Nekat Jualan di Bibir Kawah

Senin, 31 Agustus 2015 - 10:56 WIB
Nekat Jualan di Bibir Kawah
Nekat Jualan di Bibir Kawah
A A A
TASIKMALAYA - Sejumlah warga nekat berjualan di bibir kaldera atau kawah Gunung Galunggung di Desa Linggajati, Kecamatan Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya.

Padahal, jarak dari bibir kawah ke lokasi warung hanya sekitar lima meter saja. Beratapkan ten da biru, se bagian warung ter sebut bah kan sudah berbentuk bangunan semipermanen, dimana lan tai bagian bawah nya meng gu na kan tembok.

Seluruh wa rung pun memiliki meja tem bok yang bagian da lam nya di pa kai sebagai ruang penyimpanan barang dagangan. Meski dinilai telah meng alihfungsikan kawasan kon ser vasi Gunung Galunggung, na mun mereka mengaku tidak gratis berjualan di sana. Sebab, baik pedagang yang men di ri kan warung semipermanen atau pun hanya menggelar ti kar, te tap harus membayar iuran ma sing-masing Rp50.000 setiap bulannya.

Me reka pun dituntut untuk se lalu menjaga kebersihan dan ti dak diperbolehkan ada sampah berceceran. “Tidak ada yang gratis disini pak, semuanya bayar dan mengurus kebersihan sendiri, padahal kami sudah bayar. Saya ter golong paling lama jualan di sini, pasca gunung ini meletus sampai saat ini. Dari mulai meng gelar tikar sampai membangun semi permanen,” ungkap Engkus, 50, salah seorang pedagang di bibir kawah Gunung Galunggung, kemarin. Diakuinya, harga jual da ga - ngan nya memang cukup tinggi, seperti air mineral 600 mililiter yang dijual Rp5.000 dan se gelas kopi Rp3.000.

Bahkan, sebungkus rokok bisa di atas Rp20.000. Menurutnya, harga dagangannya lebih mahal karena dia pun harus mengeluarkan ongkos angkut yang mencapai Rp20.000 hingga Rp30.000 untuk setiap kilonya. Terlebih, untuk menuju ke bibir kawah, dia pun harus menaiki sedikitnya 600 anak tangga yang dibangun sekitar tahun 90-an, berbarengan dengan pembangunan terowongan saluran air di dasar kawah.

“Yang pasti saya tidak sembarangan untuk bisa berjualan di sini. Meski saya warga di sini, tetapi tetap harus izin dan membayar sejumlah uang serta mematuhi persyaratannya. Saya sendiri tidak tahu uangnya kemana, sudah diizinkan berjualan di sini pun saya sa ngat bersyukur,” ungkap Isah, 45, pe dagang lainnya yang je jak nya kini diikuti anaknya yang samasama berjualan di bibir kawah.

Salah seorang aktivis lingku ngan Tasikmalaya Yudi Kada rusman berpendapat, dengan dibangunnya tangga dan berbagai fasilitas modern di wanawisata kebanggaan Tasikma laya itu, sebenarnya telah mengubah identitas kawah Gu nung Galunggung sebagai ka wasan konservasi. Seharusnya, kata dia, di kawasan konservasi tidak diperkenankan adanya aktivitas atau fasilitas apapun, bahkan pengunjung ysng datang pun dibatasi dengan persyaratan tertentu, misalnya untuk kepentingan penelitian dan lainnya.

“Kalau ini di dasar kawah saja ada bangunan mushala. Selain itu, ada pula pedagang di bibir kawah yang sebenarnya membahayakan pengunjung. Kalau mau dibangun kawasan wisata, sekalian saja bangun seperti kawah Tangkuban parahu yang bibir kawahnya dipagar. Karena yang datang ke sini bukan hanya orang dewasa, tetapi anak-anak pun banyak. Sementara kondisi bibir kawah tidak ada pengaman dan sa ngat membahayakan,” ujar Yudi.

Nanang Kuswara
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6697 seconds (0.1#10.140)