Menjadi Jembatan Sukses Sejumlah Dalang Top Indonesia
A
A
A
Pagelaran Wayang Kulit Jumat Kliwon yang biasa dihelat di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) tak terasa telah memasuki usia 23 tahun. Kegiatan ini rutin digelar sejak 1992 dan telah mengorbitkan sejumlah dalang.
Untuk pagelaran ke-237, Kamis (2/7) malam, Wayang Kulit Jumat Kliwon yang digelar hasil kerja sama Teater Lingkar dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang itu menampilkan lakon Parto Krama dengan dalang Ki Juwahir Lebdho Carita dari Klaten. Ruang pertemuan TBRS tampak penuh sesak oleh warga yang menjadi penonton setia. Animo masyarakat menyaksikan pentas seni wayang kulit saat itu benar-benar besar. “Sudah 10 tahun terakhir saya selalu menonton wayang di sini, terutama sejak pensiun,” ujar Suparno, warga Wonodri.
Pensiunan Dinas Kesehatan Kota Semarang ini mengaku selalu datang bersama istri yang juga penggemar wayang kulit. Sayang, belum ada anakanaknya yang mengikuti jejak menyukai budaya wayang. Tidak banyak yang tahu bahwa pagelaran wayang kulit Jumat Kliwon telah berusia puluhan tahun. Pentas seni yang diproduksi pertama kali digelar tahun 1992 itu kini produksinya sudah mencapai ke-237. Tentu saja mudah menghitungnya karena pentas wayang di TBRS selalu dilakukan setiap selapan (35 hari sekali), setiap malam Jumat Kliwon.
Menariknya, meski sudah 23 tahun, pagelaran di TBRS ini selalu dinantikan oleh para dalang kondang, sebut saja Ki Manteb Sudarsono, Waseso Slenk, dan Ki Enthus Susmono. Mereka selalu menantikan kapan diagendakan untuk bisa bermain di TBRS. “Padahal jika mereka main di sini tidak bayaran, malah bisa-bisa nombok untuk akomodasi dan alat-alat. Tapi mereka justru menanti kapan dijadwalkan main,” ujar pendiri Teater Lingkar, Suhartono Padmo Sumarto yang akrab dipanggil Mas Ton ini.
Bagi para dalang kondang itu, main di TBRS ibarat nandur , panennya nanti di tempat lain. Ki Manteb, misalnya, selalu dapat panggilan manggung seusai main di TBRS. Begitu juga Ki Enthus yang kini sudah menjadi Bupati Tegal. Begitu dinyatakan sebagai pemenang pilkada, hal pertama yang dilakukannya adalah ndalang di TBRS. Hal itu sebagai bukti syukur dan rasa terima kasihnya karena telah dibesarkan TBRS.
“Ki Enthus itu padahal pertama kali ndalang ndredeg (gemetar) pegang wayang,” ujar Mas Ton yang mengaku mengajari Ki Enthus ndalang . Pagelaran wayang kulit setiap malam Jumat kliwon ini sebagai wahana bagi warga untuk tetap mencintai budaya asli negeri ini, di tengah dera globalisasi dan serbuan budaya asing. Pentas wayang ini pula sekaligus menegaskan eksistensi TBRS sebagai pusat budaya di Kota Semarang.
M Abduh
Kota Semarang
Untuk pagelaran ke-237, Kamis (2/7) malam, Wayang Kulit Jumat Kliwon yang digelar hasil kerja sama Teater Lingkar dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang itu menampilkan lakon Parto Krama dengan dalang Ki Juwahir Lebdho Carita dari Klaten. Ruang pertemuan TBRS tampak penuh sesak oleh warga yang menjadi penonton setia. Animo masyarakat menyaksikan pentas seni wayang kulit saat itu benar-benar besar. “Sudah 10 tahun terakhir saya selalu menonton wayang di sini, terutama sejak pensiun,” ujar Suparno, warga Wonodri.
Pensiunan Dinas Kesehatan Kota Semarang ini mengaku selalu datang bersama istri yang juga penggemar wayang kulit. Sayang, belum ada anakanaknya yang mengikuti jejak menyukai budaya wayang. Tidak banyak yang tahu bahwa pagelaran wayang kulit Jumat Kliwon telah berusia puluhan tahun. Pentas seni yang diproduksi pertama kali digelar tahun 1992 itu kini produksinya sudah mencapai ke-237. Tentu saja mudah menghitungnya karena pentas wayang di TBRS selalu dilakukan setiap selapan (35 hari sekali), setiap malam Jumat Kliwon.
Menariknya, meski sudah 23 tahun, pagelaran di TBRS ini selalu dinantikan oleh para dalang kondang, sebut saja Ki Manteb Sudarsono, Waseso Slenk, dan Ki Enthus Susmono. Mereka selalu menantikan kapan diagendakan untuk bisa bermain di TBRS. “Padahal jika mereka main di sini tidak bayaran, malah bisa-bisa nombok untuk akomodasi dan alat-alat. Tapi mereka justru menanti kapan dijadwalkan main,” ujar pendiri Teater Lingkar, Suhartono Padmo Sumarto yang akrab dipanggil Mas Ton ini.
Bagi para dalang kondang itu, main di TBRS ibarat nandur , panennya nanti di tempat lain. Ki Manteb, misalnya, selalu dapat panggilan manggung seusai main di TBRS. Begitu juga Ki Enthus yang kini sudah menjadi Bupati Tegal. Begitu dinyatakan sebagai pemenang pilkada, hal pertama yang dilakukannya adalah ndalang di TBRS. Hal itu sebagai bukti syukur dan rasa terima kasihnya karena telah dibesarkan TBRS.
“Ki Enthus itu padahal pertama kali ndalang ndredeg (gemetar) pegang wayang,” ujar Mas Ton yang mengaku mengajari Ki Enthus ndalang . Pagelaran wayang kulit setiap malam Jumat kliwon ini sebagai wahana bagi warga untuk tetap mencintai budaya asli negeri ini, di tengah dera globalisasi dan serbuan budaya asing. Pentas wayang ini pula sekaligus menegaskan eksistensi TBRS sebagai pusat budaya di Kota Semarang.
M Abduh
Kota Semarang
(ars)