Diproses 2 Hari, Bumbu hanya Bawang Putih-Garam
A
A
A
Bagi masyarakat asal Kaliurang, Sleman, panganan jadah tempe adalah kuliner andalan untuk disajikan warga kepada wisatawan. Namun, ternyata warga di kawasan lereng Merapi tersebut tak hanya mengandalkan jadah tempe.
Mereka juga menyiapkan menu alternatif lainnya untuk disantap atau dimasukkan ke daftar oleh-oleh pilihan. Nama menunya slondok renteng Pak Mul. Makanan atau tepatnya camilan ini sudah mulai dikenal sejak bencana erupsi Merapi 2010. “Sebenarnya slondok renteng ini sudah ada sejak 1960. Produksinya oleh kakek saya. Tapi mulai semakin dikenal akhir 2010 setelah bencana erupsi,” cerita Purwanto, generasi ketiga penerus usaha slondok renteng ini kemarin.
Meski sudah setengah abad umurnya, Purwanto tetap mempertahankan prosedur pembuatan hingga bahanbahannya. Ini demi menjaga agar cita rasanya tetap gurih dan menyehatkan. Bahkan, agar ciri khasnya tetap ada, slondok dijual dengan cara direntengi. Produk ini juga tetap dibungkus plastik. “Jadi kenapa dinamai slondok renteng? Dulu saat jualan kanjarang ada plastik. Jadi kakek menjualnya dengan direnteng memakai ikatan bambu,” ujarnya.
Proses pembuatannya memakan waktu selama dua hari. Bahan baku singkong dibersihkan, dikukus sampai matang, kemudian dimasukkan ke mesin penggilingan. “Singkongnya kami ambil langsung dari petani di Turi. Hanya singkong dan dibumbui dengan bawang putih serta garam. Tak memakai tepung atau tambahan penyedap rasa,” ujar Purwanto. Kemudian, dijemur sampai terlihat agak kering, baru dipelintir sampai membentuk bulatan lingkaran. “Lalu digoreng dan dikemas,” imbuhnya.
Slondok renteng ini dijualnya dengan harga Rp11.000 per bungkus yang berisi 30 renteng. Sementara yang tidak direntengi seharga Rp22.000 per kg. Slondok renteng tidak dijual di toko atau warung. Karena itu, peminatnya wajib datang langsung ke rumahnya di Boyong, RT 01/10, Hargobinangun, Pakem, Sleman, atau sebelum sampai ke tempat pembayaran retribusi (TPR) Kaliurang, masuk ke barat menuju Museum Gunung Merapi. Dari museum itu ambil jalan ke barat sekitar 100 meter. Setelah itu dapat ditanyakan ke warga setempat.
“Kami kewalahan, sudah banyak pesanan. Jadi, biasanya ya mereka ambil langsung ke sini. Baik dari toko oleh-oleh di Yogya ataupun lainnya,” ujarnya. Meski tempatnya sedikit tersembunyi, tak akan rugi bagi mereka yang ingin mencicipi makanan ini. Karena juga dapat melihat dan mencoba secara langsung bagaimana proses pembuatannya.
“Sudah banyak, rombongan wisatawan atau anak sekolah yang ke sini untuk mengetahui proses pembuatannya. Tidak masalah ada yang mengambil resepnya. Tongseng saja dengan bumbu yang sama, tapi pembuatnya berbeda, rasanya juga berbeda,” katanya.
Salah satu penikmatnya, Tono Prihatin, 29, warga asal Sedayu, Bantul, mengatakan, setiap kali berkunjung ke wisata Kaliurang, dia selalu menjajal makanan slondok renteng dan jadah tempe. “Kalau slondok renteng ini paling enak untuk teman makan soto. Biasa bawa pulang karena tahan dua bulan, tidak layu,” ucapnya.
Ridho Hidayat
Sleman
Mereka juga menyiapkan menu alternatif lainnya untuk disantap atau dimasukkan ke daftar oleh-oleh pilihan. Nama menunya slondok renteng Pak Mul. Makanan atau tepatnya camilan ini sudah mulai dikenal sejak bencana erupsi Merapi 2010. “Sebenarnya slondok renteng ini sudah ada sejak 1960. Produksinya oleh kakek saya. Tapi mulai semakin dikenal akhir 2010 setelah bencana erupsi,” cerita Purwanto, generasi ketiga penerus usaha slondok renteng ini kemarin.
Meski sudah setengah abad umurnya, Purwanto tetap mempertahankan prosedur pembuatan hingga bahanbahannya. Ini demi menjaga agar cita rasanya tetap gurih dan menyehatkan. Bahkan, agar ciri khasnya tetap ada, slondok dijual dengan cara direntengi. Produk ini juga tetap dibungkus plastik. “Jadi kenapa dinamai slondok renteng? Dulu saat jualan kanjarang ada plastik. Jadi kakek menjualnya dengan direnteng memakai ikatan bambu,” ujarnya.
Proses pembuatannya memakan waktu selama dua hari. Bahan baku singkong dibersihkan, dikukus sampai matang, kemudian dimasukkan ke mesin penggilingan. “Singkongnya kami ambil langsung dari petani di Turi. Hanya singkong dan dibumbui dengan bawang putih serta garam. Tak memakai tepung atau tambahan penyedap rasa,” ujar Purwanto. Kemudian, dijemur sampai terlihat agak kering, baru dipelintir sampai membentuk bulatan lingkaran. “Lalu digoreng dan dikemas,” imbuhnya.
Slondok renteng ini dijualnya dengan harga Rp11.000 per bungkus yang berisi 30 renteng. Sementara yang tidak direntengi seharga Rp22.000 per kg. Slondok renteng tidak dijual di toko atau warung. Karena itu, peminatnya wajib datang langsung ke rumahnya di Boyong, RT 01/10, Hargobinangun, Pakem, Sleman, atau sebelum sampai ke tempat pembayaran retribusi (TPR) Kaliurang, masuk ke barat menuju Museum Gunung Merapi. Dari museum itu ambil jalan ke barat sekitar 100 meter. Setelah itu dapat ditanyakan ke warga setempat.
“Kami kewalahan, sudah banyak pesanan. Jadi, biasanya ya mereka ambil langsung ke sini. Baik dari toko oleh-oleh di Yogya ataupun lainnya,” ujarnya. Meski tempatnya sedikit tersembunyi, tak akan rugi bagi mereka yang ingin mencicipi makanan ini. Karena juga dapat melihat dan mencoba secara langsung bagaimana proses pembuatannya.
“Sudah banyak, rombongan wisatawan atau anak sekolah yang ke sini untuk mengetahui proses pembuatannya. Tidak masalah ada yang mengambil resepnya. Tongseng saja dengan bumbu yang sama, tapi pembuatnya berbeda, rasanya juga berbeda,” katanya.
Salah satu penikmatnya, Tono Prihatin, 29, warga asal Sedayu, Bantul, mengatakan, setiap kali berkunjung ke wisata Kaliurang, dia selalu menjajal makanan slondok renteng dan jadah tempe. “Kalau slondok renteng ini paling enak untuk teman makan soto. Biasa bawa pulang karena tahan dua bulan, tidak layu,” ucapnya.
Ridho Hidayat
Sleman
(ars)