Dampak Corona, Pengelola Mal Hadapi Beban Berat
A
A
A
JAKARTA - Meluasnya penyebaran wabah virus corona (Covid-19) terus menggerogoti sektor ekonomi nasional termasuk pusat perbelanjaan atau mal yang memilih menutup operasional akibat sepinya pengunjung.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, saat ini pengelola mal tengah memikul beban berat.
Akibat sepinya pengunjung banyak tenant yang akhirnya memilih tak beroperasi. Padahal, pengelola mal ini juga dihadapkan pada banyak kewajiban.
Ada biaya operasional, listrik, tenaga kerja, hingga beban pinjaman kepada pihak ketiga.
"Bisnis mal termasuk salah satu sektor yang terkena dampak berat akibat pandemi Covid-19. Apalagi jika mereka punya kewajiban dalam bentuk dolar AS yang kini juga sedang tinggi nilai tukarnya terhadap rupiah," ujar Tauhid di Jakarta, kemarin.
Pekan ini nilai tukar rupiah berada di level Rp16.638 per dolar AS. Bank Indonesia membuat skenario terburuk jika kondisi pandemi corona memburuk, nilai tukar rupiah bisa menyentuh level Rp20.000 per dolar AS.
Dengan situasi yang sulit itu Tauhid menilai permintaan sejumlah tenant agar diberikan kebebasan sewa dan service charge menjadi sulit diterima. Alasannya, pengelola mal sendiri menghadapi kondisi yang tak kalah berat dibandingkan para tenant.
"Membebaskan tenant dari biaya sewa dan service charge kepada pengelola mal bukan cara tepat. Pengelola mal tentu punya pertimbangan untuk mengambil keputusan. Situasi ini mestinya bisa dipikul bersama," jelasnya.
Menurut Tauhid, dalam situasi seperti sekarang ini ada baiknya pemerintah juga ikut meringankan beban pengelola mal beserta tenant mereka. Misalnya Kementerian Perdagangan bekerja sama dengan perbankan memberikan insentif berupa restrukturisasi kredit atau pinjaman murah.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, saat ini pengelola mal tengah memikul beban berat.
Akibat sepinya pengunjung banyak tenant yang akhirnya memilih tak beroperasi. Padahal, pengelola mal ini juga dihadapkan pada banyak kewajiban.
Ada biaya operasional, listrik, tenaga kerja, hingga beban pinjaman kepada pihak ketiga.
"Bisnis mal termasuk salah satu sektor yang terkena dampak berat akibat pandemi Covid-19. Apalagi jika mereka punya kewajiban dalam bentuk dolar AS yang kini juga sedang tinggi nilai tukarnya terhadap rupiah," ujar Tauhid di Jakarta, kemarin.
Pekan ini nilai tukar rupiah berada di level Rp16.638 per dolar AS. Bank Indonesia membuat skenario terburuk jika kondisi pandemi corona memburuk, nilai tukar rupiah bisa menyentuh level Rp20.000 per dolar AS.
Dengan situasi yang sulit itu Tauhid menilai permintaan sejumlah tenant agar diberikan kebebasan sewa dan service charge menjadi sulit diterima. Alasannya, pengelola mal sendiri menghadapi kondisi yang tak kalah berat dibandingkan para tenant.
"Membebaskan tenant dari biaya sewa dan service charge kepada pengelola mal bukan cara tepat. Pengelola mal tentu punya pertimbangan untuk mengambil keputusan. Situasi ini mestinya bisa dipikul bersama," jelasnya.
Menurut Tauhid, dalam situasi seperti sekarang ini ada baiknya pemerintah juga ikut meringankan beban pengelola mal beserta tenant mereka. Misalnya Kementerian Perdagangan bekerja sama dengan perbankan memberikan insentif berupa restrukturisasi kredit atau pinjaman murah.
(boy)