memang pernah mondok di Miftahul Huda bareng Noordin M Top tahun 2007 silam, sebelum tokoh teroris asal Malaysia itu meninggal 2009 lalu," ungkap Kepala Desa Sukahaji, Kecamatan Ciasem, Hakim, Jumat (15/1/2016).
Dia menuturkan, sejak tragedi Bom Bali meletus 2002 silam, aktivitas di pesantren tersebut sudah tidak terlihat, dan hanya sedikit santri yang masih mondok di sana.
"Keberadaan pesantren ini memang dianggap meresahkan warga, karena diduga terkait jaringan terorisme, sehingga mendapat perhatian aparat," ucapnya.
Pihaknya bersama aparat berwajib, mengaku beberapa kali melakukan upaya mediasi dengan pimpinan pesantren itu, yang diketahui bernama Khoerul Anam, agar suasana tidak semakin memburuk. "Namun memang pimpinan pesantren ini sangat sulit ditemui," kata Hakim.
Kasi Pondok Pesantren Kementerian Agama (Kemenag) Subang, Olih Solihin mengaku, Pesantren Miftahul Huda resmi terdaftar di Kemenag.
"Kami beberapa kali berkunjung ke sana, tapi belum pernah ketemu dengan pengasuhnya, Khaerul Anam. Dia cenderung tertutup," timpalnya.
Terpisah, Camat Ciasem Dadang Darmawan, menduga, pesantren ini punya hubungan dengan Abu Bakar Ba'asyir. Sebab, saat dirinya bersama aparat muspika berkunjung ke sana, mereka dibekali sejumlah buku keagamaan karya Abu Bakar Ba'asyir.
"Tapi kami tidak ketemu sama pemimpinnya, Kiai Khoerul Anam. Orangnya susah ditemui," pungkasnya.
Pesantren tersebut, berdiri sejak 1980 dan dipimpin oleh Khoerul Anam, yang merupakan warga pendatang. Pesantren itu semula didirikan dan dipimpin KH Abdullah.
Belakangan, putri kiai itu menikah dengan Khoerul Anam, seorang santri dari sebuah pesantren di Tasikmalaya. Setelah sang kiai wafat, kepemimpinan pesantren dilanjutkan sang menantu, Khoerul Anam.
Awalnya, keberadaan pesantren tersebut diterima baik oleh warga sekitar. Namun, sejak dipimpin Kiai Anam, sejumlah kejanggalan mulai terlihat.
Di antaranya, pesantren sering mengadakan latihan perang yang diikuti orang-orang luar daerah; kegiatannya mulai tertutup; dan kerap menyebut aparat pemerintah sebagai 'thogut' (artinya: setan), suatu istilah yang identik dengan aliran keagamaan radikal.
(sms)