Pendidikan Tanpa Ideologi Melahirkan Ilmuan Tukang
A
A
A
YOGYAKARTA - Indonesia kini tengah mengalami krisis ideologi pendidikan secara nasional. Pendidikan di Indonesia sekarang lebih mencerminkan praktik jual ilmu dan keterampilan.
"Dosen dan guru sekarang ini bukan lagi menjadi pendidik, tapi pembentuk ilmuwan tukang," kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Dr Busyro Muqoddas, Selasa (22/12/2015).
Ditambahkan dia, dampak yang ditimbulkan dari pendidikan itu adalah pelacuran intelektual. Terbukti dengan banyaknya pelaku tindak pidana korupsi yang berasal kelas menengah ke atas dan terpelajar tetapi sikapnya sangat tidak terdidik.
Krisis pendidikan nasional juga tampak pada pola akreditasi sekolah, perguruan tinggi, sertifikasi guru-dosen yang berparadigma administrasi tukang.
"Sementara peluang aktivitas sosial kemanusiaan tidak diberi ruang secara memadai dalam akreditasi. Kampus negeri dan agama bahkan terjebak pada berhala birokrasi negara," ungkapnya.
Dan kampus justru memperparah institusinya dengan mengobral gelar doktor (HC) dan profesor (HC) pada pejabat negara, bukan pejuang kemanusiaan yang tulus, berani, mandiri dan tanpa pamrih.
Mantan Ketua Komisi Yudisial ini pun menuturkan, mahasiswa secara nasional pun mengalami keterasingan sebagai dampak dari kemiskinan masif akibat korupsi. Booming aktivis dan dosen menjadi politisi pun ternyata tidak membawa penyehatan.
Hal senada diungkapkan Guru Besar Hukum Tata Negara FH UII Prof Dr Mahfud MD. Menurutnya perang melawan korupsi di Indonesia sejatinya menjadi salah satu tujuan utama Reformasi 1998.
"Namun dalam perkembangannya kini justru sangat mengkhawatirkan, karena bentuk korupsi bukan lagi hanya mengeruk kekayaan keuangan negara, tapi masuk ke dalam kebijakan atau korupsi politik," jelasnya.
Dijelaskan Mahfud, korupsi kebijakan atau korupsi politik adalah korupsi yang dilakukan tidak dalam bentuk uang, melainkan dalam bentuk menciptakan kondisi melalui peraturan dan kebijakan yang merugikan rakyat dan negara secara berkelanjutan.
Dalam pengalamannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2013, Mahfud mengaku banyak membatalkan UU karena bertendensi koruptif, seperti UU Migas dan UU Kepartaian.
"Banyak juga kebijakan pemerintah yang meskipun benar secara formal, tapi mematikan atau melumpuhkan perekonomian domestik. Misalnya kebijakan impor berbagai hasil pertanian, padahal kita memilikinya secara melimpah ruah," paparnya.
Terpisah, Dekan FH UII Dr Aunurrahim Faqih menuturkan, Indonesia membutuhkan upaya kontrol yang kuat saat pembahasan suatu produk peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan semangat kebijakan pemerintah, bukan hasil kompromi kepentingan.
"Pemerintah harus membuat road map kebijakan yang tegas, jelas dan realistis. Kemudian mentransformasikannya menjadi isu publik, sehingga menjadi satu semangat bersama bangsa Indonesia," pungkasnya.
"Dosen dan guru sekarang ini bukan lagi menjadi pendidik, tapi pembentuk ilmuwan tukang," kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Dr Busyro Muqoddas, Selasa (22/12/2015).
Ditambahkan dia, dampak yang ditimbulkan dari pendidikan itu adalah pelacuran intelektual. Terbukti dengan banyaknya pelaku tindak pidana korupsi yang berasal kelas menengah ke atas dan terpelajar tetapi sikapnya sangat tidak terdidik.
Krisis pendidikan nasional juga tampak pada pola akreditasi sekolah, perguruan tinggi, sertifikasi guru-dosen yang berparadigma administrasi tukang.
"Sementara peluang aktivitas sosial kemanusiaan tidak diberi ruang secara memadai dalam akreditasi. Kampus negeri dan agama bahkan terjebak pada berhala birokrasi negara," ungkapnya.
Dan kampus justru memperparah institusinya dengan mengobral gelar doktor (HC) dan profesor (HC) pada pejabat negara, bukan pejuang kemanusiaan yang tulus, berani, mandiri dan tanpa pamrih.
Mantan Ketua Komisi Yudisial ini pun menuturkan, mahasiswa secara nasional pun mengalami keterasingan sebagai dampak dari kemiskinan masif akibat korupsi. Booming aktivis dan dosen menjadi politisi pun ternyata tidak membawa penyehatan.
Hal senada diungkapkan Guru Besar Hukum Tata Negara FH UII Prof Dr Mahfud MD. Menurutnya perang melawan korupsi di Indonesia sejatinya menjadi salah satu tujuan utama Reformasi 1998.
"Namun dalam perkembangannya kini justru sangat mengkhawatirkan, karena bentuk korupsi bukan lagi hanya mengeruk kekayaan keuangan negara, tapi masuk ke dalam kebijakan atau korupsi politik," jelasnya.
Dijelaskan Mahfud, korupsi kebijakan atau korupsi politik adalah korupsi yang dilakukan tidak dalam bentuk uang, melainkan dalam bentuk menciptakan kondisi melalui peraturan dan kebijakan yang merugikan rakyat dan negara secara berkelanjutan.
Dalam pengalamannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2013, Mahfud mengaku banyak membatalkan UU karena bertendensi koruptif, seperti UU Migas dan UU Kepartaian.
"Banyak juga kebijakan pemerintah yang meskipun benar secara formal, tapi mematikan atau melumpuhkan perekonomian domestik. Misalnya kebijakan impor berbagai hasil pertanian, padahal kita memilikinya secara melimpah ruah," paparnya.
Terpisah, Dekan FH UII Dr Aunurrahim Faqih menuturkan, Indonesia membutuhkan upaya kontrol yang kuat saat pembahasan suatu produk peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan semangat kebijakan pemerintah, bukan hasil kompromi kepentingan.
"Pemerintah harus membuat road map kebijakan yang tegas, jelas dan realistis. Kemudian mentransformasikannya menjadi isu publik, sehingga menjadi satu semangat bersama bangsa Indonesia," pungkasnya.
(san)