Kembalikan Kejayaan Perkutut Sebagai Burung Kicau

Minggu, 09 Agustus 2015 - 10:31 WIB
Kembalikan Kejayaan...
Kembalikan Kejayaan Perkutut Sebagai Burung Kicau
A A A
SEMARANG - Era kejayaan perkutut sebagai burung kicau secara perlahan memudar. Tidak banyak gantangan lomba pada burung yang memiliki suara merdu ini.

Tak seperti ketika masa keemasannya pada 1990-an. Saat ini burung kicau seperti murai, cucak hijau, dan pleci mendominasi. Di Kota Semarang, gantangan yang cukup ramai untuk kelas perkutut hanya ada di kawasan Marina Semarang Barat. Di tanah lapang yang cukup luas itu, tak kurang dari 100 tiang untuk mengerek burung perkutut.

Akhir pekan, lokasi ini dipadati puluhan penggemar perkutut dari Kota Lumpia dan sekitarnya. Bahkan, baru-baru ini di lokasi itu digelar liga perkutut tingkat Jawa Tengah. Kendati liga digelar di Jateng, pesertanya ada yang datang dari Cirebon, Jawa Barat. Disebut liga karena digelar secara beruntun selama delapan hingga 10 babak dalam setahun.

Setiap babak, ada empat kali penilaian dengan durasi masing-masing tiap sesi 45 menit. Penilaian akan dilakukan secara kumulatif. Burung yang berprestasi di babak pertama, belum tentu akan stabil pada babak berikutnya. Tim juri pun tidak sembarangan. Mereka tidak akan terpengaruh teriakan dari peserta agar burungnya diberi bendera sebagai penambah nilai.

“Juri di sini bersertifikat nasional semua dari P3SI pusat. Ada yang dari Yogyakarta dan Solo, kalau ada yang curang langsung kami klarifikasi,” kata ketua panitia Suranto di selasela lomba. Lomba yang dikemas dalam acara halalbihalal 2015 itu merupakan gelaran ketiga tahun ini. Bulan berikutnya akan dihelat di lokasi berbeda, di daerah lain provinsi ini.

Dalam acara tersebut, peserta datang dari Kudus, Kendal, dan daerah lainnya. Ada dua kelas yang dipertandingkan, yaknihanging atau perkutut dengan usia maksimal empat bulan dan kelas remaja dan dewasa. Untuk kelas hanging ini dipisahkan dengan digantang berjejer rapat. Adapun yang kelas remaja dan dewasa digantang dengan ketinggian setengah tiang dan di ujung tiang.

Suranto mengatakan, hanging baru digelar pada acara halalbihalal dengan harapan agar penangkar bisa mengetahui kualitas anakan yang mulai belajar manggung, bisa diturunkan dalam lomba. Penilaian perkutut piyikan dan dewasa pun berbeda. “Kalau perkutut dewasa dari dasar mulai dari depan, tengah, dan ujung. Apakah ujungnya itu sopan atau tidak, kalau sopan itu yang halus. Harus memenuhi kriteria itu, ibaratnya kalau gamelan harus diakhiri dengan gong,” ucapnya.

Terkait menurunnya pamor perkutut, pengurus P3SI Koordinator Wilayah Jateng Divisi Juri ini tidak membantah. Menurutnya, hal yang sama juga terjadi di daerah lain seperti Jawa Barat. Kondisi lebih baik ditemukan di Jawa Timur, yang mana berlangsung cukup semarak dan ada di banyak tempat. “Makanya kita mulai lagi digiatkan lomba, sudah tiga tahun liga berjalan,” ujarnya.

Dengan lomba tersebut, diharapkan dapat kembali memotivasi penangkar agar bisa menghasilkan perkututperkutut jawara. Dalam setiap masa, ada nama burung yang bersinar seperti “Susi Susanti” dari Surabaya yang terkenal sewaktu 1994. Empat tahun lalu, ada “Misteri Bahari” dari Cirebon.

Terbaru, “Irama Agung” dari peternak yang belum ternama di Cirebon bisa laku Rp650 juta dan diboyong oleh penggemar dari Madura. Karena bisa moncer di tingkat nasional, indukan dan anakan dari penangkar tersebut banyak diburu penangkar lainnya.

Menariknya, perkutut ternyata tidak saja digemari oleh para orang tua. Sejumlah remaja mencintai burung yang populasinya masih sering kita jumpai di areal kebun ini. Seperti Muchlasin, 35, warga Kaliwungu Kendal.

Dia ikut lomba ke Semarang karena mengantarkan perkutut milik adiknya yang berhalangan datang karena mertuanya sedang sakit. “Adik saya punya beberapa ternakan perkutut. Di Batang, beberapa waktu lalu yang piyik yunior bisa juara 1 dan 2,” ungkapnya.

Arif Purniawan
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0970 seconds (0.1#10.140)