Dulu Surganya Pelaku UMKM, Kini Suara Pukulan Sol Sepatu pun Sepi
A
A
A
MEDAN - Jika saat berjalan di kawasan Kawasan Pusat Industri Kecil (PIK) di Jalan Menteng VII, Medan Denai maka sulit mendengar suara pukulan sol sepatu dan gerenda para pengrajin.
Bukan hanya itu, di kawasan yang keberadaannya di resmikan pada 1996, kini jarang terdengar suara mesin jahit atau aktivitas suara mesin kompresor cat. Padahal pada saat peresmian PIK hingga sekitar 2001 suara-suara itu seperti saling bersahut-sahutan. Hal itu jelas menandakan geliat para pelaku usaha mikro kecil dan menengah di PIK masih berjaya.
Namun kini jika memasuki kawasan itu suara saling bersahut-sahutan tadi nyaris tak terdengar lagi. Artinya aktivitas pelaku UMKM juga sudah menyusut. Anehnya pemerintah kota pun seakan juga tak peduli terhadap keberadaan mereka. Salah seorang pelaku UMKM Jumaidir, 44, mengatakan kondisi saat ini berbeda dibanding beberapa tahun sebelumnya terutama bagi pembuata n sepatu.
Dulu, kata dia, PIK disesaki para berbagai pengrajin, terutama yang didominasi pengrajin sepatu.Sementara pengrajin lainnya menjual tas dan lain sebagainya. Namun, kondisi saat ini berbanding terbalik 180 derajat. Hanya beberapa pengrajin masih bertahan. Itu pun, bertahan dengan kemampuan pas-pasan. Jumaidir pun menegaskan, kondisi tersebut, tak bisa lepas akibat tak adanya kepedulian pemerintah.
“Sekarang ini, kami tinggal adu nasib saja,” ujar Jumaidi membuka pembicaraan dengan KORAN SINDO MEDAN , kemarin. Kini dirinya harus mencari jalan sendiri untuk memasarkan sepatu buatannya. Caranya, Diakuinya, tak sulit untuk memasarkan hasil para pengrajin PIK tersebut.
Menggunakan link saudara, teman, hingga sales menjadi cara bagi pengrajin untuk memasarkan produk mereka. “Kalau untuk memasarkan saya kira tidak sulit. Sepatu saya sudah sampai saya pasarkan ke Aceh, Jambi, Padang, dan Medan sendiri. Tapi, karena kami harus maju sendiri tanpa bantuan pemerintah, jadinaya berkembang lambat,” sebutnya.
Memang, lanjut Jumaidir, dengan cara tersebut, para pengrajin harus berani bertaruh. Bertaruh dengan produk yang dipasarkan, tanpa menerima uang tunai hasil penjualan. Pengrajin harus menunggu hasil dagangan tersebut terjual. Dengan cara ini pula, pengrajin harus bertaruh dengan modal keberanian.
“Inilah yang kami jalankan selama ini. Kalau cara seperti ini, kami pengrajin harus berani. Berani memasarkan dengan pembayaran yang harus kami tunggu barang terjual. Akibatnya, ya kami harus menunggu produksi lagi sebelum barang terjual,” tutur ayah tiga anak ini.
Dengan kondisi seperti itu, Jumaidir pun mempertanyakan di mana kehadiran pemerintah. Hal ini menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah untuk membantu pelaku UMKM.Sebenarnya, kata dia, dengan keterlibatan pemerintah, maka pemerintah sendiri sudah ikut menjalankan program mereka juga.
“Menurut saya, PIK ini ibarat sawah ladangnya pemerintah, tapi tidak ada dukungannya kepada kami. Padahal, kalau ada bantuan dari Kementerian kan itu ditujukan kepada pemerintah Medan atau Sumut, bukan kepada kami langsung,” tandasnya.
Pengrajin lainnya, Agus Salim, 28, mengaku, kesulitan para pengrajin turut dirasakannya. Dulunya usaha yang dirintis orang tuanya, almarhum Rustam Effendi dengan nama Rospha, menjadi salah satu pengrajin tertua di PIK. Dulunya, tiga pekerja dipekerjakan untuk memproduksi sepatu dan sandal.
Banyaknya pesanan luar daerah, dirinya harus berpacu dengan waktu, memenuhi permintaan konsumen. Perjalanan waktu, usaha yang dijalankannya mengalami kesulitan modal, hingga tak lagi mampu memproduksi.
Alhasil, Agus yang meneruskan usaha orang tuanya itu, hanya mampu mengirimkan barang sesuai hasil permintaan konsumen. “Kalau dulu, saya sanggup memenuhi permintaan pemesanan sepatu, Tapi kalau sekarang, saya hanya bisa mengirimkan barang saja, tidak lagi produksi,” aku Agus.
Tidak jauh berbeda dengan pernyataan Jumaidir, Agus mengakui, jika pemasaran yang menjadi kendala, disamping modal usaha yang utama. Para pengrajin harus berpikir ganda, memproduksi dan memasarkannya. “Kalau buat mudah, pemasarannya yang sulit. Pengrajin harus berusaha sendiri semua. Mulai pembuatan (produksi) sampai menjualkannya. Memang, kalau masalah utama usaha seperti ini soal modal pasti,” akunya.
Sebagai pengrajin, mereka tak meminta pemerintah untuk memberikan perhatian yang lebih. Permintaan para pengrajin sangat sederhana. Mereka hanya meminta, agar pemerintah mengawal hasil produksi mereka.
“Dulu kalau pengrajin punya merk sendiri, pemerintah daftarkan diregisterkan. Itu tahun 2001. Memang bayar, tapi murah. Saat itu masih Rp200.000. Hanya itulah yang saya rasa memudahkan kami. Selain dari itu, saya tidak pernah merasakan bentuk apa pun dari pemerintah. Padahal, yang kami minta bukan untuk makmur, tapi berdayakan kami. Pemasaran susah, bantu kami. Modal juga mengalami kendala. Itulah masalah utama kami,” pungkas Jumaidir.
Haris Dasril
Bukan hanya itu, di kawasan yang keberadaannya di resmikan pada 1996, kini jarang terdengar suara mesin jahit atau aktivitas suara mesin kompresor cat. Padahal pada saat peresmian PIK hingga sekitar 2001 suara-suara itu seperti saling bersahut-sahutan. Hal itu jelas menandakan geliat para pelaku usaha mikro kecil dan menengah di PIK masih berjaya.
Namun kini jika memasuki kawasan itu suara saling bersahut-sahutan tadi nyaris tak terdengar lagi. Artinya aktivitas pelaku UMKM juga sudah menyusut. Anehnya pemerintah kota pun seakan juga tak peduli terhadap keberadaan mereka. Salah seorang pelaku UMKM Jumaidir, 44, mengatakan kondisi saat ini berbeda dibanding beberapa tahun sebelumnya terutama bagi pembuata n sepatu.
Dulu, kata dia, PIK disesaki para berbagai pengrajin, terutama yang didominasi pengrajin sepatu.Sementara pengrajin lainnya menjual tas dan lain sebagainya. Namun, kondisi saat ini berbanding terbalik 180 derajat. Hanya beberapa pengrajin masih bertahan. Itu pun, bertahan dengan kemampuan pas-pasan. Jumaidir pun menegaskan, kondisi tersebut, tak bisa lepas akibat tak adanya kepedulian pemerintah.
“Sekarang ini, kami tinggal adu nasib saja,” ujar Jumaidi membuka pembicaraan dengan KORAN SINDO MEDAN , kemarin. Kini dirinya harus mencari jalan sendiri untuk memasarkan sepatu buatannya. Caranya, Diakuinya, tak sulit untuk memasarkan hasil para pengrajin PIK tersebut.
Menggunakan link saudara, teman, hingga sales menjadi cara bagi pengrajin untuk memasarkan produk mereka. “Kalau untuk memasarkan saya kira tidak sulit. Sepatu saya sudah sampai saya pasarkan ke Aceh, Jambi, Padang, dan Medan sendiri. Tapi, karena kami harus maju sendiri tanpa bantuan pemerintah, jadinaya berkembang lambat,” sebutnya.
Memang, lanjut Jumaidir, dengan cara tersebut, para pengrajin harus berani bertaruh. Bertaruh dengan produk yang dipasarkan, tanpa menerima uang tunai hasil penjualan. Pengrajin harus menunggu hasil dagangan tersebut terjual. Dengan cara ini pula, pengrajin harus bertaruh dengan modal keberanian.
“Inilah yang kami jalankan selama ini. Kalau cara seperti ini, kami pengrajin harus berani. Berani memasarkan dengan pembayaran yang harus kami tunggu barang terjual. Akibatnya, ya kami harus menunggu produksi lagi sebelum barang terjual,” tutur ayah tiga anak ini.
Dengan kondisi seperti itu, Jumaidir pun mempertanyakan di mana kehadiran pemerintah. Hal ini menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah untuk membantu pelaku UMKM.Sebenarnya, kata dia, dengan keterlibatan pemerintah, maka pemerintah sendiri sudah ikut menjalankan program mereka juga.
“Menurut saya, PIK ini ibarat sawah ladangnya pemerintah, tapi tidak ada dukungannya kepada kami. Padahal, kalau ada bantuan dari Kementerian kan itu ditujukan kepada pemerintah Medan atau Sumut, bukan kepada kami langsung,” tandasnya.
Pengrajin lainnya, Agus Salim, 28, mengaku, kesulitan para pengrajin turut dirasakannya. Dulunya usaha yang dirintis orang tuanya, almarhum Rustam Effendi dengan nama Rospha, menjadi salah satu pengrajin tertua di PIK. Dulunya, tiga pekerja dipekerjakan untuk memproduksi sepatu dan sandal.
Banyaknya pesanan luar daerah, dirinya harus berpacu dengan waktu, memenuhi permintaan konsumen. Perjalanan waktu, usaha yang dijalankannya mengalami kesulitan modal, hingga tak lagi mampu memproduksi.
Alhasil, Agus yang meneruskan usaha orang tuanya itu, hanya mampu mengirimkan barang sesuai hasil permintaan konsumen. “Kalau dulu, saya sanggup memenuhi permintaan pemesanan sepatu, Tapi kalau sekarang, saya hanya bisa mengirimkan barang saja, tidak lagi produksi,” aku Agus.
Tidak jauh berbeda dengan pernyataan Jumaidir, Agus mengakui, jika pemasaran yang menjadi kendala, disamping modal usaha yang utama. Para pengrajin harus berpikir ganda, memproduksi dan memasarkannya. “Kalau buat mudah, pemasarannya yang sulit. Pengrajin harus berusaha sendiri semua. Mulai pembuatan (produksi) sampai menjualkannya. Memang, kalau masalah utama usaha seperti ini soal modal pasti,” akunya.
Sebagai pengrajin, mereka tak meminta pemerintah untuk memberikan perhatian yang lebih. Permintaan para pengrajin sangat sederhana. Mereka hanya meminta, agar pemerintah mengawal hasil produksi mereka.
“Dulu kalau pengrajin punya merk sendiri, pemerintah daftarkan diregisterkan. Itu tahun 2001. Memang bayar, tapi murah. Saat itu masih Rp200.000. Hanya itulah yang saya rasa memudahkan kami. Selain dari itu, saya tidak pernah merasakan bentuk apa pun dari pemerintah. Padahal, yang kami minta bukan untuk makmur, tapi berdayakan kami. Pemasaran susah, bantu kami. Modal juga mengalami kendala. Itulah masalah utama kami,” pungkas Jumaidir.
Haris Dasril
(ftr)