Bekali Anak dengan Pendidikan Seks

Minggu, 02 Agustus 2015 - 10:50 WIB
Bekali Anak dengan Pendidikan Seks
Bekali Anak dengan Pendidikan Seks
A A A
Orang tua selama ini masih merasa tabu membicarakan persoalan seks dengan anak di usia dini. Padahal, pendidikan seks penting diketahui anak untuk mengantisipasinya dari eksploitasi seks di bawah umur yang sering terjadi dan dilakukan oleh orang-orang terdekat di sekelilingnya.

Apalagi, angka kasus kekerasan seksual terhadap anak seperti, perkosaan, sodomi, dan sebagainya kian hari semakin tinggi.

Meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan bukti nyata kurangnya pengetahuan anak mengenai pendidikan seks yang seharusnya sudah mereka peroleh dari tahun pertama oleh orangtuanya. Kondisi ini terjadi karena masyarakat menganggap pendidikan seks akan diperoleh anak seiring berjalannya usia ketika anak dewasa nanti. Di sisi lain, untuk membicarakan seputar seks kepada anak juga tak mudah bagi banyak orang tua, terutama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan anak usia dini terkait persoalan seks. Banyak orang tua tidak mengetahui bagaimana memberikan jawaban yang sesuai dengan usia dan bisa dicerna oleh anak.

Seperti yang dialami ibu rumah tangga di Medan yang juga bekerja sebagai karyawati sebuah perusahaan swasta di Medan, Fini Dalimunthe, 26. Dia bingung ketika anaknya yang berusia hampir tiga tahun menanyakan hal-hal terkait dengan seks. “Terkadang bingung juga ketika harus memintanya untuk duduk manis agar celana dalamnya tidak kelihatan saat dia mengenakan gaun. Saya katakan ketika itu, malu kalau kelihatan orang. Tapi dia bertanya kenapa harus duduk manis dan kenapa celananya tidak boleh kelihatan sama orang lain sementara sama mama boleh dilihat. Saya juga bingung menjawabnya,” papar Fini.

Namun, sebagai orang tua, Fini berupaya untuk mencari informasi dari internet tentang pentingnya memberikan pendidikan seks kepada anak di usia dini, tepatnya ketika anak mulai bisa berkomunikasi dua arah. Setelah itu, dia pun mengetahui bahwa orang tua harus benar-benar memberikan informasi kepada anak seputar seks. “Saya katakan pada anak saya kalau anak perempuan memiliki bagian tubuh yang tidak boleh dilihat orang terutama kepada laki-laki, yakni payudara dan vagina. Makanya harus dijaga dan ditutup. Setelah itu barulah dia mengerti,” ungkap Fini.

Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan, Muslim mengatakan, jumlah kasus kekerasan seksual di Medan masih sangat tinggi. Kondisi itu disinyalir karena kurangnya pendidikan seks sejak usia dini dan ketidaksiapan pasangan membina keluarga akibat menikah di usia dini.Pasangan belum siap menikah sehingga kerap terjadi pertengkaran yang berujung kekerasan fisik. Anak ditelantarkan karena suami menikah lagi atau si istri yang pergi dari rumah. Kemudian karena minimnya pendidikan dan sebagainya,” papar Muslim.

Berdasarkan data yang dihimpun pihaknya dari Koordinator KB baik di tingkat kelurahan dan kecamatan serta beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) anak dan perempuan di kota Medan, sepanjang tahun 2014 terdapat 743 kasus kekerasan seksual. Sebanyak 281 kasus di antaranya sudah ditangani oleh aparat kepolisian dan pengadilan. Kemudian, ada kasus kekerasan fisik sebanyak 174 kasus.

“Tahun ini, jumlah kasus kekerasan juga masih tinggi. Dari Januari hingga Mei 2015 tercatat sebanyak 83 kasus. Kasus kekerasan seksual 29 dan kasus kekerasan fisik 23 kasus,” ungkapnya. Kondisi ini menyebabkan angka penelantaran anak di Medan juga tinggi. Tahun 2014 tercatat sebanyak 69 kasus dan Januari-Mei 2015 sebanyak 21 kasus.

“Kondisi inilah yang membuat Medan tidak mendapatkan status kota layak anak, padahal kita sudah membuat beberapa kecamatan sebagai tempat layak anak,” kata Muslim. Begitupun data yang diperoleh dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumatera Utara (Sumut). Hingga Juni 2015 ini, lembaga ini menerima 130 pengaduan yang 27 di antaranya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Ketua KPAID Sumut, Zahrin Piliang menyebutkan, dari tahun ke tahun kasus kekerasan seksual anak memang kerap terjadi.

Banyak faktor penyebabnya, di antaranya prilaku positif yang semakin terkikis dan tidak terpeliharanya nilai-nilai budaya di kalangan masyarakat, terutama di keluarga. “Masyarakat justru terbuai dengan budaya-budaya konsumerisme dan kapitalisme sehingga prilaku sopan santun dan adat istiadat tidak ada lagi. Fakta menunjukkan banyak iklan yang ditayangkan di televisi lebih memprioritaskan bisnis. Tidak ada nilai budayanya,” tuturnya.

Karenanya, peran orang tua dan masyarakat sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Orang tua harus menumbuhkan nilai kecintaan terhadap anak, begitu pun di lingkungan masyarakat dan sekolah. “Sebagai tetangga yang hidup di tengah-tengah masyarakat, harus menumbuhkan nilai kepedulian dan saling mengingatkan kepada sesama.

Sementara para guru selayaknya memberi pendidikan yang berkarakter ramah anak. Artinya, pendidikan harus mengedepankan hakhak anak, termasuk pendidikan seks sejak dini kepada anak-anak,” tuturnya. Pendidikan seks sejak dini kepada anak sangat penting agar anak memahami fungsi organ-organ tubuhnya. Ini juga untuk meminimalisasi kecenderungan melakukan pelecehan seksual. Namun, pendidikan yang diberikan harus disesuaikan dengan usia anak.

Pada fase anak usia 0-3 tahun, penting dalam membangun psikologis anak dan orang tuanya sehingga rasa kedekatan membantu pertumbuhan anak. Fase usia 3-5 tahun, anak sudah memasuki golden age, terutama untuk perkembangan fisik dan psikis. Anak mulai bisa merekam apa saja yang dia lihat, dirasa dan diraba. Pada fase ini, orang tua sudah bisa memperkenalkan alat reproduksi sesuai dengan bahasa seusia anaknya.

Kemudian pada fase usia 6-12 tahun, anak sudah memasuki usia sekolah dan mulai mengenal lawan jenis. Pada fase inilah, pemahaman orang tentang alat reproduksi mulai terbentuk dan penting mengetahui batasan-batasannya.

“Setelah fase usia 6 sampai 12 tahun, anak akan melalui proses peralihan dari anak beranjak remaja. Anak semakin memiliki rasa ingin tahu sehingga pendidikan seks sejak dini sangat penting. Tinggal bagaimana menyampaikan informasi tadi sesuai kematangan anak. Bagaimana sikap kepribadian kita terhadap kepemilikan organ tubuh kita, itu yang perlu dijelaskan,” paparnya.

Seharusnya, sekolah juga aktif memberikan pendidikan seks kepada siswanya. Namun, pendidikan harus lebih fokus kepada pembentukan kepribadian dalam konteks kepemilikan organ- organ reproduksi. Kemudian, ditunjang oleh etika, agama, sosiologi, psikologi, dan tata krama. Posisi pemerintah dalam hal ini juga berkewajiban untuk melindungi anak-anak. Namun respons pemerintah sendiri terhadap perlindungan anak masih rendah.

Hal yang sama disampaikan oleh Direktur Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) Sumut, Misran Lubis. PKPA sudah sejak lama mempromosikan pentingnya pendidikan seks sejak dini pada anak-anak dengan istilah pendidikan kesehatan reproduksi. Sebab, masih banyak yang alergi menggunakan istilah pendidikan seks.

“Pendidikan seks sangat penting dan jangan dipandang sesuatu yang tabu karena bagaimanapun sejak dini anakanak telah merasakan dan akan mengalami perubahan-perubahan fungsi alat reproduksi. Jadi penting bagi anakanak mendapatkan pengetahuan setiap perubahan fungsi alat reproduksi tersebut dan apa dampak dari perubahan itu,” paparnya.

Menurut dia, pendidikan tersebut penting agar mereka bisa melindunginya. Sebab semakin bertambah usia anak, maka pengetahuan tentang seks atau reproduksi harus lebih mendalam. Basis pendidikan awal tentu keluarga sehingga setidaknya ibu bisa memberikan pendidikan seks yang benar kepada anak perempuannya dan bapak kepada anak laki-laki.

Lia anggia nasutio/ eko agustyo fb
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6966 seconds (0.1#10.140)