Anakku, Kebutuhan Itu Harus Mendahului Keinginan

Selasa, 30 Juni 2015 - 10:12 WIB
Anakku, Kebutuhan Itu Harus Mendahului Keinginan
Anakku, Kebutuhan Itu Harus Mendahului Keinginan
A A A
Anakku, kita lanjutkan tentang keteranganku pekan lalu. Ini masih tentang pelatihan membenahi diri. Setiap diri bisa membohongi siapa pun, tapi tidak terhadap dirinya.

Jika kemarin melalui penulisan cerita, sesi ini dengan becermin diri. Cermin tak bisa menghibur. Ia bicara apa yang ditatapnya. Mereka diminta memilih satu dari lima pernyataan. Kelima pernyataan itu mengenai tingkat kebutuhan hidupnya. Pernyataan, lebih tepatnya kuesioner itu tampil secara acak. Setiap pernyataan yang mewakili tingkatan kebutuhan dipastikan tidak bias.

Kelima tingkat kebutuhan itu ialah keamanan, fisiologis, aktualisasi, penghargaan, dan sosial. Hasil dari isian mereka dikompilasikan dan digrafikkan agar masing-masing bisa becermin. Hasil pendataan dari masing-masing peserta dipertemukan dan ditunjukkan dengan peserta lain. Dengan begitu, masing-masing pribadi bisa memberi penilaian pada orang lain. Saat mereka becermin inilah saya merasa amat bahagia. Kebahagiaan seorang guru atas perangai murid.

Kebahagiaan orang tua saat melihat kedewasaan anaknya. Setidaknya ada dua hal yang mendorong kebahagiaan itu. Pertama, saya merasa bisa membukakan cakrawala berpikir mereka. Kedua, masih semuda itu mereka telah mendapatkan pengalaman bermuhasabah. Saya rasa, hanya melalui pelatihanlah muhasabah bisa terlaksana secara efektif. Targetnya jelas, tantangannya terstruktur, dan batasan waktunya ketat. Sejatinya, manusia itu pada kebutuhan mendasarnya instinctoid; setara dengan hewan.

Kebutuhan itu sekadar makan dan insting mempertahankan diri. Tapi tak berhenti di situ. Masih ada kebutuhan di atasnya. Hal ini termasuk kebutuhan apresiasi estetik dan spiritual. Dalam pendekatan Maslow dikenal dengan kelima hierarkinya itu. Anakku, muhasabah yang saya maksud di atas ialah mereka tahu kebutuhan mana yang paling dominan. Minimal paham mana yang maslahat dan mendesak saat ada stimulan. Ini menjadi penting karena tidak mudah untuk membedakan kebutuhan (need) dan keinginan (want).

Kebutuhan itu ada batasnya, sedang keinginan tak berbatas. Dunia ini diciptakan-Nya sudah pasti cukup untuk memenuhi penghuninya. Beda halnya jika bicara keinginan, dua dunia ditambah satu dunia lagi pun tak bisa memuaskan seorang yang serakah. Banyak orang “gagal” hidupnya garagara urusan ini. Kenyataannya, orang tak perlu puas dulu kebutuhan pertama baru butuh yang kedua. Demikian juga terpenuhi dulu tingkat kedua baru yang ketiga. Kelimalimanya bisa changeable. Di sinilah harkat “kemanusiaannya” sebagai manusia dipertaruhkan. Saya anjurkan kepadamu melompat langsung pada kebutuhan aktualisasi.

Tantangannya jelas. Tentu tidak mudah, apalagi untuk anak muda. Alasan saya, jadilah sekalian manusia seutuhnya dan sesungguhnya. Berani beda itu hebat. Tentu bedanya bisa dipertanggungjawabkan. Ciri dari orang dewasa adalah pengambilan tanggung jawab atas tindakannya. Orang menjadi tua itu pasti, untuk menjadi dewasa itu pilihan. Coba tengok teman-temanmu, banyak yang kedewasaannya mendahului usianya.

Banyak contoh jelek orang tua (usianya sudah setengah baya) yang perilakunya kekanak-kanakan. Tandanya gampang, kalau dia dimintai tanggung jawab selalu pintar cari alasan. Berdasarkan kajian guru-guru saya, kualifikasi berikut dianggap memenuhikriteria pribadiyangberaktualisasi diri. Pertama, memiliki otonomi pribadi. Manusia aslinya built-up dengan keluhuran martabat. Ia memiliki akal budi, perasaan, dan suara hati. Itulah dasar diberinya hak kelola otonomi pribadi.

Kedua, kerendahhatian. Dalam dirinya memiliki cukup cadangan untuk menghargai orang lain, huminity and respect. Biasanya hal ini justru datang dari orang-orang terhormat. Maksud saya, terhormat secara esensial. Saat kita kehilangan respek pada orang lain, saat itu, tanda hilangnya kerendahhatian. Ini kondisi terburuk dari orang yang mengaku terhormat.Respek itu isinya menghormati, menghargai, mengakui, dan menjunjung tinggi. Kuncinya belajar pada spiral.

Hidup ini seperti spiral. Kadang positif lain waktu negatif. Spiral positif membesar ke atas. Segala yang positif akan membesarkan yang lain, begitu pun sikap kita terhadap orang lain. Kemuliaan seseorang tak akan rontok gara-gara tak dapat penghormatan. Sebaliknya, ancaman jatuhnya kehormatan seseorang saat meminta dihormati. Ketiga, solusi problematika. Menandainya gampang. Kita ini golongan problem solver atau trouble maker dengan cepat ketahuan.

Jika ada masalah sepuluh, kita datang jadi sembilan, itu kelompok pertama. Saat masalahnya dua, kita datang jadi tiga, itu masuk kelompok kedua. Jenis masalahnya bisa beragam tapi rumusnya sama. Dari rumit jadi sederhana itu sudah solusi. Dari banyak menjadi sedikit itu juga solusi. Persoalannya, bersediakah kita melihat masalah secara jujur. Di sini kadang saya merasa sedih.

Coba tebak apa sebabnya? Keempat, berpusat pada realitas. Ia berusaha melihat sesuatu apa adanya. Ada jarak yang sehat antara opini dan fakta. Realitas adalah fakta yang disikapi secara jujur. Kejujuran itu bukan hanya tak berbohong, namun lebih dari sekadar itu. Ia sadar akan hal itu. Persoalan dilihatnya secara jernih. Hukum ketetapan- Nya disikapi dengan penuh rida. Kejadian apa pun diterima sebagai resultante kejadian sebelumnya. Diyakininya tidak pernah Tuhan berniat sedikit pun menyengsarakan ciptaan- Nya. Realitas yang ada itu kebenaran. Itu ayat karunia.

Sikap yang sehat adalah mengalkulasi sisi mana yang bisa jadi pelajaran. Kelima, smart humoris. Humor yang ditampilkan tak agresif, unhostile, dan menyadarkan. Humor itu batasannya, jatuh dari tangga saat mengingatkan jangan jatuh dari tangga. Oleh karenanya, humor yang smart harus ada unsur reflektifnya. Wallahualam bissawab.

M Kalis Purwanto
Dosen STMIK AMIKOM Yogyakarta
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8458 seconds (0.1#10.140)