Pemerintah Dinilai Setengah Hati Padamkan Lahan Gambut
A
A
A
YOGYAKARTA - Pemerintah dibantu masyarakat dan beberapa negara tetangga sudah berusaha melakukan pemadaman kebakaran lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan.
Sayangnya, upaya yang dilakukan belum membuahkan hasil maksimal dan kabut asap pun kian menebal akiba dari kebakaran lahan gambut.
Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah Muhidin Mawardi melihat pemerintah setengah hati dalam penanganan kebakaran lahan gambut.
Dia melihat pemadaman lewat konvensional, dengan menyiram air pada permukaan lahan tidak efektif.
"Cara menyiram air efektif kalau lahannya kecil, tidak terlalu luas. Cara itu tidak akan berhasil untuk kebakaran lahan gambut yang sudah meluas," katanya.
Dia menjelaskan secara ilmiah lahan gambut memiliki sifat fisika yang spesifik, yakni berat isi (bulk density) rendah, sehingga daya simpan air sangat tinggi. Tapi, kemampuan menahan beban rendah.
Lahan gambut memiliki laju subsiden (penurunan permukaan tanah) cepat jika kehilangan air (lengas), dan sifat mengering tidak balik.
"Lahan gambut ini seperti spon. Dia menyerap air cepat, tapi mudah hilang. Dalam keadaan kering ini mudah terbakar, karena kandungan karbonnya tinggi," jelasnya.
Saat permukaan atas disiram air, bara yang ada dalam tanah masih ada. Sehingga, bisa muncul kembali api yang menyebabkan kebakaran.
Pemerintah, memiliki cara untuk memadamkan lahan gambut, yakni membuat kanal-kanal dan kolam air (embung). Tujuannya, untuk membasahi lahan gambut.
"Cara itu tidak akan berhasil, justru sebaliknya, akan memperparah potensi kebakaran. Kenapa ? karena tidak ada air," jelasnya.
Kanal dan embung yang tidak ada airnya ini justru menjadi kanal drainasi (pengatusan) yang akan mengatur air yang dikandung lahan gambut.
Akibatnya, lahan gambut akan kehilangan air, bahkan akan mengalami over drained. Lahan yang sudah mengalami kering kerontang ini sulit dibasahi kembali, walaupun disiram air, sekalipun hujan.
Tanah gambut yang kering, sangat mudah terbakar. Sehingga, dikhawatirkan memperluas lahan yang terbakar, dan akan lebih sulit dipadamkan.
"Kanalisasi dan pembuatan embung disamping membutuhkan biaya tinggi dan waktu lama, juga bertentangan dengan kaidah pengelolaan lahan gambut," jelasnya.
Untuk itu, pengerahan segala potensi, teknologi, dan sumber daya secara sungguh-sungguh, terencana, dan berkesinambungan dalam penanganan.
"Mendatangkan tim ahli yang spesifik untuk menyelesaikan masalah ini harus dilakukan mengingat, banyak ahli yang tidak dilibatkan dalam penanganan lahan gambut ini," pungkasnya.
Sayangnya, upaya yang dilakukan belum membuahkan hasil maksimal dan kabut asap pun kian menebal akiba dari kebakaran lahan gambut.
Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah Muhidin Mawardi melihat pemerintah setengah hati dalam penanganan kebakaran lahan gambut.
Dia melihat pemadaman lewat konvensional, dengan menyiram air pada permukaan lahan tidak efektif.
"Cara menyiram air efektif kalau lahannya kecil, tidak terlalu luas. Cara itu tidak akan berhasil untuk kebakaran lahan gambut yang sudah meluas," katanya.
Dia menjelaskan secara ilmiah lahan gambut memiliki sifat fisika yang spesifik, yakni berat isi (bulk density) rendah, sehingga daya simpan air sangat tinggi. Tapi, kemampuan menahan beban rendah.
Lahan gambut memiliki laju subsiden (penurunan permukaan tanah) cepat jika kehilangan air (lengas), dan sifat mengering tidak balik.
"Lahan gambut ini seperti spon. Dia menyerap air cepat, tapi mudah hilang. Dalam keadaan kering ini mudah terbakar, karena kandungan karbonnya tinggi," jelasnya.
Saat permukaan atas disiram air, bara yang ada dalam tanah masih ada. Sehingga, bisa muncul kembali api yang menyebabkan kebakaran.
Pemerintah, memiliki cara untuk memadamkan lahan gambut, yakni membuat kanal-kanal dan kolam air (embung). Tujuannya, untuk membasahi lahan gambut.
"Cara itu tidak akan berhasil, justru sebaliknya, akan memperparah potensi kebakaran. Kenapa ? karena tidak ada air," jelasnya.
Kanal dan embung yang tidak ada airnya ini justru menjadi kanal drainasi (pengatusan) yang akan mengatur air yang dikandung lahan gambut.
Akibatnya, lahan gambut akan kehilangan air, bahkan akan mengalami over drained. Lahan yang sudah mengalami kering kerontang ini sulit dibasahi kembali, walaupun disiram air, sekalipun hujan.
Tanah gambut yang kering, sangat mudah terbakar. Sehingga, dikhawatirkan memperluas lahan yang terbakar, dan akan lebih sulit dipadamkan.
"Kanalisasi dan pembuatan embung disamping membutuhkan biaya tinggi dan waktu lama, juga bertentangan dengan kaidah pengelolaan lahan gambut," jelasnya.
Untuk itu, pengerahan segala potensi, teknologi, dan sumber daya secara sungguh-sungguh, terencana, dan berkesinambungan dalam penanganan.
"Mendatangkan tim ahli yang spesifik untuk menyelesaikan masalah ini harus dilakukan mengingat, banyak ahli yang tidak dilibatkan dalam penanganan lahan gambut ini," pungkasnya.
(nag)