Miris, Begini Buramnya Potret Pendidikan di Cirebon
A
A
A
CIREBON - Puluhan murid SD Negeri 1 Setupatok, Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, sejak dua tahun terakhir terpaksa belajar sembari melantai di depan kelas.
Kondisi ironis ini seakan mencerminkan buramnya potret pendidikan di Kabupaten Cirebon yang notabene daerah daerah kaya.
Saat belajar, para siswa dihantui kekhawatiran akan ancaman ambruknya plafon kelas akibat konstruksi yang labil.
Sebagian plafon tampak menjuntai, memperlihatkan rangka bangunan. Para murid terpaksa belajar di teras terutama berasal dari kelas 5 dan 6.
Hanya beralas ubin teras kelas yang bahkan sebagian permukaannya pun telah pecah, mereka mengikuti kegiatan belajar mengajar setiap hari.
Para murid mencatat pelajaran di buku masing-masing tanpa meja dan kursi. Sebagian menempatkan bukunya di paha dan lainnya di ubin teras hingga membuat tubuh mereka membungkuk saat menulis.
Di depannya, papan tulis hitam diletakkan sebaik mungkin agar terlihat semua murid. Sesekali angin yang bertiup membawa debu dan kotoran dari lapangan sekolah yang berada di samping teras, termasuk sampah yang terletak tak jauh dari mereka belajar.
Selain pada bagian atap, kerusakan juga tampak pada bagian jendela kelas. Sejumlah meja dan kursi yang berada di dalam kelas teronggok di tempatnya masing-masing, tak berfungsi sebagaimana harusnya.
"Nggak betah, banyak debu dan sampah yang terbang, bikin sesak nafas. Tapi kalau belajar di dalam kelas, takut kejatuhan genteng," ungkap seorang murid kelas 6 bernama Ali, di sela waktu istirahatnya
Salah seorang guru yang merupakan wali kelas 6, Idris menjelaskan, bangunan sekolah sendiri telah berdiri sejak sekitar 1970. Rehab terakhir sekolah terjadi pada 2003 dan pengajuan perbaikan sendiri sudah diajukan.
"Bangunan yang rusak dua lokal ini, kelas 5 dan 6. Sudah lima tahun rusak dan permintaan perbaikan diajukan ke pemda, tapi belum ada tindakan," terangnya.
Setidaknya ada 40 murid kelas 5 dan 51 murid kelas 6 yang terpaksa belajar di luar kelas rusak. Meski telah lima tahun bangunan rusak, baru dua tahun terakhir inilah para murid belajar di luar kelas.
Menurutnya, hal itu terpaksa dilakukan mengingat para murid kerap cemas bangunan akan ambruk di tengah kegiatan belajarnya. Mereka menolak belajar di dalam kelas dengan alasan ketakutan.
Namun begitu, lanjutnya, tak jarang mereka belajar di dalam kelas ketika kondisinya dirasa memungkinkan.
Situasi paling memprihatinkan dirasakan para murid kala musim hujan. Bukan hanya kelas rusak, musim hujan kerap membuat kelas banjir akibat atap bocor.
"Kalau hujan, air suka masuk kelas dan menggenang sehingga harus dikuras dulu. Malah tak bisa belajar di dalam," pungkasnya.
Kondisi ironis ini seakan mencerminkan buramnya potret pendidikan di Kabupaten Cirebon yang notabene daerah daerah kaya.
Saat belajar, para siswa dihantui kekhawatiran akan ancaman ambruknya plafon kelas akibat konstruksi yang labil.
Sebagian plafon tampak menjuntai, memperlihatkan rangka bangunan. Para murid terpaksa belajar di teras terutama berasal dari kelas 5 dan 6.
Hanya beralas ubin teras kelas yang bahkan sebagian permukaannya pun telah pecah, mereka mengikuti kegiatan belajar mengajar setiap hari.
Para murid mencatat pelajaran di buku masing-masing tanpa meja dan kursi. Sebagian menempatkan bukunya di paha dan lainnya di ubin teras hingga membuat tubuh mereka membungkuk saat menulis.
Di depannya, papan tulis hitam diletakkan sebaik mungkin agar terlihat semua murid. Sesekali angin yang bertiup membawa debu dan kotoran dari lapangan sekolah yang berada di samping teras, termasuk sampah yang terletak tak jauh dari mereka belajar.
Selain pada bagian atap, kerusakan juga tampak pada bagian jendela kelas. Sejumlah meja dan kursi yang berada di dalam kelas teronggok di tempatnya masing-masing, tak berfungsi sebagaimana harusnya.
"Nggak betah, banyak debu dan sampah yang terbang, bikin sesak nafas. Tapi kalau belajar di dalam kelas, takut kejatuhan genteng," ungkap seorang murid kelas 6 bernama Ali, di sela waktu istirahatnya
Salah seorang guru yang merupakan wali kelas 6, Idris menjelaskan, bangunan sekolah sendiri telah berdiri sejak sekitar 1970. Rehab terakhir sekolah terjadi pada 2003 dan pengajuan perbaikan sendiri sudah diajukan.
"Bangunan yang rusak dua lokal ini, kelas 5 dan 6. Sudah lima tahun rusak dan permintaan perbaikan diajukan ke pemda, tapi belum ada tindakan," terangnya.
Setidaknya ada 40 murid kelas 5 dan 51 murid kelas 6 yang terpaksa belajar di luar kelas rusak. Meski telah lima tahun bangunan rusak, baru dua tahun terakhir inilah para murid belajar di luar kelas.
Menurutnya, hal itu terpaksa dilakukan mengingat para murid kerap cemas bangunan akan ambruk di tengah kegiatan belajarnya. Mereka menolak belajar di dalam kelas dengan alasan ketakutan.
Namun begitu, lanjutnya, tak jarang mereka belajar di dalam kelas ketika kondisinya dirasa memungkinkan.
Situasi paling memprihatinkan dirasakan para murid kala musim hujan. Bukan hanya kelas rusak, musim hujan kerap membuat kelas banjir akibat atap bocor.
"Kalau hujan, air suka masuk kelas dan menggenang sehingga harus dikuras dulu. Malah tak bisa belajar di dalam," pungkasnya.
(nag)