Kirab 1.000 Tumpeng Sambut 21 Ramadan
A
A
A
SOLO - Kirab tumpeng Sewu malam selikuran yang digelar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berlangsung khidmat, Selasa (7/7) malam.
Sebanyak 1.000 nasi tumpeng dikirab dari keraton menuju Masjid Agung Surakarta sebagai makna menyambut malam Laitul Qodar di bulan Ramadan. Kirab dimulai sekitar pukul 20.00WIBusaisalattarawih. Sebanyak 1.000 tumpeng dibawa para abdi dalem keraton dengan dari Gondorasan(dapur) menujubangsal. Kirab dengan berjalan kaki dipimpin Kajeng Raden Tumenggung Citro Adiningrat dan diarak berkeliling Baluwarti di seputar kompleks keraton.
Kirab tumpeng mengeliling keraton dilakukan searah jarum jam dimaksudkan untuk menempatkan posisi keratondisebelahkanan. Saat kirab, pada bagian paling depan adalah prajurit dan disusul barisan para pengageng keraton. Disusul di belakangnya tumpeng sewu yang dibawa abdi dalem yang juga membawa lampu thing. “Kirab Tumpeng Sewu saat malem selikuran digelar bertepatan malam 21 Ramadan,” kata Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Winarno Kusumo, Wakil Pengageng Sasono Wilopo Keraton Kasunanan Surakarta, tadi malam.
Malam 21 Ramadan adalah ketika turunnya Nabi Muhamad dari Jabal Nur setelah menerima wahyu Laitul Qodar. Yakni siapapun yang berbuat kebaikan pada hari itu akan mendapat ganjaran (balasan) yang baik bagi seribu bulan. “Sehingga kemudian dilambangkan dengan tumpeng yang sewu atau tumpeng yang jumlahnya seribu,” terangnya. Saat Nabi Muhamad turun dari Jabal Nur, kemudian disambut para sahabat nabi dengan membawa obor.
Sehingga suasana malam saat itu menjadi terang benderang. Sementara, tumpeng sewu yang dibawa abdi dalem yang berasal Boyolali, Sukoharjo, dan Klaten, antara lain berisi nasi gurih, kedelai hitam, mentimun, daging ayam kampung, dan lalapan lombok hijau. Setelah sampai di Masjid Agung, selanjutnya dikisahkan sejarah singkat mengenai kirab malam selikuran.
Setelah itu dilanjutkan doa memohon kepada Tuhan agar Keraton Surakarta, masya-rakat, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) selalu mendapat perlindungan dan ketentraman. Tumpeng sewu kemudian dibagikan kepada masyarakat yang hadir menyaksikan acara. Tradisi kirab malam selikuran saat bulan Ramadan merupakan peninggalan para Walisongo di era Kerajaan Demak.
Sekretaris II Masjid Agung Surakarta Purnomo Subagyo mengemukakan, tradisi malam selikuran merupakan kegiatan rutin yang digelar Keraton Kasunanan Surakarta setiap bulan Ramadan. “Ini merupakan perpaduan budaya agar syiar agama menjadi lebih mudah diterima masyarakat,” ungkap Purnomo Subagyo.
Ary wahyu wibowo
Sebanyak 1.000 nasi tumpeng dikirab dari keraton menuju Masjid Agung Surakarta sebagai makna menyambut malam Laitul Qodar di bulan Ramadan. Kirab dimulai sekitar pukul 20.00WIBusaisalattarawih. Sebanyak 1.000 tumpeng dibawa para abdi dalem keraton dengan dari Gondorasan(dapur) menujubangsal. Kirab dengan berjalan kaki dipimpin Kajeng Raden Tumenggung Citro Adiningrat dan diarak berkeliling Baluwarti di seputar kompleks keraton.
Kirab tumpeng mengeliling keraton dilakukan searah jarum jam dimaksudkan untuk menempatkan posisi keratondisebelahkanan. Saat kirab, pada bagian paling depan adalah prajurit dan disusul barisan para pengageng keraton. Disusul di belakangnya tumpeng sewu yang dibawa abdi dalem yang juga membawa lampu thing. “Kirab Tumpeng Sewu saat malem selikuran digelar bertepatan malam 21 Ramadan,” kata Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Winarno Kusumo, Wakil Pengageng Sasono Wilopo Keraton Kasunanan Surakarta, tadi malam.
Malam 21 Ramadan adalah ketika turunnya Nabi Muhamad dari Jabal Nur setelah menerima wahyu Laitul Qodar. Yakni siapapun yang berbuat kebaikan pada hari itu akan mendapat ganjaran (balasan) yang baik bagi seribu bulan. “Sehingga kemudian dilambangkan dengan tumpeng yang sewu atau tumpeng yang jumlahnya seribu,” terangnya. Saat Nabi Muhamad turun dari Jabal Nur, kemudian disambut para sahabat nabi dengan membawa obor.
Sehingga suasana malam saat itu menjadi terang benderang. Sementara, tumpeng sewu yang dibawa abdi dalem yang berasal Boyolali, Sukoharjo, dan Klaten, antara lain berisi nasi gurih, kedelai hitam, mentimun, daging ayam kampung, dan lalapan lombok hijau. Setelah sampai di Masjid Agung, selanjutnya dikisahkan sejarah singkat mengenai kirab malam selikuran.
Setelah itu dilanjutkan doa memohon kepada Tuhan agar Keraton Surakarta, masya-rakat, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) selalu mendapat perlindungan dan ketentraman. Tumpeng sewu kemudian dibagikan kepada masyarakat yang hadir menyaksikan acara. Tradisi kirab malam selikuran saat bulan Ramadan merupakan peninggalan para Walisongo di era Kerajaan Demak.
Sekretaris II Masjid Agung Surakarta Purnomo Subagyo mengemukakan, tradisi malam selikuran merupakan kegiatan rutin yang digelar Keraton Kasunanan Surakarta setiap bulan Ramadan. “Ini merupakan perpaduan budaya agar syiar agama menjadi lebih mudah diterima masyarakat,” ungkap Purnomo Subagyo.
Ary wahyu wibowo
(ars)