Mau Sukses? Jangan Pikirkan Risikonya Dulu
A
A
A
Tekad keras dan kepiawaian Mirza Akbar membaca peluang usaha membuat pria ini menjadi seorang wirausahawan cukup sukses di usia yang terbilang masih muda.
Berbagai kendala yang ditemuinya dijadikan sebagai tantangan untuk dipecahkan. Mirza pun berjasil memproduksi sebuah produk es krim yang dinamakan “Yogya Es Cream”. Bahkan sekarang ini omzetnya sudah mencapai Rp3–4 juta per hari.
Produknya sudah beredar luas di sekitar DIY dan dinikmati banyak kalangan. Kesuksesan itu tak membuatnya jumawa. Mirza tak segan berbagi pengalaman kepada orang lain agar terinspirasi untuk sukses. Seperti yang dirasakan kami saat mengunjungi Mirza di rumahnya di Jalan Tajem No 34, Maguwoharjo, Sleman beberapa waktu lalu. Berikut petikan wawancaranya:
Sejak kapan usaha es krim Anda dirintis?
Tepatnya itu tanggal 14 April 2008. Saat saya masih tercatat sebagai mahasiswa semester empat Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM). Dulu awalnya merintis bersama calon istri saya ketika itu, berjualan es krim buatan sendiri.
Kapan Anda benar-benar bisa membuat es krim sendiri?
Sebenarnya ilmu membuat es krim itu didapat dari bangku kuliah juga. Dari situ, kami melihat peluang ada satu spotdi kantin kampus yang masih kosong dan sering dilewati mahasiswa. Jadi kami mencoba memanfaatkan itu untuk berjualan es krim buatan sendiri. Di tempat itu saya mengasah jiwa kewirausahaan. Meminta izin kepada wakil dekan bagian kemahasiswaan untuk bisa memanfaatkan ruang itu dan gayung pun bersambut. Kami diperbolehkan memakainya sekaligus mengembangkan ilmu yang saya dapatkan di bangku kuliah.
Modal awalnya bagaimana?
Nahsaya kandari keluarga pas-pasan. Ayah seorang staf pegawai negeri sipil (PNS) biasa, sementara ibu sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan kami empat bersaudara. Saya anak nomor dua dan saat itu berpikir bagaimana untuk bisa mandiri terlebih dahulu. Ketika akan memulai usaha ini, saya tahu tabungan ayah ada Rp30 juta. Itu untuk membiaya kuliah adik yang nomor tiga. Saya mencoba meyakinkan orang tua untuk meminjam modal itu. Sebagai gantinya, biaya kuliah adik nanti saya yang tanggung. Akhirnya diperbolehkan. Itu sebagian untuk membeli alat pembuat es krim.
Lalu, bagaimana perjalanan awal usahanya?
Dulu model awalnya es krim tungtung dengan harga Rp1.500. Produk itu cukup disambut baik oleh konsumen (mahasiswa UGM). Sehari maksimal memproduksi es krim dengan menghabiskan tiga liter susu tapi kadang juga tidak habis.
Apakah sudah cukup puas saat itu?
(Tentu tidak puas) saya ingin kembangkan terus, jangan sampai berhenti berproduksi meski sedang sepi. Kebetulan ada pemasok yang mau menyetorkan bahan baku. Jadi saya mengubah sasaran jualan. Dari yang sebelumnya ke mahasiswa, memulai menawarkan ke outlet-outlet rumah makan, hotel, dan eveneven lainnya. Dengan konsep kerja sama, saya stok mereka es krimnya. Kemudian perusahaan itu memakai merek sendiri. Lalu kami juga menyediakan isi ulang literan es krim. Mau pesan berapa liter, kami sediakan.
Dampaknya bagi usaha?
Cukup berhasil. Awal jualan dulu sehari omzetnya sekitar ratusan ribu rupiah. Sekarang sehari Rp3–4 juta. Sehari biasanya menghabiskan minimal 250 liter susu bahan baku untuk membuatnya. Jumlah tersebut untuk membuat sekitar 2.500 cupes krim.
Selama menjalani usaha, apakah ada kendalanya?
Banyak kendalanya. Mulai dari mesin pembuat es krim rusak, lalu pengelolaan sumber daya manusia (SDM) yang kurang, distribusi es krim, mobil (pengantar) mogok, dan listrik mati. Ada juga biaya produksi turun naik, target pasar masih kurang memenuhi. Semua kendala itu saya jadikan sebagai tantangan yang harus dipecahkan.
Terus bagaimana Anda mengembalikan modal pinjaman awal?
Pada tahun 2008 saya memulai usaha dan akhir 2009 adik sudah mulai ke Yogyakarta untuk kuliah. Dan saat itu sudah bisa cukup untuk memberinya uang saku. Sampai selesai kuliah kemarin, sesuai kesepakatan saya yang tanggung biayanya.
Melihat usaha yang berhasil ini, apa kiat Anda dan siapa orang yang dianggap berjasa?
Moto hidup saya itu jika ingin alasan, lupakan sukses. Begitu pun sebaliknya, jika ingin sukses harus melupakan alasan. Maksudnya, kalau saya berpikir tentang risikonya dulu, seperti nanti kalau rugi bagaimana, dicaci maki orang bagaimana, maka tidak akan sukses. Jadi harus tutup mata dengan semua itu.
yang saya lakukan itu baik, kenapa harus takut. Kalau orang yang paling berjasa dalam merintis usaha ini, yakni calon istri saya dulu yang saat ini sudah menjadi istri sekaligus patner kerja. Yang kedua, orang tua. Karena yang saya dapatkan saat ini juga berdasarkan doa orang tua.
Ridho hidayat
Berbagai kendala yang ditemuinya dijadikan sebagai tantangan untuk dipecahkan. Mirza pun berjasil memproduksi sebuah produk es krim yang dinamakan “Yogya Es Cream”. Bahkan sekarang ini omzetnya sudah mencapai Rp3–4 juta per hari.
Produknya sudah beredar luas di sekitar DIY dan dinikmati banyak kalangan. Kesuksesan itu tak membuatnya jumawa. Mirza tak segan berbagi pengalaman kepada orang lain agar terinspirasi untuk sukses. Seperti yang dirasakan kami saat mengunjungi Mirza di rumahnya di Jalan Tajem No 34, Maguwoharjo, Sleman beberapa waktu lalu. Berikut petikan wawancaranya:
Sejak kapan usaha es krim Anda dirintis?
Tepatnya itu tanggal 14 April 2008. Saat saya masih tercatat sebagai mahasiswa semester empat Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM). Dulu awalnya merintis bersama calon istri saya ketika itu, berjualan es krim buatan sendiri.
Kapan Anda benar-benar bisa membuat es krim sendiri?
Sebenarnya ilmu membuat es krim itu didapat dari bangku kuliah juga. Dari situ, kami melihat peluang ada satu spotdi kantin kampus yang masih kosong dan sering dilewati mahasiswa. Jadi kami mencoba memanfaatkan itu untuk berjualan es krim buatan sendiri. Di tempat itu saya mengasah jiwa kewirausahaan. Meminta izin kepada wakil dekan bagian kemahasiswaan untuk bisa memanfaatkan ruang itu dan gayung pun bersambut. Kami diperbolehkan memakainya sekaligus mengembangkan ilmu yang saya dapatkan di bangku kuliah.
Modal awalnya bagaimana?
Nahsaya kandari keluarga pas-pasan. Ayah seorang staf pegawai negeri sipil (PNS) biasa, sementara ibu sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan kami empat bersaudara. Saya anak nomor dua dan saat itu berpikir bagaimana untuk bisa mandiri terlebih dahulu. Ketika akan memulai usaha ini, saya tahu tabungan ayah ada Rp30 juta. Itu untuk membiaya kuliah adik yang nomor tiga. Saya mencoba meyakinkan orang tua untuk meminjam modal itu. Sebagai gantinya, biaya kuliah adik nanti saya yang tanggung. Akhirnya diperbolehkan. Itu sebagian untuk membeli alat pembuat es krim.
Lalu, bagaimana perjalanan awal usahanya?
Dulu model awalnya es krim tungtung dengan harga Rp1.500. Produk itu cukup disambut baik oleh konsumen (mahasiswa UGM). Sehari maksimal memproduksi es krim dengan menghabiskan tiga liter susu tapi kadang juga tidak habis.
Apakah sudah cukup puas saat itu?
(Tentu tidak puas) saya ingin kembangkan terus, jangan sampai berhenti berproduksi meski sedang sepi. Kebetulan ada pemasok yang mau menyetorkan bahan baku. Jadi saya mengubah sasaran jualan. Dari yang sebelumnya ke mahasiswa, memulai menawarkan ke outlet-outlet rumah makan, hotel, dan eveneven lainnya. Dengan konsep kerja sama, saya stok mereka es krimnya. Kemudian perusahaan itu memakai merek sendiri. Lalu kami juga menyediakan isi ulang literan es krim. Mau pesan berapa liter, kami sediakan.
Dampaknya bagi usaha?
Cukup berhasil. Awal jualan dulu sehari omzetnya sekitar ratusan ribu rupiah. Sekarang sehari Rp3–4 juta. Sehari biasanya menghabiskan minimal 250 liter susu bahan baku untuk membuatnya. Jumlah tersebut untuk membuat sekitar 2.500 cupes krim.
Selama menjalani usaha, apakah ada kendalanya?
Banyak kendalanya. Mulai dari mesin pembuat es krim rusak, lalu pengelolaan sumber daya manusia (SDM) yang kurang, distribusi es krim, mobil (pengantar) mogok, dan listrik mati. Ada juga biaya produksi turun naik, target pasar masih kurang memenuhi. Semua kendala itu saya jadikan sebagai tantangan yang harus dipecahkan.
Terus bagaimana Anda mengembalikan modal pinjaman awal?
Pada tahun 2008 saya memulai usaha dan akhir 2009 adik sudah mulai ke Yogyakarta untuk kuliah. Dan saat itu sudah bisa cukup untuk memberinya uang saku. Sampai selesai kuliah kemarin, sesuai kesepakatan saya yang tanggung biayanya.
Melihat usaha yang berhasil ini, apa kiat Anda dan siapa orang yang dianggap berjasa?
Moto hidup saya itu jika ingin alasan, lupakan sukses. Begitu pun sebaliknya, jika ingin sukses harus melupakan alasan. Maksudnya, kalau saya berpikir tentang risikonya dulu, seperti nanti kalau rugi bagaimana, dicaci maki orang bagaimana, maka tidak akan sukses. Jadi harus tutup mata dengan semua itu.
yang saya lakukan itu baik, kenapa harus takut. Kalau orang yang paling berjasa dalam merintis usaha ini, yakni calon istri saya dulu yang saat ini sudah menjadi istri sekaligus patner kerja. Yang kedua, orang tua. Karena yang saya dapatkan saat ini juga berdasarkan doa orang tua.
Ridho hidayat
(ars)