Anakku, Seimbangkan Afiliasi dan Achievement-mu
A
A
A
Anakku, kita harus mengapresiasi Mr David Mc Clelland. Dialah yang pertama kali memperkenalkan need of achievement.
Kebutuhan untuk berprestasi itu melekat pada tiap kita. Murid-muridnya menganggap n-achsingkatan dari need of achievement sebagai virus mental. Virus mental ini adalah pikiran yang berorientasi pada langkah progresif. Pada setiap kesempatan berkeinginan untuk berkompetisi. Ia mengedepankan takaran terukur dan bisa digrafikkan. Ia pun mendorong bagaimana melakukan sesuatu dengan baik, cepat, dan tepat untuk mencapai prestasi.
Menurut teori expectancy value, seseorang mengejar prestasi itu didasarkan atas dua hal. Pertama tendensi untuk mencapai keberhasilan dan kedua tendensi menghindari kegagalan. Kedua tendensi itu tak bersifat saling meniadakan namun melengkapi. Sifat orang suka berubah bergantung sikon. Kadang maksimalis, di lain waktu minimalis. Dari dua tendensi itu kemudian di-versus-kan.
Ternyata yang bertendensi ingin mencapai keberhasilan motivasinya lebih tinggi dibanding yang menghindari kegagalan. Setelah ditelusuri, itu semua bermula dari keyakinan diri atas kemampuannya. Ia mampu bertindak sesuai kehendak. Semangatnya bisa melahirkan rasa optimis, gembira, tanggung jawab, namun juga toleran. Ini starting point yang menjanjikan. Bagaimana mungkin sesuatu bisa berhasil jika sejak awal sudah tak yakin. Tapi jangan mentangmentang dulu. Pilihan minimalis masih disediakan ruang.
Syaratnya dalam kondisi darurat. Kedaruratan inilah yang jadi persoalan. Tiap orang punya pagu kedaruratan masingmasing. Kuncinya sederhana lebih baik menghindar dari mudarat daripada mengejar maslahat. Ini juga yang saya ingin katakan padamu. Di kampusku dijuduli “Inventarisasi Reaksi Sosial”. Berdasarkan identifikasi kebutuhan dasar, manusia punya tiga kategori motivasi. Ketiganya ialah need of achievement, need of affiliation, dan need of power.
Dalam pelatihan biasanya dibagikan kuesioner yang mencakup ketiganya. Para peserta diminta memilih dari pernyataan sesuai yang dialaminya sehari-hari. Ketiga kategori motivasi itu tersebar acak dengan selingan distructor sebagai penyeimbang. Hasil jawaban mereka dijadikan bahan pembahasan dan diskusi. Kebanyakan dari mereka biasanya tersipu atas evaluasi dirinya. Kenapa?
Mereka sendiri yang berhak mengetahui. Baru disadarinya bahwa mereka ternyata asosial karena n-affnya nihil. Ada yang sebaliknya, nilai dari aspek persahabatan ini amat mutlak. Tak bisa disangkal bila pemilik kategori ini adalah orang yang takut menentukan sikap secara mandiri. Kebutuhan untuk berprestasi (n-ach) umumnya bersifat intrinsik dan relatif stabil.
Biasanya diikuti dengan tanda-tanda suka berinisiasi. Tak jarang juga menggambarkan keinginan berkuasa sekalipun tak menonjol. Motivasi ini merupakan akumulasi dari tiga variabel. Pertama harapan berhasil, kedua persepsi keberhasilan dan ketiga kebutuhan untuk berhasil. Sebaiknya ketiga motif dasar itu harus dalam batas minimal. Setidaknya mencapai angka pertengahan dalam grafik. Motivasi mana yang dominan dan yang rendah mendapat treatment berbeda.
Pengalaman menunjukkan n-achekstrem tinggi berkecenderungan berbanding terbalik dengan n-aff. Demikian juga sebaliknya, n-aff ekstrem tinggi, n-ach-nya rendah. Ini boleh jadi tak valid tapi bolehlah dipakai acuan. Persoalan yang sering muncul adalah subjektivitas terhadap realitas. Untuk menaikkan ketiga kategori motivasi itu secara teori ada caranya. Itu sederhana dalam pelatihan namun rumit di lapangan. Persoalan lain bagaimana menjaga kesenjangan ekstrem antar kategori.
Seorang yang super excellence harus diselamatkan dari penyakit asosial. Orang yang afiliatif berlebihan perlu diajari kompetisi dengan capaian terkukur. Selalu saja ada persoalan tersisa sekalipun di tengah penyelesaian nyaris sempurna. Selalu ada saja pengecualian dalam setiap keumuman. Jangan takut salah, yang kita takuti adalah kesalahan berulang. Berulangnya kesalahan sering bukannya kurangnya ilmu namun lebih pada tak taat asas. Tugas kita bukan untuk berkarya sempurna namun mencobanya ke arah sana.
Kesempurnaan bukan milik manusia tapi itu tantangan dan doa. Anakku, afiliasimu harus mengiringi achievement-mu. Harapan itu lahir dari kekhawatiran. Sungguh itu bukan kekhawatiranku seorang. Teman-temanku pun merasakannya. Kenapa orang mengejar achieve tanpa tolah-toleh. Tanpa tengok kanan kiri. Sepertinya bisa menyelesaikan segala urusan. Kalkulasi dengan angkaangka membuatnya jadi orang paling tangguh. Tema-tema jamaah jadi tak relevan di matanya.
Keberhasilan personal amat didewakan. Antarmereka dipisahkan oleh istilah something dan nothing tanpa roh dan tanpa basa-basi Banyak pihak menyebut sebagai kekhawatiran pada sistem yang dibuatnya sendiri. Manusia takut pada robot yang berwujud dirinya. Teman saya menjuduli totally robotic syndrome. Bukan main! Kalau ini dibiarkan, tak tertutup kemungkinan mereka akan pangling dengan dirinya sendiri. Di kampusku, nilai-nilai kejuangan mendahului tradisi ilmiah. Nilai kekerabatan kental dijagai. Harkat kemanusiaan masih dijunjung sejalan dengan kapabilitasnya.
Komputasi tak boleh mendelusi manual dan person di baliknya. Masih ada justifikasi sepanjang produktif. Tak apa-apa, itu pilihan optimal. Apa berarti yang ilmiah itu belum tentu bernilai? Tradisi ilmiah tanpa ghirah diniah ibarat mendorong batu ke puncak gunung. Setelah sampai puncak bingung mau diapakan, akhirnya dihempaskan kembali ke lembah. Biarlah di perpolitikan terjadi klaim tak ada sahabat dan musuh abadi. Lantas apa yang abadi? Biar para politikus saja yang mengerti.
Kampus musti tetap jadi tempat bersemainya nilainilai. Berikut masyarakat yang menyuburkan dan memanennya. Saatnya nanti kedua kutub itu akan saling mengisi. Mungkin belum sekarang tapi nanti pasti. Anakku, harapanku terus kulontarkan. Siapa lagi kalau bukan kalian yang jadi penyeimbang. Penyeimbang antara das sollendan das sein di kampus juga di masyarakat. Masyarakat dan kampus bukan dunia yang harus dipertentangkan.
Kampus dunia ilmiah, masyarakat dunia tak ilmiah. Bukan begitu cara memandang. Kedua dunia itu sama-sama berkontribusi. Tinggal siapa yang lebih dulu sampai, dialah yang harus menunggu dengan sabar. Kita mesti sabar dan mengalah untuk sementara. Ada saatnya kita belajar mengalah hingga tak ada lagi yang mampu mengalahkan.
Ada waktunya kita belajar merendah hingga tak ada lagi yang bisa merendahkan. Kuncinya afiliasimu mengiringi achievement-mu. Wallahualam bissawab.
M Kalis Purwanto
Dosen Pascasarjana STMIK Amikom Yogyakarta
Kebutuhan untuk berprestasi itu melekat pada tiap kita. Murid-muridnya menganggap n-achsingkatan dari need of achievement sebagai virus mental. Virus mental ini adalah pikiran yang berorientasi pada langkah progresif. Pada setiap kesempatan berkeinginan untuk berkompetisi. Ia mengedepankan takaran terukur dan bisa digrafikkan. Ia pun mendorong bagaimana melakukan sesuatu dengan baik, cepat, dan tepat untuk mencapai prestasi.
Menurut teori expectancy value, seseorang mengejar prestasi itu didasarkan atas dua hal. Pertama tendensi untuk mencapai keberhasilan dan kedua tendensi menghindari kegagalan. Kedua tendensi itu tak bersifat saling meniadakan namun melengkapi. Sifat orang suka berubah bergantung sikon. Kadang maksimalis, di lain waktu minimalis. Dari dua tendensi itu kemudian di-versus-kan.
Ternyata yang bertendensi ingin mencapai keberhasilan motivasinya lebih tinggi dibanding yang menghindari kegagalan. Setelah ditelusuri, itu semua bermula dari keyakinan diri atas kemampuannya. Ia mampu bertindak sesuai kehendak. Semangatnya bisa melahirkan rasa optimis, gembira, tanggung jawab, namun juga toleran. Ini starting point yang menjanjikan. Bagaimana mungkin sesuatu bisa berhasil jika sejak awal sudah tak yakin. Tapi jangan mentangmentang dulu. Pilihan minimalis masih disediakan ruang.
Syaratnya dalam kondisi darurat. Kedaruratan inilah yang jadi persoalan. Tiap orang punya pagu kedaruratan masingmasing. Kuncinya sederhana lebih baik menghindar dari mudarat daripada mengejar maslahat. Ini juga yang saya ingin katakan padamu. Di kampusku dijuduli “Inventarisasi Reaksi Sosial”. Berdasarkan identifikasi kebutuhan dasar, manusia punya tiga kategori motivasi. Ketiganya ialah need of achievement, need of affiliation, dan need of power.
Dalam pelatihan biasanya dibagikan kuesioner yang mencakup ketiganya. Para peserta diminta memilih dari pernyataan sesuai yang dialaminya sehari-hari. Ketiga kategori motivasi itu tersebar acak dengan selingan distructor sebagai penyeimbang. Hasil jawaban mereka dijadikan bahan pembahasan dan diskusi. Kebanyakan dari mereka biasanya tersipu atas evaluasi dirinya. Kenapa?
Mereka sendiri yang berhak mengetahui. Baru disadarinya bahwa mereka ternyata asosial karena n-affnya nihil. Ada yang sebaliknya, nilai dari aspek persahabatan ini amat mutlak. Tak bisa disangkal bila pemilik kategori ini adalah orang yang takut menentukan sikap secara mandiri. Kebutuhan untuk berprestasi (n-ach) umumnya bersifat intrinsik dan relatif stabil.
Biasanya diikuti dengan tanda-tanda suka berinisiasi. Tak jarang juga menggambarkan keinginan berkuasa sekalipun tak menonjol. Motivasi ini merupakan akumulasi dari tiga variabel. Pertama harapan berhasil, kedua persepsi keberhasilan dan ketiga kebutuhan untuk berhasil. Sebaiknya ketiga motif dasar itu harus dalam batas minimal. Setidaknya mencapai angka pertengahan dalam grafik. Motivasi mana yang dominan dan yang rendah mendapat treatment berbeda.
Pengalaman menunjukkan n-achekstrem tinggi berkecenderungan berbanding terbalik dengan n-aff. Demikian juga sebaliknya, n-aff ekstrem tinggi, n-ach-nya rendah. Ini boleh jadi tak valid tapi bolehlah dipakai acuan. Persoalan yang sering muncul adalah subjektivitas terhadap realitas. Untuk menaikkan ketiga kategori motivasi itu secara teori ada caranya. Itu sederhana dalam pelatihan namun rumit di lapangan. Persoalan lain bagaimana menjaga kesenjangan ekstrem antar kategori.
Seorang yang super excellence harus diselamatkan dari penyakit asosial. Orang yang afiliatif berlebihan perlu diajari kompetisi dengan capaian terkukur. Selalu saja ada persoalan tersisa sekalipun di tengah penyelesaian nyaris sempurna. Selalu ada saja pengecualian dalam setiap keumuman. Jangan takut salah, yang kita takuti adalah kesalahan berulang. Berulangnya kesalahan sering bukannya kurangnya ilmu namun lebih pada tak taat asas. Tugas kita bukan untuk berkarya sempurna namun mencobanya ke arah sana.
Kesempurnaan bukan milik manusia tapi itu tantangan dan doa. Anakku, afiliasimu harus mengiringi achievement-mu. Harapan itu lahir dari kekhawatiran. Sungguh itu bukan kekhawatiranku seorang. Teman-temanku pun merasakannya. Kenapa orang mengejar achieve tanpa tolah-toleh. Tanpa tengok kanan kiri. Sepertinya bisa menyelesaikan segala urusan. Kalkulasi dengan angkaangka membuatnya jadi orang paling tangguh. Tema-tema jamaah jadi tak relevan di matanya.
Keberhasilan personal amat didewakan. Antarmereka dipisahkan oleh istilah something dan nothing tanpa roh dan tanpa basa-basi Banyak pihak menyebut sebagai kekhawatiran pada sistem yang dibuatnya sendiri. Manusia takut pada robot yang berwujud dirinya. Teman saya menjuduli totally robotic syndrome. Bukan main! Kalau ini dibiarkan, tak tertutup kemungkinan mereka akan pangling dengan dirinya sendiri. Di kampusku, nilai-nilai kejuangan mendahului tradisi ilmiah. Nilai kekerabatan kental dijagai. Harkat kemanusiaan masih dijunjung sejalan dengan kapabilitasnya.
Komputasi tak boleh mendelusi manual dan person di baliknya. Masih ada justifikasi sepanjang produktif. Tak apa-apa, itu pilihan optimal. Apa berarti yang ilmiah itu belum tentu bernilai? Tradisi ilmiah tanpa ghirah diniah ibarat mendorong batu ke puncak gunung. Setelah sampai puncak bingung mau diapakan, akhirnya dihempaskan kembali ke lembah. Biarlah di perpolitikan terjadi klaim tak ada sahabat dan musuh abadi. Lantas apa yang abadi? Biar para politikus saja yang mengerti.
Kampus musti tetap jadi tempat bersemainya nilainilai. Berikut masyarakat yang menyuburkan dan memanennya. Saatnya nanti kedua kutub itu akan saling mengisi. Mungkin belum sekarang tapi nanti pasti. Anakku, harapanku terus kulontarkan. Siapa lagi kalau bukan kalian yang jadi penyeimbang. Penyeimbang antara das sollendan das sein di kampus juga di masyarakat. Masyarakat dan kampus bukan dunia yang harus dipertentangkan.
Kampus dunia ilmiah, masyarakat dunia tak ilmiah. Bukan begitu cara memandang. Kedua dunia itu sama-sama berkontribusi. Tinggal siapa yang lebih dulu sampai, dialah yang harus menunggu dengan sabar. Kita mesti sabar dan mengalah untuk sementara. Ada saatnya kita belajar mengalah hingga tak ada lagi yang mampu mengalahkan.
Ada waktunya kita belajar merendah hingga tak ada lagi yang bisa merendahkan. Kuncinya afiliasimu mengiringi achievement-mu. Wallahualam bissawab.
M Kalis Purwanto
Dosen Pascasarjana STMIK Amikom Yogyakarta
(ars)