Pengikut Ki Ageng Suryomentaram di Dusun Balong
A
A
A
TIDAK banyak yang mengenal nama Ki Ageng Suryomentaram. Putera ke-55 Sri Sultan Hamengku Buwono VII ini merupakan tokoh kontroversial di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Laki-laki yang memiliki nama lahir Bendara Raden Mas (BRM) Kudiarmadji ini memilih pergi meninggalkan kemewahan hidup di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, untuk hidup di tengah masyarakat biasa.
Konon, dia meninggalkan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat karena merasa jenuh berada di balik tembok keraton dan tidak pernah bertemu masyarakat. Jiwanya yang bebas terpenjara oleh lingkungan keraton dan dunia luar.
Dia merasa hidupnya sangat tertekan dan tidak betah tinggal dalam lingkungan keraton. Rasa tidak puas dan tidak betah membuatnya mengajukan pemohonan kepada Ayahandanya Sri Sultan HB VII untuk berhenti menjadi pangeran.
Permohonan yang tidak logis kala itu memang tidak dikabulkan oleh orangtuanya. Dan pada kesempatan lain, dia juga meminta izin untuk naik haji, tetapi juga tidak dikabulkan.
Akhirnya, karena merasa jenuh, diam-diam dia meninggalkan keraton dan pergi ke Cilacap. Dia memilih menjadi pedagang kain batik dan setagen (ikat pinggang tradisional dari kain).
Kenekatan Ki Ageng Suryomentaram meninggalkan kungkungan kehidupan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, kini banyak dikenal dengan ajaran Kaweruh Jiwo (Pengetahuan Jiwa).
Inti ajaran ini adalah mencari kebahagiaan. Banyak hal yang bisa diungkap dalam ilmu Kaweruh Jiwo, berbagai sisi kehidupan telah tercatat. Bahkan saking banyaknya, pemahaman Kaweruh Jiwo ditulis hingga jilid 30.
Kini, meski sudah lama tiada, namun ajaran Ki Ageng Suryomentaram masih ada yang mewarisi dan menjaganya. Salah satunya terlihat di Dusun Balong, Desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon. Warga dusun ini pengikut ajaran Ki Ageng Suryometaraman.
Sumar Al Gino, warga yang dipercaya menjadi Ketua Kampung Seni Balong menuturkan, warga awalnya tidak tahu jika tradisi yang sudah lama diterapkan di dusun tersebut adalah ajaran yang disebarkan oleh Ki Ageng Suryometaraman.
Mereka baru sadar setelah cucu dari Ki Ageng Suryometaraman hadir di Dusun Balong, yakni Ki Prasetyo yang mengatakan jika Dusun Balong ternyata sangat kuat menjalankan ajaran Ki Ageng Suryometaraman.
“Sebenarnya itu sudah tradisi sejak dahulu setahu saya,” tutur laki-laki berumur 53 tahun ini, kepada wartawan, Selasa 15 September 2015 lalu.
Menurut Gino, ajaran Ki Ageng Suryometaraman dengan kawruh jiwo tersebut bukanlah agama, dan bukan juga aliran kepercayaan. Tetapi hanya wejangan (nasehat) kehidupan.
Catatan-catatan perjalanan hidup dari berbagai sisi ada dalam ajaran ini. Tetapi yang pasti, ajaran ini tidak mengajarkan baik dan buruknya sesuatu, meski terkadang mengungkapkan akibat dari sebuah tindakan.
Gino menambahkan, di kampungnya rutin mengadakan pertemuan untuk membahas permasalahan dusun tersebut. Warga berusaha menjaga agar satu sama lain tetap guyub rukun (menjaga kebersamaan).
Dengan ajaran Kawruh Jiwo, kini kehidupan warga Dusun Balong lebih tenteram, jika dibanding dengan kampung lain, nilai kebersamaan Dusun Balong lebih baik. Semua diangkat dalam kegotong royongan dan kebersamaan.
“Kalau ada yang tidak datang dalam kerja bakti misalnya, nanti ada sanksi sosial yang cukup tegas. Di antaranya adalah warga tidak akan datang jika warga yang tak ikut kegiatan tanpa alasan yang jelas tersebut sedang hajatan," jelasnya.
Tetapi, warga memaklumi jika warga tidak hadir karena alasannya sedang bekerja. Kebersamaan dan kegotongroyongan memang menjadi ruh dari kehidupan di dusun ini. Salah satu yang sederhana ajaran Kawruh Jiwo adalah menanggung bersama.
Untuk renovasi masjid misalnya, mereka tak mengandalkan bantuan dari luar. Justru seluruh warga secara bersama-sama menyumbangkan apa yang mereka miliki.
Warga dengan sukarela menyumbang meskipun itu hanya satu sak semen, serta beberapa rupiah untuk biaya pengerjaannya. Tanpa uluran dari pihak luar, pihak takmir masjid An Nur bahkan mampu mengumpulkan donasi sebesar Rp48 juta.
Meski tidak tahu sampai kapan renovasi masjid, mereka akan lakukan sesuai dengan kemampuan. “Untuk urusan kesenian juga demikian. Ketika pentas, kami berhasil mengumpulkan beras 5 kuintal dan juga 50 tandan pisang,” ungkapnya.
Beberapa ajaran lain yang masih ada adalah Kawruh Raos Sami yang artinya semua warga merasakan hal yang sama. Jika ada satu warga yang sedang kerepotan, maka warga yang lain turut merasakan dan berusaha meringankannya.
Jiwa Pamomong juga muncul dalam ajaran ini, yaitu bagaimana mendidik cucu untuk berpendidikan lebih baik. Dalam mendidik anak, antar warga saling memberi masukan, bahkan jiwa gotong royong masih nampak.
Karena dengan ajaran ini, warga memiliki ambisi untuk menyekolahkan anaknya lebih tinggi, harapannya supaya kehidupan mereka dikemudian hari lebih baik dibanding orangtuanya.
Filosofi sering disebut Garan Moncer alias Garan Pensiun, yaitu bekal pensiun orangtuanya di mana ketika pensiun nanti akan nunut (ikut) hidup dengan anaknya. “Gaji yang tinggi belum tentu menjamin kebahagiaan mereka,” terangnya.
Di kehidupan masyarakat harus selalu Salam Langgeng Bungah Susah yaitu hidup akan terus berputar. Jika sekarang sedang bahagia, maka belum tentu akan bahagia terus dan jika sekarang susah pasti suatu saat akan bahagia.
"Artinya adalah, tidak menyikapi apa yang ada saat ini dengan berlebihan," jelasnya.
Karena kelebihan ajaran ini, Fakultas Psikologi UGM secara khusus mempelajarinya. Bahkan, ada kelas khusus Kawruh Jiwo yang mereka selenggarakan dan kini mereka juga akan membuka kelas di Dusun Balong sebagai kelas rujukan.
Bahkan, rencananya Balong akan dijadikan sebagai laboratorium hidup Kawruh Jiwo. “Ini hanya filosofi hidup yang kami terapkan,” akunya.
Terpisah, salah seorang warga Sudarwati Olivia mengakui, ajaran Ki Agung Suryometaraman yang dikenal Kawruh Jiwo memang menjadi sangat bermanfaat bagi masyarakat Dusun Balong.
Kegotong royongan yang tinggi serta hidup saling menghormati menjadikan kehidupan kampungnya lebih tenteram. Tak ada gejolak pasti di dalam kampungnya. “Yang pasti lebih tenteram,” pungkasnya.
Laki-laki yang memiliki nama lahir Bendara Raden Mas (BRM) Kudiarmadji ini memilih pergi meninggalkan kemewahan hidup di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, untuk hidup di tengah masyarakat biasa.
Konon, dia meninggalkan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat karena merasa jenuh berada di balik tembok keraton dan tidak pernah bertemu masyarakat. Jiwanya yang bebas terpenjara oleh lingkungan keraton dan dunia luar.
Dia merasa hidupnya sangat tertekan dan tidak betah tinggal dalam lingkungan keraton. Rasa tidak puas dan tidak betah membuatnya mengajukan pemohonan kepada Ayahandanya Sri Sultan HB VII untuk berhenti menjadi pangeran.
Permohonan yang tidak logis kala itu memang tidak dikabulkan oleh orangtuanya. Dan pada kesempatan lain, dia juga meminta izin untuk naik haji, tetapi juga tidak dikabulkan.
Akhirnya, karena merasa jenuh, diam-diam dia meninggalkan keraton dan pergi ke Cilacap. Dia memilih menjadi pedagang kain batik dan setagen (ikat pinggang tradisional dari kain).
Kenekatan Ki Ageng Suryomentaram meninggalkan kungkungan kehidupan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, kini banyak dikenal dengan ajaran Kaweruh Jiwo (Pengetahuan Jiwa).
Inti ajaran ini adalah mencari kebahagiaan. Banyak hal yang bisa diungkap dalam ilmu Kaweruh Jiwo, berbagai sisi kehidupan telah tercatat. Bahkan saking banyaknya, pemahaman Kaweruh Jiwo ditulis hingga jilid 30.
Kini, meski sudah lama tiada, namun ajaran Ki Ageng Suryomentaram masih ada yang mewarisi dan menjaganya. Salah satunya terlihat di Dusun Balong, Desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon. Warga dusun ini pengikut ajaran Ki Ageng Suryometaraman.
Sumar Al Gino, warga yang dipercaya menjadi Ketua Kampung Seni Balong menuturkan, warga awalnya tidak tahu jika tradisi yang sudah lama diterapkan di dusun tersebut adalah ajaran yang disebarkan oleh Ki Ageng Suryometaraman.
Mereka baru sadar setelah cucu dari Ki Ageng Suryometaraman hadir di Dusun Balong, yakni Ki Prasetyo yang mengatakan jika Dusun Balong ternyata sangat kuat menjalankan ajaran Ki Ageng Suryometaraman.
“Sebenarnya itu sudah tradisi sejak dahulu setahu saya,” tutur laki-laki berumur 53 tahun ini, kepada wartawan, Selasa 15 September 2015 lalu.
Menurut Gino, ajaran Ki Ageng Suryometaraman dengan kawruh jiwo tersebut bukanlah agama, dan bukan juga aliran kepercayaan. Tetapi hanya wejangan (nasehat) kehidupan.
Catatan-catatan perjalanan hidup dari berbagai sisi ada dalam ajaran ini. Tetapi yang pasti, ajaran ini tidak mengajarkan baik dan buruknya sesuatu, meski terkadang mengungkapkan akibat dari sebuah tindakan.
Gino menambahkan, di kampungnya rutin mengadakan pertemuan untuk membahas permasalahan dusun tersebut. Warga berusaha menjaga agar satu sama lain tetap guyub rukun (menjaga kebersamaan).
Dengan ajaran Kawruh Jiwo, kini kehidupan warga Dusun Balong lebih tenteram, jika dibanding dengan kampung lain, nilai kebersamaan Dusun Balong lebih baik. Semua diangkat dalam kegotong royongan dan kebersamaan.
“Kalau ada yang tidak datang dalam kerja bakti misalnya, nanti ada sanksi sosial yang cukup tegas. Di antaranya adalah warga tidak akan datang jika warga yang tak ikut kegiatan tanpa alasan yang jelas tersebut sedang hajatan," jelasnya.
Tetapi, warga memaklumi jika warga tidak hadir karena alasannya sedang bekerja. Kebersamaan dan kegotongroyongan memang menjadi ruh dari kehidupan di dusun ini. Salah satu yang sederhana ajaran Kawruh Jiwo adalah menanggung bersama.
Untuk renovasi masjid misalnya, mereka tak mengandalkan bantuan dari luar. Justru seluruh warga secara bersama-sama menyumbangkan apa yang mereka miliki.
Warga dengan sukarela menyumbang meskipun itu hanya satu sak semen, serta beberapa rupiah untuk biaya pengerjaannya. Tanpa uluran dari pihak luar, pihak takmir masjid An Nur bahkan mampu mengumpulkan donasi sebesar Rp48 juta.
Meski tidak tahu sampai kapan renovasi masjid, mereka akan lakukan sesuai dengan kemampuan. “Untuk urusan kesenian juga demikian. Ketika pentas, kami berhasil mengumpulkan beras 5 kuintal dan juga 50 tandan pisang,” ungkapnya.
Beberapa ajaran lain yang masih ada adalah Kawruh Raos Sami yang artinya semua warga merasakan hal yang sama. Jika ada satu warga yang sedang kerepotan, maka warga yang lain turut merasakan dan berusaha meringankannya.
Jiwa Pamomong juga muncul dalam ajaran ini, yaitu bagaimana mendidik cucu untuk berpendidikan lebih baik. Dalam mendidik anak, antar warga saling memberi masukan, bahkan jiwa gotong royong masih nampak.
Karena dengan ajaran ini, warga memiliki ambisi untuk menyekolahkan anaknya lebih tinggi, harapannya supaya kehidupan mereka dikemudian hari lebih baik dibanding orangtuanya.
Filosofi sering disebut Garan Moncer alias Garan Pensiun, yaitu bekal pensiun orangtuanya di mana ketika pensiun nanti akan nunut (ikut) hidup dengan anaknya. “Gaji yang tinggi belum tentu menjamin kebahagiaan mereka,” terangnya.
Di kehidupan masyarakat harus selalu Salam Langgeng Bungah Susah yaitu hidup akan terus berputar. Jika sekarang sedang bahagia, maka belum tentu akan bahagia terus dan jika sekarang susah pasti suatu saat akan bahagia.
"Artinya adalah, tidak menyikapi apa yang ada saat ini dengan berlebihan," jelasnya.
Karena kelebihan ajaran ini, Fakultas Psikologi UGM secara khusus mempelajarinya. Bahkan, ada kelas khusus Kawruh Jiwo yang mereka selenggarakan dan kini mereka juga akan membuka kelas di Dusun Balong sebagai kelas rujukan.
Bahkan, rencananya Balong akan dijadikan sebagai laboratorium hidup Kawruh Jiwo. “Ini hanya filosofi hidup yang kami terapkan,” akunya.
Terpisah, salah seorang warga Sudarwati Olivia mengakui, ajaran Ki Agung Suryometaraman yang dikenal Kawruh Jiwo memang menjadi sangat bermanfaat bagi masyarakat Dusun Balong.
Kegotong royongan yang tinggi serta hidup saling menghormati menjadikan kehidupan kampungnya lebih tenteram. Tak ada gejolak pasti di dalam kampungnya. “Yang pasti lebih tenteram,” pungkasnya.
(san)