Menjamu Tamu, Semua Makanan Dihidangkan
A
A
A
Seperti halnya Suku Tengger di Gunung Bromo, Jatim, atau Suku Badui di Cibeo, Banten, sampai sekarang sedulur Sikep Samin masih mempertahankan adat istiadat dan budaya dari leluhurnya.
Setelah menempuh 25 kilometer menggunakan ojek dari Stasiun KA Randublatung dengan melewati hutan jati, sampailah Sindonews.com ke pemukiman sedulur Sikep Samin di Dukuh Karangpace, Desa Klopodhuwur, Kecamatan Banjarejo, Blora, Jawa Tengah.
Dari pinggir Jalan Raya Randublatung-Blora yang ditumbuhi hutan jati lebat tak ada tanda-tanda pemukiman warga. Hanya ada gapura bertuliskan Dusun Karangpace, Desa Klopodhuwur, Kecamatan Banjarejo. Suasana jalan tampak sepi.
"Sepagi ini umumnya warga Samin pergi ke ladang atau mengembala sapi dekat hutan," kata Giman, staf Desa Klopodhuwur yang mendampingi Sindonews.com.
Setelah menyusuri jalan paving sekitar 100 meter, baru tampak pemukiman Wong Samin. Hampir seluruh rumah Wong Samin tampak sederhana berbentuk joglo sebagaimana halnya rumah warga Jateng pedesaan. Beratap genting dengan dinding papan jati kasar dengan atap rendah. Sedikit ventilasi hingga ruangan tampak gelap, dan lantai rumah masih berupa tanah.
Termasuk rumah sesepuh Sedulur Sikep Samin Mbah Lasio, (59). Nyaris tidak ada barang berharga di rumah Mbah Lasio. Hanya ada kursi bangku, tidak ada televisi. Rumah pun masih berlantai tanah. Hanya sepeda motor satu-satunya barang berharga yang biasa digunakan Mbah Lasio jika keluar rumah. "Nggih ngeten niki kahanane (Ya, begini ini kondisinya)," akunya polos.
Satu-satunya bangunan mentereng adalah Pendopo Sedulur Sikep yang baru dibangun 2010, hasil sumbangan pihak luar. Letaknya di tengah pemukiman Wong Samin yang berjumlah 62 kk itu. Bentuknya joglo terbuka dengan kerangka kayu jati tua segi empat, berlantai keramik.
Tempat ini dijadikan pusat kegiatan Wong Samin dalam berbagai hal. Mulai rapat, penyuluhan sampai menerima tamu penting. Bangunan itu tampak kontras dengan pemukiman Wong Samin yang sangat sederhana. Umumnya warga Samin adalah petani.
Profesi pedagang mereka hindari, karena berburu laba yang menjurus serakah dan tipu menipu. Makanya, tak ada toko atau warung di pemukiman Wong Samin. Dalam bertani, Wong Samin memanfaatkan areal Perhutani untuk bercocok tanam padi, jagung, ketela, dan mengembala sapi dan kambing.
Tak heran, saat pagi warga berbondong-bondong ke ladang menggiring ternak mereka. Sore hari, mereka kembali ke pemukiman dengan beragam barang bawaan. Yang perempuan, membawa gendongan rumput untuk pakan ternak, ranting kayu untuk memasak. Para laki-lakinya menggiring ternak sapi.
Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, Mbah Lasio sendiri hanya mengolah sawah tak terlalu luas milik Perhutani dan beberapa sapi milik saudaranya dengan sistem gado. "Nek sapine manak baru ono hasil. Yo diparuh. (Kalau sapinya beranak baru ada hasilnya. Dibagi rata)," katanya.
Mbah Lasio tampil apa adanya. Hanya mengenakan celana sedengkul bertelanjang dada saat menerima Sindonews.com. Meski umurnya hampir kepala enam, namun badannya tetap atletis. Sorot matanya tajam. "Wah..kerawuhan sedulur jauh (Wah, kedatangan saudara jauh)," ujarnya ramah seraya mengulurkan tangan. "Wonten menopo? (ada apa?)," tanyanya.
Setelah dijelaskan maksud kedatangan Sindonews.com, Lasio pun manggut-manggut. "Saniki katah tiang sing pingin ngertos Samin (Sekarang banyak orang ingin tahu soal orang Samin)," tambahnya.
Sejak lima tahun terakhir katanya, banyak orang datang ke Klopodhuwur. Mulai mahasiswa, peneliti lokal dan asing, tokoh agama, pejabat. Bahkan ada mahasiswa menginap berhari-hari untuk penulisan skripsi maupun penelitian ilmiah lainnya.
"Kulo nggih remen-remen mawon. Sinten sing takon Samin nggih kulo jelaskan. Nek mboten tangglet nggih mboten kulo jelaskan (Saya ya suka-suka saja. Siapa yang bertanya soal Samin saya jelaskan. Kalau tidak tanya ya..tidak saya jelaskan)," ungkapnya.
Mbah Lasio tidak berlebihan. Di tengah Sindonews.com ngobrol dengan Poso, salah satu tokoh pengikut ajaran Samin, datang serombongan pejabat Blora. Mereka ingin menemui Mbah Lasio untuk mengetahui apa sebenarnya, Sedulur sikep Samin.
Mbah Lasio yang sedang istirahat siang pun terpaksa dibangunkan istrinya. Lebih dari sejam mereka berbicara. ’’Ya..ngobrol saja sama si Mbah (Mbah Lasio). Kita ingin tahu lebih jauh soal Sedulur Sikep. Saya baru bertugas di Blora,’’ ujar Afid, salah satu pejabat Pemkab Blora.
Soal ajaran Samin, Saminisme atau sekarang lebih dikenal Sedulur Sikep intinya kata Mbah Lasio harus berperilaku baik. Terutama soal kejujuran. Ajaran pokok Samin itu antara lain, Aja dengki srei, Tukar padu, Dahpen Kemeren, Aja Kutil Jumput, Mbedong Colong.
Artinya, kurang lebih warga Samin dilarang berhati jahat, berperang mulut atau berkelahi, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik orang atau mencuri. "Jujur, nggak oleh ngapusi (nggak boleh bohong)," ungkap Mbah Lasio. "Kabeh tiang niku sedulur, Makane nggak oleh tukar padu (semua orang itu bersaudara. Makanya, tidak boleh berkelahi," tambahnya.
Warga Samin juga pantang merusak alam. Karena alam tak ubahnya makluk hidup seperti halnya manusia. Maka, alam beserta isinya adalah saudara manusia karena alam merupakan sumber hidup manusia. Dari pepohonan tumbuh makanan, dari batu bisa dijual. Hasilnya, bisa untuk membeli makanan.
Dari pohon dan bambu bisa dibuat kerangka rumah, dari tanah bisa dibuat batu bata. Makanya, kalau menebang satu pohon warga Samin wajib menanam satu pohon yang sama.
Begitu ramah dan hormatnya orang Samin terhadap tamu yang datang ke rumahnya, semua makanan miliknya dikeluarkan. Orang Samin memang bersikap apa adanya, terbuka, dan jujur.
Dalam wawancara di rumah Mbah Lasio, semua makanan disuguhkan istri Mbah Lasio kepada Sindonews.com.
Mula-mula teh hangat, lalu makanan lengkap Wong Samin. Nasi jagung, eseng-eseng tempe, sayur lodeh, dan peyek.
Uniknya, piring, bakul tempat nasi maupun sayur terbuat dari tanah liat atau disebut layah. Begitu juga air minum ditaruh dalam kendi. Semua peralatan itu terbuat dari tanah.
Belum lama usai makan, lalu disajikan buah pisang. Saat wawacara pindah ke pendopo Wong Samin, tak jauh dari rumah Mbah Lasio, makanan terus diantar istri Mbah Lasio. Mula-mula pisang satu cengkeh ditambah kopi hangat.
"Ini keramahan orang Samin. Kalau Anda datang ke setiap orang Samin ya disambut seperti ini. Selalu diajak makan, tidak boleh menolak dan disuruh mencicipi semua hidangan miliknya. Makan yang kenyang, soalnya di sini nggak ada warung," kata Poso, pengikut Samin yang biasa mendampingi Mbah Lasio karena kurang lancar Bahasa Indonesia. (bersambung)
Setelah menempuh 25 kilometer menggunakan ojek dari Stasiun KA Randublatung dengan melewati hutan jati, sampailah Sindonews.com ke pemukiman sedulur Sikep Samin di Dukuh Karangpace, Desa Klopodhuwur, Kecamatan Banjarejo, Blora, Jawa Tengah.
Dari pinggir Jalan Raya Randublatung-Blora yang ditumbuhi hutan jati lebat tak ada tanda-tanda pemukiman warga. Hanya ada gapura bertuliskan Dusun Karangpace, Desa Klopodhuwur, Kecamatan Banjarejo. Suasana jalan tampak sepi.
"Sepagi ini umumnya warga Samin pergi ke ladang atau mengembala sapi dekat hutan," kata Giman, staf Desa Klopodhuwur yang mendampingi Sindonews.com.
Setelah menyusuri jalan paving sekitar 100 meter, baru tampak pemukiman Wong Samin. Hampir seluruh rumah Wong Samin tampak sederhana berbentuk joglo sebagaimana halnya rumah warga Jateng pedesaan. Beratap genting dengan dinding papan jati kasar dengan atap rendah. Sedikit ventilasi hingga ruangan tampak gelap, dan lantai rumah masih berupa tanah.
Termasuk rumah sesepuh Sedulur Sikep Samin Mbah Lasio, (59). Nyaris tidak ada barang berharga di rumah Mbah Lasio. Hanya ada kursi bangku, tidak ada televisi. Rumah pun masih berlantai tanah. Hanya sepeda motor satu-satunya barang berharga yang biasa digunakan Mbah Lasio jika keluar rumah. "Nggih ngeten niki kahanane (Ya, begini ini kondisinya)," akunya polos.
Satu-satunya bangunan mentereng adalah Pendopo Sedulur Sikep yang baru dibangun 2010, hasil sumbangan pihak luar. Letaknya di tengah pemukiman Wong Samin yang berjumlah 62 kk itu. Bentuknya joglo terbuka dengan kerangka kayu jati tua segi empat, berlantai keramik.
Tempat ini dijadikan pusat kegiatan Wong Samin dalam berbagai hal. Mulai rapat, penyuluhan sampai menerima tamu penting. Bangunan itu tampak kontras dengan pemukiman Wong Samin yang sangat sederhana. Umumnya warga Samin adalah petani.
Profesi pedagang mereka hindari, karena berburu laba yang menjurus serakah dan tipu menipu. Makanya, tak ada toko atau warung di pemukiman Wong Samin. Dalam bertani, Wong Samin memanfaatkan areal Perhutani untuk bercocok tanam padi, jagung, ketela, dan mengembala sapi dan kambing.
Tak heran, saat pagi warga berbondong-bondong ke ladang menggiring ternak mereka. Sore hari, mereka kembali ke pemukiman dengan beragam barang bawaan. Yang perempuan, membawa gendongan rumput untuk pakan ternak, ranting kayu untuk memasak. Para laki-lakinya menggiring ternak sapi.
Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, Mbah Lasio sendiri hanya mengolah sawah tak terlalu luas milik Perhutani dan beberapa sapi milik saudaranya dengan sistem gado. "Nek sapine manak baru ono hasil. Yo diparuh. (Kalau sapinya beranak baru ada hasilnya. Dibagi rata)," katanya.
Mbah Lasio tampil apa adanya. Hanya mengenakan celana sedengkul bertelanjang dada saat menerima Sindonews.com. Meski umurnya hampir kepala enam, namun badannya tetap atletis. Sorot matanya tajam. "Wah..kerawuhan sedulur jauh (Wah, kedatangan saudara jauh)," ujarnya ramah seraya mengulurkan tangan. "Wonten menopo? (ada apa?)," tanyanya.
Setelah dijelaskan maksud kedatangan Sindonews.com, Lasio pun manggut-manggut. "Saniki katah tiang sing pingin ngertos Samin (Sekarang banyak orang ingin tahu soal orang Samin)," tambahnya.
Sejak lima tahun terakhir katanya, banyak orang datang ke Klopodhuwur. Mulai mahasiswa, peneliti lokal dan asing, tokoh agama, pejabat. Bahkan ada mahasiswa menginap berhari-hari untuk penulisan skripsi maupun penelitian ilmiah lainnya.
"Kulo nggih remen-remen mawon. Sinten sing takon Samin nggih kulo jelaskan. Nek mboten tangglet nggih mboten kulo jelaskan (Saya ya suka-suka saja. Siapa yang bertanya soal Samin saya jelaskan. Kalau tidak tanya ya..tidak saya jelaskan)," ungkapnya.
Mbah Lasio tidak berlebihan. Di tengah Sindonews.com ngobrol dengan Poso, salah satu tokoh pengikut ajaran Samin, datang serombongan pejabat Blora. Mereka ingin menemui Mbah Lasio untuk mengetahui apa sebenarnya, Sedulur sikep Samin.
Mbah Lasio yang sedang istirahat siang pun terpaksa dibangunkan istrinya. Lebih dari sejam mereka berbicara. ’’Ya..ngobrol saja sama si Mbah (Mbah Lasio). Kita ingin tahu lebih jauh soal Sedulur Sikep. Saya baru bertugas di Blora,’’ ujar Afid, salah satu pejabat Pemkab Blora.
Soal ajaran Samin, Saminisme atau sekarang lebih dikenal Sedulur Sikep intinya kata Mbah Lasio harus berperilaku baik. Terutama soal kejujuran. Ajaran pokok Samin itu antara lain, Aja dengki srei, Tukar padu, Dahpen Kemeren, Aja Kutil Jumput, Mbedong Colong.
Artinya, kurang lebih warga Samin dilarang berhati jahat, berperang mulut atau berkelahi, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik orang atau mencuri. "Jujur, nggak oleh ngapusi (nggak boleh bohong)," ungkap Mbah Lasio. "Kabeh tiang niku sedulur, Makane nggak oleh tukar padu (semua orang itu bersaudara. Makanya, tidak boleh berkelahi," tambahnya.
Warga Samin juga pantang merusak alam. Karena alam tak ubahnya makluk hidup seperti halnya manusia. Maka, alam beserta isinya adalah saudara manusia karena alam merupakan sumber hidup manusia. Dari pepohonan tumbuh makanan, dari batu bisa dijual. Hasilnya, bisa untuk membeli makanan.
Dari pohon dan bambu bisa dibuat kerangka rumah, dari tanah bisa dibuat batu bata. Makanya, kalau menebang satu pohon warga Samin wajib menanam satu pohon yang sama.
Begitu ramah dan hormatnya orang Samin terhadap tamu yang datang ke rumahnya, semua makanan miliknya dikeluarkan. Orang Samin memang bersikap apa adanya, terbuka, dan jujur.
Dalam wawancara di rumah Mbah Lasio, semua makanan disuguhkan istri Mbah Lasio kepada Sindonews.com.
Mula-mula teh hangat, lalu makanan lengkap Wong Samin. Nasi jagung, eseng-eseng tempe, sayur lodeh, dan peyek.
Uniknya, piring, bakul tempat nasi maupun sayur terbuat dari tanah liat atau disebut layah. Begitu juga air minum ditaruh dalam kendi. Semua peralatan itu terbuat dari tanah.
Belum lama usai makan, lalu disajikan buah pisang. Saat wawacara pindah ke pendopo Wong Samin, tak jauh dari rumah Mbah Lasio, makanan terus diantar istri Mbah Lasio. Mula-mula pisang satu cengkeh ditambah kopi hangat.
"Ini keramahan orang Samin. Kalau Anda datang ke setiap orang Samin ya disambut seperti ini. Selalu diajak makan, tidak boleh menolak dan disuruh mencicipi semua hidangan miliknya. Makan yang kenyang, soalnya di sini nggak ada warung," kata Poso, pengikut Samin yang biasa mendampingi Mbah Lasio karena kurang lancar Bahasa Indonesia. (bersambung)
(lis)