Diminati Peserta hingga Papua
A
A
A
Kabupaten Kulonprogo sudah cukup bangga dengan batik khas daerah itu, Geblek Renteng. Batik yang dihasilkan lewat sayembara itu menjadi kebanggaan bagi kabupaten paling barat DIY itu. Kini, hampir semua tahu batik Geblek Renteng Kulonprogo.
Strategi Kulonprogo mencari ciri khas daerah melalui batik juga dilakukan Kota Yogyakarta. Mengambil momen ulang tahun Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta ke-68, diselenggarakan lomba batik khas daerah dan digagas Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota. Ada tiga motif batik tradisional khas Yogyakarta yang diusung dalam lomba, yakni ceplok, parang, dan semen.
Aspek orisinalitas, keunikan, dan keindahan, tetapi tidak meninggalkan filosofi batik Keraton Yogyakarta, serta estetika saat diaplikasikan dalam busana seragam menjadi aspek penilaian. Hasilnya terkumpul 468 karya dari 410 peserta yang mendaftarkan diri. Peserta tidak saja berasal dari DIY dan sekitarnya, tetapi juga berasal dari luar pulau, seperti Kalimantan, Bali, Papua.
Dari jumlah itu, diambil 20 desain terbaik yang kemudian diwujudkan dalam bentuk kain batik berukuran 1 x 2 meter dan dipamerkan di Griya UMKM, Jalan Tamansiswa, pada 5–6 Juni. Sayang, hanya 11 desain yang dihasilkan warga Kota Yogyakarta. Sisanya berasal dari wilayah DIY 5 desain dan 4 desain lainnya dari luar DIY.
Dari 20 desain terpilih, dikerucutkan lagi menjadi enam desain terbaik. Tiga terbaik dari enam karya ini nantinya diusulkan menjadi seragam Pemkot Yogyakarta. Keputusan desain mana yang dipilih diserahkan kepada wali kota. Menurut Ketua Dekranasda Kota Yogyakarta Tri Kirana Muslidatun, 20 karya terbaik sengaja dipamerkan kepada publik.
Karya-karya itu dianggap luar biasa karena sanggup merepresentasikan Kota Yogyakarta dengan semangat Segoro Amarto. Selain Pemkot, Dekranasda, dan TP PKK, komunitas mana pun diperbolehkan menggunakan 20 desain yang dipamerkan. Dengan catatan, mengajukan izin terlebih dulu kepada Dekranasda, mengingat seluruh desain telah dipatenkan.
Desain juga bisa menjadi contoh bagi para perajin di kota. Saat ini terdapat 240 perajin yang menggeluti berbagai bidang. Namun, dari jumlah itu separuhnya adalah perajin batik. Dari jumlah itu pula, mayoritas masih membutuhkan pendampingan, baik dalam hal produksi, pengembangan usaha, maupun pemasaran.
Keterbatasan-keterbatasan itu selama ini menjadi hambatan perajin untuk maju. Perajin gagal terhubung dengan konsumen, juga gagal memberikan produk dengan kualitas terbaik. Akibatnya, justru makelar dan tengkulak yang bisa meraup untung besar. ”Perajinnya tetap susah.
Kami terus beri pendampingan agar mereka siap mengembangkan usaha, menyusun rencana bisnis, termasuk mempertimbangkan faktor rejectpada produk yang mereka hasilkan. Hasil lomba bisa menjadi salah satu referensi bagi mereka,” ucapnya. Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti mengapresiasi kiprah peserta lomba yang mampu membuat karya variatif.
Dua puluh karya batik yang masuk nominasi final dan dipamerkan mampu menampilkan desain yang penuh filosofis. Seluruh karya itu pun mencirikan khas Yogyakarta lantaran hasil pengembangan dari tiga motif, yakni ceplok, semen, dan parang. Menurutnya, batik saat ini sudah menjadi karya yang universal.
Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki ragam batik dengan corak yang berbeda. Namun, setiap daerah tetap didorong agar konsisten mengenakan batik yang menjadi ciri khas daerahnya masingmasing. “Saya akan tetap menjadikan batik terbaik dalam lomba ini sebagai referensi seragam,” pungkasnya.
Jika benar diimplementasikan sebagai seragam Pemkot, tidak mustahil batik ini menjadi ciri khas dan identitas Kota Yogyakarta. Batik juga bisa menjadi kebanggaan daerah sekaligus ajang promosi.
SODIK
Yogyakarta
Strategi Kulonprogo mencari ciri khas daerah melalui batik juga dilakukan Kota Yogyakarta. Mengambil momen ulang tahun Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta ke-68, diselenggarakan lomba batik khas daerah dan digagas Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota. Ada tiga motif batik tradisional khas Yogyakarta yang diusung dalam lomba, yakni ceplok, parang, dan semen.
Aspek orisinalitas, keunikan, dan keindahan, tetapi tidak meninggalkan filosofi batik Keraton Yogyakarta, serta estetika saat diaplikasikan dalam busana seragam menjadi aspek penilaian. Hasilnya terkumpul 468 karya dari 410 peserta yang mendaftarkan diri. Peserta tidak saja berasal dari DIY dan sekitarnya, tetapi juga berasal dari luar pulau, seperti Kalimantan, Bali, Papua.
Dari jumlah itu, diambil 20 desain terbaik yang kemudian diwujudkan dalam bentuk kain batik berukuran 1 x 2 meter dan dipamerkan di Griya UMKM, Jalan Tamansiswa, pada 5–6 Juni. Sayang, hanya 11 desain yang dihasilkan warga Kota Yogyakarta. Sisanya berasal dari wilayah DIY 5 desain dan 4 desain lainnya dari luar DIY.
Dari 20 desain terpilih, dikerucutkan lagi menjadi enam desain terbaik. Tiga terbaik dari enam karya ini nantinya diusulkan menjadi seragam Pemkot Yogyakarta. Keputusan desain mana yang dipilih diserahkan kepada wali kota. Menurut Ketua Dekranasda Kota Yogyakarta Tri Kirana Muslidatun, 20 karya terbaik sengaja dipamerkan kepada publik.
Karya-karya itu dianggap luar biasa karena sanggup merepresentasikan Kota Yogyakarta dengan semangat Segoro Amarto. Selain Pemkot, Dekranasda, dan TP PKK, komunitas mana pun diperbolehkan menggunakan 20 desain yang dipamerkan. Dengan catatan, mengajukan izin terlebih dulu kepada Dekranasda, mengingat seluruh desain telah dipatenkan.
Desain juga bisa menjadi contoh bagi para perajin di kota. Saat ini terdapat 240 perajin yang menggeluti berbagai bidang. Namun, dari jumlah itu separuhnya adalah perajin batik. Dari jumlah itu pula, mayoritas masih membutuhkan pendampingan, baik dalam hal produksi, pengembangan usaha, maupun pemasaran.
Keterbatasan-keterbatasan itu selama ini menjadi hambatan perajin untuk maju. Perajin gagal terhubung dengan konsumen, juga gagal memberikan produk dengan kualitas terbaik. Akibatnya, justru makelar dan tengkulak yang bisa meraup untung besar. ”Perajinnya tetap susah.
Kami terus beri pendampingan agar mereka siap mengembangkan usaha, menyusun rencana bisnis, termasuk mempertimbangkan faktor rejectpada produk yang mereka hasilkan. Hasil lomba bisa menjadi salah satu referensi bagi mereka,” ucapnya. Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti mengapresiasi kiprah peserta lomba yang mampu membuat karya variatif.
Dua puluh karya batik yang masuk nominasi final dan dipamerkan mampu menampilkan desain yang penuh filosofis. Seluruh karya itu pun mencirikan khas Yogyakarta lantaran hasil pengembangan dari tiga motif, yakni ceplok, semen, dan parang. Menurutnya, batik saat ini sudah menjadi karya yang universal.
Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki ragam batik dengan corak yang berbeda. Namun, setiap daerah tetap didorong agar konsisten mengenakan batik yang menjadi ciri khas daerahnya masingmasing. “Saya akan tetap menjadikan batik terbaik dalam lomba ini sebagai referensi seragam,” pungkasnya.
Jika benar diimplementasikan sebagai seragam Pemkot, tidak mustahil batik ini menjadi ciri khas dan identitas Kota Yogyakarta. Batik juga bisa menjadi kebanggaan daerah sekaligus ajang promosi.
SODIK
Yogyakarta
(bbg)