DIY Bingung Tentukan Hari Jadi

Kamis, 20 Agustus 2015 - 09:09 WIB
DIY Bingung Tentukan...
DIY Bingung Tentukan Hari Jadi
A A A
YOGYAKARTA - Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sampai kemarin masih mencari hari jadinya.

Saat ini setidaknya ada tiga pilihan hari yang dianggap tepat menentukan hari lahirnya Provinsi DIY tersebut. Ketiga hari tersebut adalah 5 September 1945 yang merupakan amanat Sultan Hamengku Buwono (HB) X tentang bergabungnya Keraton Yogyakarta sebagai kerajaan merdeka dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Selain itu, 11 Desember 1749 yang merupakan momen diangkatnya Pangeran Mangkubumi oleh rakyat pada 11 Desember 1749 seusai lengsernya Susuhunan Paku Buwono II. Opsi ketiga ialah 13 Maret 1755 yang merupakan momen pada saat Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan HB I menempati Pesanggrahan Ambarketawang.

Ketiga pilihan tersebut sampai sekarang belum tuntas dibahas. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X meminta agar ketiga opsi tersebut dibahas lebih mendalam. “Masih ada perbaikan. Saya minta itu dikaji lagi apakah hari jadi Pemda DIY ataukah hari jadi Yogyakarta,” katanya seusai menggelar rapat dengan Tim Perumus Hari Jadi DIY di Kepatihan, kemarin.

Dari ketiga pilihan itu, Sultan juga belum memastikan mana yang paling tepat untuk menunjuk hari jadi DIY. Namun kemungkinan yang dipakai bukan amanat 5 September 1945 atau saat Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan untuk bergabung dengan NKRI. “Kalau pemerintahan di Yogyakarta, kan jauh sebelum itu (dekrit) sudah ada,” ujarnya.

Raja Keraton Yogyakarta ini meminta sejumlah elemen, seperti akademisi, ahli sejarah, Keraton, Pakualaman, Dewan Pelestarian Cagar Budaya, dan tim dari Pemda DIY serta pihak lain, mengkaji lengkap dari aspek historis, budaya, dan unsur filosofi. “Nanti presentasi lagi. Saya minta nanti ingin masyarakat yang menentukan pilihan itu,” katanya.

Penghageng Tepas Dwara Pura Karaton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Jatiningrat mengakui, sejauh ini ada beberapa usulan. Namun prinsipnya, tetap harus memperhitungkan Keistimewaan DIY sejak Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Kerabat Keraton yang akrab disapa Romo Tirun ini mengatakan, ketiga opsi tersebut memiliki nilai historisnya masing- masing. Misalnya, 11 Desember 1749 saat pengangkatan Susuhunan Kabanaran oleh rakyat. “Sebab tanpa beliau diangkat oleh rakyat pada waktu itu (11 Desember 1749), Mataram lepas karena sudah diserahkan ke Belanda. Tapi beliau merebut lagi kemudian diangkat oleh rakyatnya sebagai raja,” katanya.

Sementara 13 Maret 1755 merupakan akhir dari Kerajaan Mataram setelah Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut merupakan pemicu pecahnya Mataram menjadi Keraton Surakarta di bawah Susuhunan Paku Buwono III dan Keraton Yogyakarta dipimpin Sultan Hamengku Buwono I.

Romo Tirun menegaskan penentuan hari jadi harus teliti. Sejumlah pilihan akan dimintakan pertimbangan kepada masyarakat. “Nanti juga akan dibicarakan dengan Dewan. Jadi, Pak Gubernur serius sekali memikirkan ini,” ucapnya.

Pada kesempatan itu, Tim Perumusan Hari Jadi DIY Djoko Suryo mengakui pembahasan masih memerlukan penyempurnaan. Setelah dianggap sempurna, nanti dimintakan pendapat publik agar masyarakat juga merasa memiliki.

Menurut dia, tim sebelumnya menginventarisasi ada 11 pilihan tanggal untuk penentuan hari jadi DIY. “Kami tim yang menyusun, awalnya ada 11 pilihan, kemudian dikerucutkan menjadi delapan. Kemudian jadi lima. Lalu jadi beberapa lagi dan perlu diolah lagi,” ungkapnya.

Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini mengungkapkan, hari jadi DIY diusahakan mengandung sejumlah unsur, antara lain historis pemerintahan, kebudayaan, spirit nasionalisme, serta keistimewaan yang lebih luas.

Ridwan anshori
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1151 seconds (0.1#10.140)