Pencak Silat dan Budaya Pesantren Saling Mengikat
A
A
A
TAK berlebihan membayangkan sebagian kehidupan para pegiat seni ini seperti perguruan kungfu yang dikembangkan tokoh legendaris China Wong Fei Hung.
Hanya saja, teknik bela diri yang dikembangkan para seniman ini masih mengacu kepada warisan leluhur Tatar Sunda yakni pencak silat. Seperti bentuk seni tradisi ketuk tiluyang menggabungkan unsur penca, bagian teknik bela diri pencak silat dalam kesenian rakyat ini bisa ditemukan dalam pertunjukan jurus silat yang mengiringi pola permainan Barong Sekeloa.
Misal saja, untuk piawai memainkan kepala barong, pemainnya diharuskan menguasai teknik kuda-kuda yang kuat ala pencak silat. Untuk teknik silat sendiri, paguron yang terus mengembangkan kesenian rakyat ini juga memiliki jurus tersendiri bernama jurus totog, dimana kedua jari menjadi tumpuan dalam menaklukkan musuh. Keberadaan kesenian ini juga tak lepas dari budaya pesantren yang melekat dalam diri para pegiatnya. Bahkan pada awal perkembangannya, selepas sembahyang malam atau Isya, para seniman ini juga selalu aktif berlatih silat.
“Dalam kelahiran dan perkembangannya, kesenian Barong Sekeloa tentu tak bisa dipisahkan dari pencak silat dan suguhan Rudat atau Salawatan yang diringi bedug, goong, dan trompet. Namun dalam pertunjukan di tengah masyarakat bisa secara bersama atau terpisah,” kata Tantan Rustandi, Ketua Paguron tersebut.
Biasanya dalam waktu pertunjukan yang cukup panjang, pertunjukan Barong Sekeloa biasanya menjadi fase pembuka untuk mengumpulkan masa dalam menyaksikan rangkaian pertunjukan lainnya seperti Ibing Silat Jurus Totog, Musik Rudat dan atraksi. Dalam pertunjukan, Barong Sekeloa diiringi alat musik atau waditra seperti bedug, empat buah gambreng, goong, terompet, dan simbal.
Meski secara umum kalangan muda lebih menyukai bentuk seni pertunjukan modern, namun regenerasi praktisi kesenian rakyat ini rupanya tetap terjaga. Bahkan hingga kini banyak kalangan muda binaan paguron yang terus memelihara dan mengembangkan seni pertunjukan ini.
“Selain apresiasi dari masyarakat yang besar, kalangan muda juga banyak yang tertarik untuk mengembangkan kesenian ini. Bahkan mereka banyak dilibatkan dalam acara-acara besar seperti HUT KAA, ulang tahun Kota Bandung, dan sebagainya,” ujar Tantan. Keseriusan mereka dalam mengembangkan warisan leluhur juga tak main-main. Beberapa waktu lalu saja pertunjukan barong dan ibing silat, mereka sempat diapresiasi Original Rekor Indonesia Award (ORI).
Sebagai pegiat seni tradisi, Tantan berharap regenerasi tersebut bisa terus berjalan dan berkembang di kemudian hari. Bahkan dia bersama pegiat lainnya berharap kesenian tersebut bisa menjadi ikon Bandung Utara. Pendapat senada juga disampaikan Humas Paguron Panggugah Seni Rudat Buhun- Barong Sekeloa Jajat Sudrajat. Menurutnya, warisan seni leluhur yang ada saat ini diharapkan tak menjadi sekadar warisan cerita di kemudian hari. Bahkan meski zaman terus berkembang, warisan seni itu bisa tetap hidup dan hadir di tengah masyarakat.
“Selain memelihara lewat arsip dan dokumentasi, saya ingin kesenian rakyat yang hadir di pusat Kota Bandung ini tidak terlupakan begitu saja. Bahkan bila memungkinkan bisa sampai dikenal di dunia internasional,” tandasnya.
Heru muthahari
Hanya saja, teknik bela diri yang dikembangkan para seniman ini masih mengacu kepada warisan leluhur Tatar Sunda yakni pencak silat. Seperti bentuk seni tradisi ketuk tiluyang menggabungkan unsur penca, bagian teknik bela diri pencak silat dalam kesenian rakyat ini bisa ditemukan dalam pertunjukan jurus silat yang mengiringi pola permainan Barong Sekeloa.
Misal saja, untuk piawai memainkan kepala barong, pemainnya diharuskan menguasai teknik kuda-kuda yang kuat ala pencak silat. Untuk teknik silat sendiri, paguron yang terus mengembangkan kesenian rakyat ini juga memiliki jurus tersendiri bernama jurus totog, dimana kedua jari menjadi tumpuan dalam menaklukkan musuh. Keberadaan kesenian ini juga tak lepas dari budaya pesantren yang melekat dalam diri para pegiatnya. Bahkan pada awal perkembangannya, selepas sembahyang malam atau Isya, para seniman ini juga selalu aktif berlatih silat.
“Dalam kelahiran dan perkembangannya, kesenian Barong Sekeloa tentu tak bisa dipisahkan dari pencak silat dan suguhan Rudat atau Salawatan yang diringi bedug, goong, dan trompet. Namun dalam pertunjukan di tengah masyarakat bisa secara bersama atau terpisah,” kata Tantan Rustandi, Ketua Paguron tersebut.
Biasanya dalam waktu pertunjukan yang cukup panjang, pertunjukan Barong Sekeloa biasanya menjadi fase pembuka untuk mengumpulkan masa dalam menyaksikan rangkaian pertunjukan lainnya seperti Ibing Silat Jurus Totog, Musik Rudat dan atraksi. Dalam pertunjukan, Barong Sekeloa diiringi alat musik atau waditra seperti bedug, empat buah gambreng, goong, terompet, dan simbal.
Meski secara umum kalangan muda lebih menyukai bentuk seni pertunjukan modern, namun regenerasi praktisi kesenian rakyat ini rupanya tetap terjaga. Bahkan hingga kini banyak kalangan muda binaan paguron yang terus memelihara dan mengembangkan seni pertunjukan ini.
“Selain apresiasi dari masyarakat yang besar, kalangan muda juga banyak yang tertarik untuk mengembangkan kesenian ini. Bahkan mereka banyak dilibatkan dalam acara-acara besar seperti HUT KAA, ulang tahun Kota Bandung, dan sebagainya,” ujar Tantan. Keseriusan mereka dalam mengembangkan warisan leluhur juga tak main-main. Beberapa waktu lalu saja pertunjukan barong dan ibing silat, mereka sempat diapresiasi Original Rekor Indonesia Award (ORI).
Sebagai pegiat seni tradisi, Tantan berharap regenerasi tersebut bisa terus berjalan dan berkembang di kemudian hari. Bahkan dia bersama pegiat lainnya berharap kesenian tersebut bisa menjadi ikon Bandung Utara. Pendapat senada juga disampaikan Humas Paguron Panggugah Seni Rudat Buhun- Barong Sekeloa Jajat Sudrajat. Menurutnya, warisan seni leluhur yang ada saat ini diharapkan tak menjadi sekadar warisan cerita di kemudian hari. Bahkan meski zaman terus berkembang, warisan seni itu bisa tetap hidup dan hadir di tengah masyarakat.
“Selain memelihara lewat arsip dan dokumentasi, saya ingin kesenian rakyat yang hadir di pusat Kota Bandung ini tidak terlupakan begitu saja. Bahkan bila memungkinkan bisa sampai dikenal di dunia internasional,” tandasnya.
Heru muthahari
(ars)