Kiprah Pasukan Elite Legiun Mangkunegaran

Senin, 01 Juni 2015 - 05:00 WIB
Kiprah Pasukan Elite...
Kiprah Pasukan Elite Legiun Mangkunegaran
A A A
Legiun Mangkunegaran adalah korps pasukan elite angkatan bersenjata Kadipaten Mangkunegaran yang dibentuk pada zaman Mangkunegara II bertahta.

Legiun yang awalnya berkekuatan 1.150 personel ini dibentuk tahun 1808 sebagai wadah untuk menampung dan membangun kembali kekuatan militer peninggalan pendahulunya Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara I.

Mangkunegara II mengambil inisiatif membentuk pasukan ini ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-36 Herman Willem Daendels datang ke Jawa.

Legiun Mangkunegaran ini dibentuk sebagai pasukan modern pertama di nusantara yang mengadopsi latihan tempur ala pasukan Legionnaire atau Legiun Asing Prancis.

Pasukan mendapat beragam pelatihan dari instruktur Prancis, Inggris dan juga Belanda di sekolah kemiliteran Soldat Sekul.

Satuan elite ini dilatih untuk mahir menggunakan berbagai senjata tajam berupa keris dan pedang.

Pasukan ini pun dituntut untuk piawai menggunakan tombak, sumpit dan panah serta senjata api maupun artileri (meriam).

Legiun Mangkunegaran dibentuk dengan dua macam kepentingan, yaitu merupakan cadangan pasukan yang berguna untuk Tentara Hindia Belanda, dan juga sebagai alat politik yang digunakan untuk menakut – nakuti setiap usaha meniadakan politik pecah belah.

Berkat adanya bantuan keuangan dari Pemerintah Hindia Belanda, Legiun Mangkunegaran mampu bertahan sampai pada masa kekuasaan Mangkunegara VII.

Pasukan ini juga dilatih untuk mempunyai mobilitas tinggi dengan menggunakan kuda. Sehingga unsur infanteri, kavaleri dan artileri tergabung di dalamnya.

Legiun Mangkunegaran juga dilatih untuk mampu menghadapi perang berlarut maupun perang gerilya kala itu.

Hal ini dibuktikan saat pasukan ini bertugas pertama kali dalam Perang Napoleon di Asia sebagai bagian dari pasukan Perancis-Belanda melawan pasukan Inggris-Sepoy (India) tahun 1811.

Ketika itu, kekuatan Legiun Mangkunegara di bawah Pangeran Ario Praboe Prang Wedana memiliki total 1.150 prajurit yang dibagi dalam 800 prajurit infanteri (Fusilier), 100 prajurit penyerbu (Jagers), 200 prajurit kavaleri (berkuda), dan 50 prajurit rijdende artileri (meriam).

Struktur awal staf dan anggota Legiun Mangkunegara memiliki 2 orang perwira senior berpangkat mayor, 4 letnan ajudan, 9 kapitein, 8 letnan tua, 8 letnan muda, bintara sebanyak 32 sersan, tamtama sebanyak 62 kopral, flankier 900 orang, dragonder (dragoon) 200 orang, dan steffel 50 orang.

Mereka menggunakan seragam topi syako dan jas hitam pendek bagi bintara dan prajurit. Perwira memakai topi syako, jas hitam, dan celana putih.

Saat bertugas pertama kali ini, mereka mampu menahan laju pasukan Sepoy (British India) asal Benggala dan Royal Marines saat bertempur di Jatingaleh, Semarang.

Tapi akhirnya pasukan ini harus mengakui keunggulan Pasukan Inggris karena pasukan Prancis-Belanda sebagai kekuatan utama menyerah di wilayah Tuntang, Salatiga.

Kemudian pasukan ini juga berperan aktif dalam pendudukan Kota Yogyakarta pada Januari 1812.

Di mana saat itu Legiun Mangkunegaran yang memback up serdadu Inggris saat menyerbu Kota Yogyakarta mampu menduduki Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sehingga kemudian Sri Sultan Hamengkubuwo (HB) II berhasil diturunkan dari tahtanya dan digantikan HB III. Peristiwa ini dikenang sebagai Geger Sepehi.

Dalam peristiwa tersebut harta benda termasuk koleksi pusaka keraton berhasil diambil. Lalu Sultan Hamengku Bowono (HB) II dibuang ke Penang.

Peperangan terbesar yang pernah diikuti Legiun Mangkunegaran adalah pada saat perang Jawa melawan pasukan Pengeran Diponegoro.

Pasukan ini mampu mengimbangi perlawanan menghadapi laskar yang dipimpin Pangeran Diponegoro.

Legiun Mangkunegaran menjadi penjaga Kota Yogyakarta dan Surakarta dari serangan pasukan Pangeran Diponegoro dan kemudian bisa menghancurkan benteng terakhir Pangeran Diponegoro.

Kiprah pasukan elite ini kembali teruji saat operasi di Aceh di bawah pimpinan KPH Gondosuputra pada tahun 1873.

Atas perintah Mangkunegaran IV sebagai komandan Legiun, maka Mayor KPH Gondosuputra menyiapkan pasukan yang terdiri dari dua kompi dengan jumlah personil 180 orang.

Sebelum berangkat ke medan pertempuran, pasukan ini dilatih secara intensif di tangsi Tanah Putih daerah Semarang dan dibawah pengawasan langsung pelaksana harian Komandan Legiun Mayor KPH Gondosuputro.

Dari hasil latihan tersebut, dia memutuskan bahwa hanya 150 personel yang memenuhi persyaratan untuk diberangkatkan.

Akhirnya dengan dipimpin oleh Kapten KPH Gondosisworo (Adik kandung Mayor KPH Gondosuputro), pasukan tersebut berangkat ke Aceh dengan kapal dari Pelabuhan Semarang pada tanggal 21 November 1873.

Mereka berangkat dari Semarang bersama pasukan lain yang berasal dari Madura dan Pakualaman Yogyakarta.

Pada perang di Aceh ini, Legiun Mangkunegaran mampu memukul mundur pasukan Kesultanan Aceh ke arah perbukitan sehingga Belanda mengumumkan bubarnya kesultanan ini di Banda Aceh.

Atas jasanya memimpin Legiun Mangkunegaran selama Perang Aceh, Raja Belanda menganugerahkan Ridder Kruis (Rider Cross) atau Salib Bangsawan Militaire Willems Orde (MWO) Kelas IV.

Legiun Mangkunegaran juga pernah dilibatkan dalam pengamanan Pulau Bangka selama 6 bulan dari bajak laut yang beroperasi di Selat Bangka.

Pemerintah Belanda juga pernah meminta bantuan Legiun Mangkunegaran untuk memadamkan kerusuhan di Kalimantan pada tahun 1860.

Lalu Kapten GPH Gondosuputra diperintahkan untuk memimpin pasukan ekspedisi yang akan berangkat ke Kalimantan. Namun sebelum pasukan sempat diberangkatkan, kerusuhan sudah berhasil dipadamkan.

Legiun Mangkunegaran juga mengenal pasukan bersenjata yang beranggotakan wanita muda.

Pasukan wanita ini juga terlatih sama seperti pasukan pria. Para perempuan muda ini selain mahir bersenjatakan tombak dan sumpit juga mampu menggunakan senjata api. Selain itu para wanita cantik ini juga piawai berdendang serta memainkan alat musik.

Pasukan wanita ini pun juga selalu turut mengawal Mangkunegara dan juga melayani Mangkunegara dalam hal umum. Seperti membawa cerutu, memberi penyambutan, dan lain-lain.

Legiun Mangkunegaran juga terlibat dalam Perang Dunia II ketika pendudukan Jepang.
Pasukan ini terlibat dalam pertempuran melawan Jepang sebagai pasukan artileri udara, pertahanan udara, maupun garnisiun.

Salah satunya di Pulau Tarakan, Kalimantan Timur; lalu saat menghadang pasukan Dai Nippon di Surakarta; dalam pertempuran di sekitar Jalan Slamet Riyadi, serta pertempuran terakhir sebelum Pulau Jawa jatuh ke tangan militer fasis Jepang di sekitar Pulau Madura, Jawa Timur;

Selain itu mereka juga mampu menahan Jepang di Stelling Ciater-Lembang di Jawa Barat, dan mempertahankan Pelabuhan Cilacap di Jawa Tengah.

Sehingga dengan kiprahnya tersebut saat Jepang berkuasa, Legiun Mangkunegaran dilucuti kekuatan militernya.

Lalu pasukan yang terlatih dengan kurikulum Eropa ini beralih fungsi sebagai abdi dalem penjaga istana Mangkunegaran.

Pasukan ini tidak dapat dikatakan sebagai pahlawan maupun pengkhianat bangsa, karena Legiun bekerja berdasarkan profesionalitasnya.

Yang ditanamkan pada Legiun adalah patuh kepada perintah pimpinan, rasa kesetiakawanan terhadap sesama anggota dan nasionalisme.

Nasionalisme yang dimaksudkan adalah tanah di mana Legiun tersebut berada yaitu Kadipaten Mangkunegaran.

Sumber :
-wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
-mobgenic
-hurahura.wordpress
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0852 seconds (0.1#10.140)