Riwayat Raja Gula dari Semarang Oei Tiong Ham
A
A
A
NAMANYA tersohor di empat benua, Eropa, Amerika, Asia dan Australia. Namun tidak banyak yang mengingatnya kini. Dia adalah Raja Gula dari Semarang Oei Tiong Ham, anak seorang pelarian pelaku pemberontakan Taiping (1851-1854) Oei Tjie Sien.
Mengupas riwayat Mayor Oei Tiong Ham pada Cerita Pagi hari ini bukan hanya bicara tentang masa kejayaan para imigran China peranakan di Indonesia masa Hindia Belanda, tetapi juga kebangkrutannya akibat badai Revolusi Indonesia.
Oei Tiong Ham adalah putra sulung pasangan Oei Tjie Sien dan Tjun Bien Nio. Dia lahir di Semarang pada 1866. Kendati lahir dari keluarga China kaya, Oei Tiong Ham tidak pernah mendapatkan pendidikan di sekolah Belanda dan Inggris.
Satu-satunya pendidikan yang ditempuhnya adalah sekolah China (Hokkian) di Semarang yang banyak mengajarkan kesusastraan dan berhitung. Di kelasnya, dia dikenal sebagai murid yang pandai dan mempunyai pengetahuan cukup luas.
Meski tidak pernah masuk sekolah Belanda dan Inggris, faktanya Oei Tiong Ham bisa menulis kedua bahasa asing itu dengan lancar dan benar. Pengetahuan bahasa Belanda dan Inggris-nya itu didapatkan dari pelajaran private di rumahnya.
Sebagai keluarga pedagang China keturunan yang sangat kaya, keluarga Oei Tiong Ham memiliki persinggungan yang erat dengan sejumlah pejabat penting Belanda. Persinggungan ini mengakibatkan terasimilasinya kebudayaan Belanda pada keluarganya.
Tetapi karena sekolah-sekolah Belanda tidak mau atau menolak murid orang China, keluarga Oei Tiong Ham terpaksa memanggil dan membayar para guru Belanda dan Inggris untuk mengajari anak-anak mereka di rumah mereka secara private.
Pendidikan Belanda baru bisa dinikmati oleh orang-orang China keturunan pada akhir tahun 1870 saat masuknya sekolah misi gereja. Periode ini disebut juga sebagai era lahirnya kelompok China peranakan yang tahu bahasa dan kebudayaan Belanda.
Pada 1884, saat Oei Tiong Ham berusia 18 tahun, dia dinikahkan ayahnya kepada seorang China peranakan yang hidupnya cukup mapan bernama Goei Bing Nio. Dari istri pertamanya itu, dia dikaruniai dua orang anak, Oei Tjong Lan dan Oei Hui Lan.
Sampai akhir abad ke-19, orang-orang China peranakan tidak diizinkan berpakaian layaknya orang Eropa seperti memakai jas dan pantolan atau berpakaian lengkap. Jika ada orang China berani memakai pakaian itu, maka akan disanksi denda.
Peraturan itu jelas sangat menghina orang China dan Oei Tiong Ham. Berbeda dengan watak ayahnya yang kolot dan sangat berhati-hati, Oei Tiong Ham berpikiran modern dan berani. Dia tidak mau berpakaian dan berambut kepang/kuncir orang China.
Pada 1889, melalui pengacaranya Baron CW van Heckeren, dia mengajukan petisi untuk diizinkan memotong taocang/kepangnya dan berpakaian menurut gaya Eropa. Petisi ini dikabulkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Dengan dikabulkannya petisi itu, Oei Tiong Ham menjadi orang China-Jawa pertama yang memakai pakaian ala Eropa di Semarang. Baru pada 1905, orang China akhirnya dibebaskan berpakaian tanpa harus meminta izin terlebih dahulu.
Namun, setahun sebelumnya pada 1904, para pegawainya di Kian Gwan telah mengikuti gaya berpakaiannya. Kebangkitan Oei Tiong Ham dalam dunia bisnis sangat cepat, bahkan sanggup melampaui prestasi yang pernah ditorehkan oleh ayahnya.
Oei Tiong Ham mulai nyempung secara total dalam dunia bisnis pada 1890, ketika usianya baru menginjak 24 tahun. Bakatnya dalam menjalankan bisnis dituruni dari ayahnya Oei Tjie Sien. Dengan tekun, Oei Tiong Ham belajar kepada ayahnya.
Keberhasilannya yang pertama dalam berdagang adalah dengan berjualan candu. Bisnis ini dijalankannya pada 1886. Saat itu, Oei Tiong Ham diangkat sebagai letnan di bawah sistem Perwira China Bhe Kwat King di Semarang.
Baru pada 1890 pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Tituler. Dia menduduki jabatan itu hingga 13 tahun sampai 1903. Dengan jabatan itu (Selain karena kecakapannya), Oei Tiong Ham mendapatkan banyak kemudahan dan keberhasilan menjual candu.
Pada 1900, Oei Tjie Sien meninggal dunia di Landhuis Penggiling (Distrik Simongan) pada usia 65 tahun. Sepeninggalnya Oei Tjie Sien, bisnis Kian Gwan yang berarti Sumber Semua Kebahagiaan dilanjutkan oleh anaknya Oei Tiong Ham.
Di tangan Oei Tiong Ham, bisnis Kian Gwan tumbuh sangat pesat. Bisnis utama Kian Gwan saat itu adalah gula, selain karet, kapuk randu, kopi, tepung tepioka, lada, jagung kacang tanah, buah jarak, dan minyak sereh.
Dengan bantuan uang tunai sebesar USD300.000,00 dari seorang tua berkebangsaan Jerman, bekas konsul Jerman di Hindia Belanda, Oei Tiong Ham mengirim pegawainya orang Belanda dan China ke pabrik-pabrik di Eropa.
Langkah Oei Tiong Ham mengirim para pekerjanya ke Eropa untuk mempelajari bagaimana cara menjalankan dan memperbaiki mesin-mesin baru dan metode produksi baru. Pengiriman tenaga ahli ke luar ini dia lakukan secara periodik.
Hasilnya, pabrik gula milik Kian Gwan menjadi pabrik modern pertama di Hindia Belanda. Saat itu, Oei Tiog Ham telah menjadi pengusaha paling kaya di Hindia Belanda dan Asia yang sangat disegani dunia.
Sejumlah surat kabar yang terbit saat itu, seperti De Locomotief di Semarang, Java Bode, Nieuws van den Dag di Batavia, dan Soerabaiasch Handelsblad menulis Oei Tiong Ham sebagai The Richest man between Shanghai and Australia.
Tidak banyak yang tahu, bahwa pada 1921 Oei Tiong Ham membayar kerugian perang Belanda dari keuntungan bisnisnya hingga 35 juta gulden. Pembayaran itu dilakukan dengan menggunakan cek yang ditarik dari Javasche Bank.
Tidak hanya itu, dia juga diminta untuk membayar pajak penghasilan lain oleh Pemerintah Kolonial Belanda selama masa perang yang dianggap sebagai pajak ganda penghasilan. Tetapi dia menolak dan akhirnya memilih kabur ke Singapura.
Di Singapura, Oei Tiong Ham dikenal sebagai juragan tanah. Hingga tahun 1924, tanah milik Oei Tiong Ham telah mencapai seperempat luas Kepulauan Singapura. Selain tanah-tanah, Oei Tiong Ham juga memiliki banyak rumah-rumah.
Hingga hari ini, sebagai penghargaan terhadapnya ada satu nama jalan yang memakai nama Oei Tiong Ham. Tempat itu adalah Oei Tiong Ham Park yang letaknya di samping Jalan Raya Holland Road yang menjurus ke daerah Industri Jurong.
Selama menetap di Singapura, Oei Tiong Ham menjadi orang yang sangat dermawan. Dia menyumbang 150 Straits Dollar kepada Malayan University, dan USD40.000 kepada Joseph School yang memiliki sekolah rendah hingga setingkat HBS.
Lima tahun sebelum kematiannya, Oei Tiong Ham mendirikan Bank Vereeniging Oei Tiong Ham dengan modal 4 juta rupiah Hindia Belanda. Setelah perang dunia pertama pada 1919, modalnya yang terhitung lima pabrik gula mencapai 40 juta gulden penuh.
Sejak sukses memimpin Kian Gwan, sejak 1900-1924, kekayaan Mayor Oei Tiong Ham ditaksir mencapai 200 juta gulden. Dari jumlah itu, setengah adalah uang kontan, termasuk uang yang didepositokan ke bank-bank.
Oei Tiong Ham diketahui memiliki delapan orang istri dan 26 orang anak. Seluruh kekayaannya diwariskan kepada semua anak-anaknya sesuai dengan wasiat yang ditulis sendiri olehnya sebelum meninggal dunia.
Kendati ditinggal pergi Oei Tiong Ham, bisnis Kian Gwan yang berkembang menjadi Bank Vereeniging Oei Tiong Ham, pabrik gula Oei Tiong Ham, perusahaan kapal Heap Eng Moh, NV Midden Java Veem, Soen Bie Kongsi dan lainnya tetap berjalan.
Jika pada perang dunia pertama membawa dampak yang sangat menguntungkan bagi Kian Gwan dengan naiknya harga gula, maka pada perang dunia kedua membawa badai yang merontokkan bisnis Kian Gwan satu persatu hingga kehancurannya.
Tidak bisanya Kian Gwan atau Oei Tiong Ham Concern beradaptasi dengan gelora revolusi yang tengah pecah di Indonesia, membuat perusahaan dagang raksasa ini digulung sejarah. Pada 10 Juli 1961, seluruh aset Oei Tiong Ham Concern disita.
Penyitaan seluruh aset Oei Tiong Ham Concern berlangsung saat Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan resmi untuk menasionalisasi semua perusahaan Belanda. Namun pernyitaan itu lebih diartikan sebagai perebutan paksa.
Dalam satu wawancara, salah satu pewaris binis Oei Tiong Ham Concern, yakni Oei Tjong Ie menyatakan, penyitaan itu akibat peran dirinya dalam aksi penyelundupan kopra dari Sulawesi dan kasus pengadilan melawan pemerintah Indonesia di Belanda.
Dalam pengadilan itu, pihaknya mengaku menang dan berhasil menyelamatkan tas surat saham yang diblokir di Javasche Bank. Di luar itu, dia melihat adanya kebijakan Oei Tiong Ham Concern yang salah dalam menilai situasi di Indonesia.
Sampai di sini ulasan singkat Riwayat Raja Gula dari Semarang Oei Tiong Ham diakhiri, semoga memberikan manfaat kepada pembaca.
Sumber Tulisan
Liem Tjwan Ling, Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang, KPG, Cetakan Pertama, Januari 2013.
Ongokham, Kapitalisme Cina di Hindia Belanda, dikutip dalam Konglomerat Oei Tiong Ham, Grafiti, Cetakan Kedua 1992.
Yoshihara Kunio, Wawancara dengan Oei Tjong Ie, dikutip dalam Konglomerat Oei Tiong Ham, Grafiti, Cetakan Kedua 1992.
Bondan Kanumoyoso, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, Sinar Harapan, Cetakan Pertama, Jakarta 2001.
PILIHAN
RM Sosrokartono, Saksi Perjanjian Damai Rahasia Perang Dunia I
Kesaksian Siauw Giok Tjhan dalam Gestapu 1965
Ben Anderson dan Kudeta Militer 1 Oktober 1965
Pembantaian Massal 1965, Kejahatan Kemanusiaan yang Terlupakan
Mengupas riwayat Mayor Oei Tiong Ham pada Cerita Pagi hari ini bukan hanya bicara tentang masa kejayaan para imigran China peranakan di Indonesia masa Hindia Belanda, tetapi juga kebangkrutannya akibat badai Revolusi Indonesia.
Oei Tiong Ham adalah putra sulung pasangan Oei Tjie Sien dan Tjun Bien Nio. Dia lahir di Semarang pada 1866. Kendati lahir dari keluarga China kaya, Oei Tiong Ham tidak pernah mendapatkan pendidikan di sekolah Belanda dan Inggris.
Satu-satunya pendidikan yang ditempuhnya adalah sekolah China (Hokkian) di Semarang yang banyak mengajarkan kesusastraan dan berhitung. Di kelasnya, dia dikenal sebagai murid yang pandai dan mempunyai pengetahuan cukup luas.
Meski tidak pernah masuk sekolah Belanda dan Inggris, faktanya Oei Tiong Ham bisa menulis kedua bahasa asing itu dengan lancar dan benar. Pengetahuan bahasa Belanda dan Inggris-nya itu didapatkan dari pelajaran private di rumahnya.
Sebagai keluarga pedagang China keturunan yang sangat kaya, keluarga Oei Tiong Ham memiliki persinggungan yang erat dengan sejumlah pejabat penting Belanda. Persinggungan ini mengakibatkan terasimilasinya kebudayaan Belanda pada keluarganya.
Tetapi karena sekolah-sekolah Belanda tidak mau atau menolak murid orang China, keluarga Oei Tiong Ham terpaksa memanggil dan membayar para guru Belanda dan Inggris untuk mengajari anak-anak mereka di rumah mereka secara private.
Pendidikan Belanda baru bisa dinikmati oleh orang-orang China keturunan pada akhir tahun 1870 saat masuknya sekolah misi gereja. Periode ini disebut juga sebagai era lahirnya kelompok China peranakan yang tahu bahasa dan kebudayaan Belanda.
Pada 1884, saat Oei Tiong Ham berusia 18 tahun, dia dinikahkan ayahnya kepada seorang China peranakan yang hidupnya cukup mapan bernama Goei Bing Nio. Dari istri pertamanya itu, dia dikaruniai dua orang anak, Oei Tjong Lan dan Oei Hui Lan.
Sampai akhir abad ke-19, orang-orang China peranakan tidak diizinkan berpakaian layaknya orang Eropa seperti memakai jas dan pantolan atau berpakaian lengkap. Jika ada orang China berani memakai pakaian itu, maka akan disanksi denda.
Peraturan itu jelas sangat menghina orang China dan Oei Tiong Ham. Berbeda dengan watak ayahnya yang kolot dan sangat berhati-hati, Oei Tiong Ham berpikiran modern dan berani. Dia tidak mau berpakaian dan berambut kepang/kuncir orang China.
Pada 1889, melalui pengacaranya Baron CW van Heckeren, dia mengajukan petisi untuk diizinkan memotong taocang/kepangnya dan berpakaian menurut gaya Eropa. Petisi ini dikabulkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Dengan dikabulkannya petisi itu, Oei Tiong Ham menjadi orang China-Jawa pertama yang memakai pakaian ala Eropa di Semarang. Baru pada 1905, orang China akhirnya dibebaskan berpakaian tanpa harus meminta izin terlebih dahulu.
Namun, setahun sebelumnya pada 1904, para pegawainya di Kian Gwan telah mengikuti gaya berpakaiannya. Kebangkitan Oei Tiong Ham dalam dunia bisnis sangat cepat, bahkan sanggup melampaui prestasi yang pernah ditorehkan oleh ayahnya.
Oei Tiong Ham mulai nyempung secara total dalam dunia bisnis pada 1890, ketika usianya baru menginjak 24 tahun. Bakatnya dalam menjalankan bisnis dituruni dari ayahnya Oei Tjie Sien. Dengan tekun, Oei Tiong Ham belajar kepada ayahnya.
Keberhasilannya yang pertama dalam berdagang adalah dengan berjualan candu. Bisnis ini dijalankannya pada 1886. Saat itu, Oei Tiong Ham diangkat sebagai letnan di bawah sistem Perwira China Bhe Kwat King di Semarang.
Baru pada 1890 pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Tituler. Dia menduduki jabatan itu hingga 13 tahun sampai 1903. Dengan jabatan itu (Selain karena kecakapannya), Oei Tiong Ham mendapatkan banyak kemudahan dan keberhasilan menjual candu.
Pada 1900, Oei Tjie Sien meninggal dunia di Landhuis Penggiling (Distrik Simongan) pada usia 65 tahun. Sepeninggalnya Oei Tjie Sien, bisnis Kian Gwan yang berarti Sumber Semua Kebahagiaan dilanjutkan oleh anaknya Oei Tiong Ham.
Di tangan Oei Tiong Ham, bisnis Kian Gwan tumbuh sangat pesat. Bisnis utama Kian Gwan saat itu adalah gula, selain karet, kapuk randu, kopi, tepung tepioka, lada, jagung kacang tanah, buah jarak, dan minyak sereh.
Dengan bantuan uang tunai sebesar USD300.000,00 dari seorang tua berkebangsaan Jerman, bekas konsul Jerman di Hindia Belanda, Oei Tiong Ham mengirim pegawainya orang Belanda dan China ke pabrik-pabrik di Eropa.
Langkah Oei Tiong Ham mengirim para pekerjanya ke Eropa untuk mempelajari bagaimana cara menjalankan dan memperbaiki mesin-mesin baru dan metode produksi baru. Pengiriman tenaga ahli ke luar ini dia lakukan secara periodik.
Hasilnya, pabrik gula milik Kian Gwan menjadi pabrik modern pertama di Hindia Belanda. Saat itu, Oei Tiog Ham telah menjadi pengusaha paling kaya di Hindia Belanda dan Asia yang sangat disegani dunia.
Sejumlah surat kabar yang terbit saat itu, seperti De Locomotief di Semarang, Java Bode, Nieuws van den Dag di Batavia, dan Soerabaiasch Handelsblad menulis Oei Tiong Ham sebagai The Richest man between Shanghai and Australia.
Tidak banyak yang tahu, bahwa pada 1921 Oei Tiong Ham membayar kerugian perang Belanda dari keuntungan bisnisnya hingga 35 juta gulden. Pembayaran itu dilakukan dengan menggunakan cek yang ditarik dari Javasche Bank.
Tidak hanya itu, dia juga diminta untuk membayar pajak penghasilan lain oleh Pemerintah Kolonial Belanda selama masa perang yang dianggap sebagai pajak ganda penghasilan. Tetapi dia menolak dan akhirnya memilih kabur ke Singapura.
Di Singapura, Oei Tiong Ham dikenal sebagai juragan tanah. Hingga tahun 1924, tanah milik Oei Tiong Ham telah mencapai seperempat luas Kepulauan Singapura. Selain tanah-tanah, Oei Tiong Ham juga memiliki banyak rumah-rumah.
Hingga hari ini, sebagai penghargaan terhadapnya ada satu nama jalan yang memakai nama Oei Tiong Ham. Tempat itu adalah Oei Tiong Ham Park yang letaknya di samping Jalan Raya Holland Road yang menjurus ke daerah Industri Jurong.
Selama menetap di Singapura, Oei Tiong Ham menjadi orang yang sangat dermawan. Dia menyumbang 150 Straits Dollar kepada Malayan University, dan USD40.000 kepada Joseph School yang memiliki sekolah rendah hingga setingkat HBS.
Lima tahun sebelum kematiannya, Oei Tiong Ham mendirikan Bank Vereeniging Oei Tiong Ham dengan modal 4 juta rupiah Hindia Belanda. Setelah perang dunia pertama pada 1919, modalnya yang terhitung lima pabrik gula mencapai 40 juta gulden penuh.
Sejak sukses memimpin Kian Gwan, sejak 1900-1924, kekayaan Mayor Oei Tiong Ham ditaksir mencapai 200 juta gulden. Dari jumlah itu, setengah adalah uang kontan, termasuk uang yang didepositokan ke bank-bank.
Oei Tiong Ham diketahui memiliki delapan orang istri dan 26 orang anak. Seluruh kekayaannya diwariskan kepada semua anak-anaknya sesuai dengan wasiat yang ditulis sendiri olehnya sebelum meninggal dunia.
Kendati ditinggal pergi Oei Tiong Ham, bisnis Kian Gwan yang berkembang menjadi Bank Vereeniging Oei Tiong Ham, pabrik gula Oei Tiong Ham, perusahaan kapal Heap Eng Moh, NV Midden Java Veem, Soen Bie Kongsi dan lainnya tetap berjalan.
Jika pada perang dunia pertama membawa dampak yang sangat menguntungkan bagi Kian Gwan dengan naiknya harga gula, maka pada perang dunia kedua membawa badai yang merontokkan bisnis Kian Gwan satu persatu hingga kehancurannya.
Tidak bisanya Kian Gwan atau Oei Tiong Ham Concern beradaptasi dengan gelora revolusi yang tengah pecah di Indonesia, membuat perusahaan dagang raksasa ini digulung sejarah. Pada 10 Juli 1961, seluruh aset Oei Tiong Ham Concern disita.
Penyitaan seluruh aset Oei Tiong Ham Concern berlangsung saat Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan resmi untuk menasionalisasi semua perusahaan Belanda. Namun pernyitaan itu lebih diartikan sebagai perebutan paksa.
Dalam satu wawancara, salah satu pewaris binis Oei Tiong Ham Concern, yakni Oei Tjong Ie menyatakan, penyitaan itu akibat peran dirinya dalam aksi penyelundupan kopra dari Sulawesi dan kasus pengadilan melawan pemerintah Indonesia di Belanda.
Dalam pengadilan itu, pihaknya mengaku menang dan berhasil menyelamatkan tas surat saham yang diblokir di Javasche Bank. Di luar itu, dia melihat adanya kebijakan Oei Tiong Ham Concern yang salah dalam menilai situasi di Indonesia.
Sampai di sini ulasan singkat Riwayat Raja Gula dari Semarang Oei Tiong Ham diakhiri, semoga memberikan manfaat kepada pembaca.
Sumber Tulisan
Liem Tjwan Ling, Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang, KPG, Cetakan Pertama, Januari 2013.
Ongokham, Kapitalisme Cina di Hindia Belanda, dikutip dalam Konglomerat Oei Tiong Ham, Grafiti, Cetakan Kedua 1992.
Yoshihara Kunio, Wawancara dengan Oei Tjong Ie, dikutip dalam Konglomerat Oei Tiong Ham, Grafiti, Cetakan Kedua 1992.
Bondan Kanumoyoso, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, Sinar Harapan, Cetakan Pertama, Jakarta 2001.
PILIHAN
RM Sosrokartono, Saksi Perjanjian Damai Rahasia Perang Dunia I
Kesaksian Siauw Giok Tjhan dalam Gestapu 1965
Ben Anderson dan Kudeta Militer 1 Oktober 1965
Pembantaian Massal 1965, Kejahatan Kemanusiaan yang Terlupakan
(san)