Kesederhanaan Maestro Dagelan Mataram
A
A
A
Hidup itu tidak usah aneh-aneh dan jangan banyak mengeluh. Ketika hidup itu mata dan telinga. Hidup sudah dipunyai dan itu gratis pemberian Tuhan Yang Maha Esa (YME), maka sebaiknya manusia bekerja keras dan menjalankan kehidupan dengan sepenuh hati.
Pesan tersirat ini begitu melekat dalam film Basiyo mBarang Kahananketika diputar perdana di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta (TBY) pada Rabu (2/9) malam. Lewat dagelan Mataram yang khas dan diadopsi dari sisi lain kehidupan almarhum Basiyo ini, masyarakat khususnya warga Yogyakarta, diharapkan bisa meneladani sikap sederhana sang maestro dagelan Mataram.
“Kenapa pilih sosok Basiyo, pertama beliau salah satu (maestro) kesenian di Yogyakarta. Bahkan, dikatakan menjadi ikon Yogyakarta. Tidak mudah pilih dan tentukan siapa yang jadi Pak Basiyo dan tokoh lainnya karena pertimbangan karakter, suara, dan vokal. Utamakan itu karena kami kenal beliau dan grup dari suaranya yang khas,” ungkap Triyanto ‘Genthong’ Hapsoro, sang sutradara saat memaparkan film tersebut tadi malam.
Kesederhanaan yang ditampilkan tak hanya lewat kehidupan sehari-hari Basiyo yang diperankan Sugeng Surono bersama keluarga, tapi juga bagaimana cara pemain kethoprak ini berinteraksi dengan masyarakat sekitar hingga dia mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Terungkap dalam film bahwa Basiyo tidak pernah mematok harga ketika diundang pentas kethoprak di mana pun.
Hal itu pula membuat dirinya dikagumi dan menjadi terkenal, selain karena kepiawaiannya dalam membawakan dagelanMataram. Kegigihan dan kepedulian terhadap masyarakat sekitar, respons terhadap anaknya yang tidak ingin mengikuti jejaknya karena berpendapatan tidak pasti, hingga sikap profesional meski sempat berselisih dengan pemain kethoprak lainnya, juga patut diteladani masyarakat.
“Syuting hanya lima hari tapi untuk persiapan sejak Januari-Februari lalu. Pesan di film berdurasi 38 menit ini sederhana, hidup itu nggak usah aneh-aneh, hidup jangan banyak mengeluh. Berharap bisa menjadi tuntunan dan tontonan, apa yang kami buat ini semoga berguna,” tuturnya. Di sisi lain, film indie berbiaya Rp300 juta hasil kerja sama Dinas Kebudayaan (Disbud) DIY dan Sanggit Citra Production itu rencananya akan digandakan hingga 200 keping.
Bagi masyarakat, komunitas, maupun sanggar seni yang mau mendapatkan film tersebut, bisa menghubungi dinas setempat khususnya seksi perfilman. “Lewat diskusi sebelumnya, kami ingin membuat film sejarah namun bukan sejarah perjuangan, lebih ke tokoh atau ikon budaya, seperti Maestro Dagelan Mataram. Meski sudah ada data dan dokumentasi (sebelumnya), namun kami ingin melengkapi itu bagi generasi muda,” kata Kepala Seksi Perfilman Disbud DIY Sri Eka Kusumaning Ayu.
Sementara Kepala Disbud DIY Umar Priyono berharap film tersebut bisa mengedukasi semua pihak. Dengan begitu, masyarakat mampu meneladani berbagai hal positif dari kisah almarhum Basiyo.
Siti Estuningsih
Yogyakarta
Pesan tersirat ini begitu melekat dalam film Basiyo mBarang Kahananketika diputar perdana di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta (TBY) pada Rabu (2/9) malam. Lewat dagelan Mataram yang khas dan diadopsi dari sisi lain kehidupan almarhum Basiyo ini, masyarakat khususnya warga Yogyakarta, diharapkan bisa meneladani sikap sederhana sang maestro dagelan Mataram.
“Kenapa pilih sosok Basiyo, pertama beliau salah satu (maestro) kesenian di Yogyakarta. Bahkan, dikatakan menjadi ikon Yogyakarta. Tidak mudah pilih dan tentukan siapa yang jadi Pak Basiyo dan tokoh lainnya karena pertimbangan karakter, suara, dan vokal. Utamakan itu karena kami kenal beliau dan grup dari suaranya yang khas,” ungkap Triyanto ‘Genthong’ Hapsoro, sang sutradara saat memaparkan film tersebut tadi malam.
Kesederhanaan yang ditampilkan tak hanya lewat kehidupan sehari-hari Basiyo yang diperankan Sugeng Surono bersama keluarga, tapi juga bagaimana cara pemain kethoprak ini berinteraksi dengan masyarakat sekitar hingga dia mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Terungkap dalam film bahwa Basiyo tidak pernah mematok harga ketika diundang pentas kethoprak di mana pun.
Hal itu pula membuat dirinya dikagumi dan menjadi terkenal, selain karena kepiawaiannya dalam membawakan dagelanMataram. Kegigihan dan kepedulian terhadap masyarakat sekitar, respons terhadap anaknya yang tidak ingin mengikuti jejaknya karena berpendapatan tidak pasti, hingga sikap profesional meski sempat berselisih dengan pemain kethoprak lainnya, juga patut diteladani masyarakat.
“Syuting hanya lima hari tapi untuk persiapan sejak Januari-Februari lalu. Pesan di film berdurasi 38 menit ini sederhana, hidup itu nggak usah aneh-aneh, hidup jangan banyak mengeluh. Berharap bisa menjadi tuntunan dan tontonan, apa yang kami buat ini semoga berguna,” tuturnya. Di sisi lain, film indie berbiaya Rp300 juta hasil kerja sama Dinas Kebudayaan (Disbud) DIY dan Sanggit Citra Production itu rencananya akan digandakan hingga 200 keping.
Bagi masyarakat, komunitas, maupun sanggar seni yang mau mendapatkan film tersebut, bisa menghubungi dinas setempat khususnya seksi perfilman. “Lewat diskusi sebelumnya, kami ingin membuat film sejarah namun bukan sejarah perjuangan, lebih ke tokoh atau ikon budaya, seperti Maestro Dagelan Mataram. Meski sudah ada data dan dokumentasi (sebelumnya), namun kami ingin melengkapi itu bagi generasi muda,” kata Kepala Seksi Perfilman Disbud DIY Sri Eka Kusumaning Ayu.
Sementara Kepala Disbud DIY Umar Priyono berharap film tersebut bisa mengedukasi semua pihak. Dengan begitu, masyarakat mampu meneladani berbagai hal positif dari kisah almarhum Basiyo.
Siti Estuningsih
Yogyakarta
(ars)