Berebut Air Jamasan Gong Kiai Pradah

Sabtu, 26 Desember 2015 - 08:07 WIB
Berebut Air Jamasan Gong Kiai Pradah
Berebut Air Jamasan Gong Kiai Pradah
A A A
BLITAR - 'Tuah' pusaka Gong Kiai Pradah tidak juga berubah. Ribuan orang masih juga rela berdiri berdesak-desakan di lapangan Lodoyo, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar hanya untuk ngalap berkah air bekas bilasannya (jamasan).

"Sae nopo awon suantenipun (bagus atau jelek suaranya)?" tanya Bupati Blitar Herry Noegroho sembari memukul Gong Kiai Pradah sebanyak tujuh kali.

Meski telah menjelma logam perunggu tua, Gong Kiai Pradah masih memantulkan gema yang membahana. "Saeee (bagus)," begitu suara ribuan warga menjawab tanya Bupati Herry Noegroho.

Dari lubang empat shower yang tercantol di sudut Sanggar Pasiraman, air menyemprot kencang. Bunga tujuh rupa dan air bercampur menjadi satu. Siraman air membuat adonan kapur dan warangan (arsenik) yang melapis permukaan Gong Kiai Pradah luntur dan mengelupas.

Orang-orang yang berjarak terdekat mulai berebut mendekat. Masih banyak yang meyakini air bekas bilasan dan apa pun yang melekat di pusaka Kiai Pradah bisa membawa berkah kebaikan, mulai masalah kesehatan, perjodohan, kelancaran rezeki, maupun sukses dalam pendidikan.

Air yang jatuh itu ditampung dengan wadah seadanya. Adonan kapur warangan yang telah lumer menyerupai mentega itu dicoleki. Ada yang mengoleskan di kedua pipi, leher, dan tengkuk. Ada juga yang membalurkan hingga kedua lengan.

Dahulu, pada pukulan yang ketujuh, harimau dan singa konon berdatangan. Saat itu kawasan Lodoyo masih berupa rimba raya yang menjadi pembuangan Pangeran Prabu keturunan Raja Mataram garis Pakubuwono Pertama.

Karena tidak juga menemukan tuanya, "pakhatik" atau pengikut Pangeran Prabu memukul gong itu tujuh kali. Anehnya, gerombolan "Sima" atau "Simo" (harimau) yang datang itu tidak menyerang. Hewan buas dengan beberapa ekor di antaranya berbulu putih itu justru memberikan perlindungan.

Cerita tutur (babad) itu terus hidup dan diselorohkan di setiap upacara siraman Gong Kiai Pradah. Tak heran Lodoyo menggunakan harimau sebagai ikon daerah.

"Acara siraman ini wujud perhatian Pemkab Blitar melestarikan budaya peninggalan nenek moyang," tutur Bupati Herry.

Versi lain menyebut Kiai Pradah atau Kiai Bicak sebagai pusaka milik Panembahan Senopati, Raja Pertama Mataram Islam. Pusaka berbentuk alat musik gamelan itu berasal dari Ki Ageng Selo, tokoh sakti penangkap petir berdarah keturunan Raja Majapahit.

Dengan Kiai Bicak, Panembahan Senopati berhasil mengusir pasukan Raja Pajang yang hendak menaklukkan Mataram. Perang besar dengan komposisi tidak seimbang itu terjadi di kawasan Prambanan, Jawa Tengah.

H.J De Graaf dalam buku "Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapat" menyebutkan bagaimana Sutawijaya atau Panembahan Senopati memukul Kiai Bicak berulang ulang di tengah suasana erupsi Gunung Merapi dan kobaran api yang berasal dari jerami yang sengaja dibakar.

Situasi mencekam yang sengaja diciptakan itu membuat pasukan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya (Raja Pajang) kabur.

Di tangan Pangeran Prabu, pusaka Kiai Pradah digunakan sebagai senjata untuk membuka hutan belantara yang dalam perjalanannya menjadi permukiman warga.

Pada akhir hayatnya, Pangeran Prabu berwasiat kepada istri dan keturunannya bahwa pusaka itu harus dimandikan di setiap bulan Maulud 12 Rabiul Awal dan 1 Muharam atau Suro.

Berebut Air Jamasan Gong Kiai Pradah


Setelah dimandikan, pusaka itu dibungkus kembali dengan kain kafan.

Juru kunci lantas mengembalikannya ke Sanggar Pelereman atau tempat penyimpanan pusaka. Proses pengembalian ini juga melalui iring-iringan panjang. Sebab tidak sedikit warga yang ingin menyentuhnya langsung.

Oleh panitia, air bekas jamasan itu kemudian disiram-siramkan, disemprotkan ke udara. Inilah momentum yang ditunggu warga. Ribuan orang pun saling berebutan.

Kepala Disporbudpar Kabupaten Blitar Luhur Sejati mengatakan bahwa upacara siraman pusaka Kiai Pradah sudah menjadi agenda wisata rutin tahunan. Bahkan, wisata sejarah ini telah tercatat di Provinsi Jawa Timur.

"Ritual ini memiliki efek ekonomi kerakyatan yang bagus. Sebab tidak sedikit masyarakat sekitar yang diuntungkan. Banyak dagangan yang laku," ujarnya.

Kasmiran (83), kakek sembilan cucu asal Kelurahan Kalipang, Kecamatan Sutojayan, mengaku selalu hadir di setiap upacara siraman pusaka Kiai Pradah.

Warga yang lain, Kasmiran juga turut berebut air bekas siraman. Ia meyakini bekas siraman yang bercampur dengan kapur dan warangan Gong Pradah membuat fisiknya senantiasa bugar.

"Ya, kalau saya tujuannya untuk menghilangkan pegel linu saja. Caranya diusap-usapkan di bagian yang sakit. Ini saya lakukan sudah pergantian lima juru kunci," pungkasnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4532 seconds (0.1#10.140)