Penanganan Corona di Surabaya Dikritik Wakil Ketua DPRD
A
A
A
SURABAYA - Wakil Ketua DPRD Surabaya Laila Mufida menilai Pemkot Surabaya tidak punya konsep penanganan Covid-19 yang terukur dan teruji. Bahkan, politisi asal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menduga kebijakan Pemkot Surabaya, sejauh ini hanya terkesan pencitraan demi kepentingan politik saja.
"Seperti soal tes coronavirus (covid-19). Saat konferensi pers bilang gratis-gratis, ternyata ada syarat dan ketentuan berlaku yang sengaja disembunyikan. Akhirnya banyak masyarakat kecewa karena harus bayar," ujar Mufidah, Selasa (7/4/2020)
Belum lagi soal pengadaan peralatan pencegahan virus Corona yang pada praktiknya di lapangan tak sesuai harapan. Diantaranya terkait bilik disinfektan atau soal penyemprotan cairan dengan drone. Pihaknya sebenarnya ingin menanyakan langsung hal ini ke Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini.
Wali kota sempat menggelar pertemuan virtual dengan anggota DPRD, namun ternyata, kata dia, sifatnya hanya seremonial saja. "Ternyata pertemuan itu hanya mendengarkan informasi dari wali kota. Bukan forum untuk pengambilan keputusan berdasarkan pembahasan bersama," kata Mufidah.
Anggota DPRD Surabaya, yang juga sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar, Arif Fatoni menyebut, pertemuan virtual dengan wali kota itu menunjukkan bahwa Pemkot Surabaya sebenarnya memang tak memiliki roadmap yang jelas dan terukur. "Banyak kebijakan Pemkot Surabaya dalam penanganan Covid-19 ini yang masih overlap," ujar pria yang juga berlatar belakang jurnalis itu.
Seperti kritikan banyak masyarakat, Fatoni juga menyoroti soal pengadaan bilik disinfeksi. Pengadaan alat itu, menurutnya tanpa koordinasi. "Tiba-tiba dibuat, lalu rilis ke media-media. Ternyata kan hasilnya banyak dikritik masyarakat dan para ahli, Mulai efektivitasnya sampai penggunaan bahannya. Bahkan ada pelarangan dari Kemenkes. Kalau seperti itu kan pemborosan uang rakyat," katanya..
Selain itu soal pengadaan alat pelindung diri (APD), dia menilai Pemkot melakukan pengadaan ternyata batas penyelesaiannya satu bulan, yang sampai saat ini belum selesai. Padahal daerah lain dan perorangan ada yang bisa melakukan pengadaan dalam waktu satu minggu.
"Belum lagi soal koordinasi lintas instansi. Kita tahu buruk sekali koordinasi antara Pemkot dan Pemprov Jatim. Pemkot Surabaya, seolah berupaya melakukan overlap terhadap apa yang jadi tugas pemprov," kata Fatoni.
Pihaknya menuding ketidakjelasan roadmap dan mapping yang dilakukan Pemkot ini menyebabkan tingginya angka positif Covid-19 di Surabaya. "Janganlah kebijakan penanganan Covid-19 ini hanya pencitraan untuk menaikkan elektabilitas seseorang di eksekutif yang digadang-gadang maju sebagai bakal calon wali kota," pungkasnya.
"Seperti soal tes coronavirus (covid-19). Saat konferensi pers bilang gratis-gratis, ternyata ada syarat dan ketentuan berlaku yang sengaja disembunyikan. Akhirnya banyak masyarakat kecewa karena harus bayar," ujar Mufidah, Selasa (7/4/2020)
Belum lagi soal pengadaan peralatan pencegahan virus Corona yang pada praktiknya di lapangan tak sesuai harapan. Diantaranya terkait bilik disinfektan atau soal penyemprotan cairan dengan drone. Pihaknya sebenarnya ingin menanyakan langsung hal ini ke Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini.
Wali kota sempat menggelar pertemuan virtual dengan anggota DPRD, namun ternyata, kata dia, sifatnya hanya seremonial saja. "Ternyata pertemuan itu hanya mendengarkan informasi dari wali kota. Bukan forum untuk pengambilan keputusan berdasarkan pembahasan bersama," kata Mufidah.
Anggota DPRD Surabaya, yang juga sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar, Arif Fatoni menyebut, pertemuan virtual dengan wali kota itu menunjukkan bahwa Pemkot Surabaya sebenarnya memang tak memiliki roadmap yang jelas dan terukur. "Banyak kebijakan Pemkot Surabaya dalam penanganan Covid-19 ini yang masih overlap," ujar pria yang juga berlatar belakang jurnalis itu.
Seperti kritikan banyak masyarakat, Fatoni juga menyoroti soal pengadaan bilik disinfeksi. Pengadaan alat itu, menurutnya tanpa koordinasi. "Tiba-tiba dibuat, lalu rilis ke media-media. Ternyata kan hasilnya banyak dikritik masyarakat dan para ahli, Mulai efektivitasnya sampai penggunaan bahannya. Bahkan ada pelarangan dari Kemenkes. Kalau seperti itu kan pemborosan uang rakyat," katanya..
Selain itu soal pengadaan alat pelindung diri (APD), dia menilai Pemkot melakukan pengadaan ternyata batas penyelesaiannya satu bulan, yang sampai saat ini belum selesai. Padahal daerah lain dan perorangan ada yang bisa melakukan pengadaan dalam waktu satu minggu.
"Belum lagi soal koordinasi lintas instansi. Kita tahu buruk sekali koordinasi antara Pemkot dan Pemprov Jatim. Pemkot Surabaya, seolah berupaya melakukan overlap terhadap apa yang jadi tugas pemprov," kata Fatoni.
Pihaknya menuding ketidakjelasan roadmap dan mapping yang dilakukan Pemkot ini menyebabkan tingginya angka positif Covid-19 di Surabaya. "Janganlah kebijakan penanganan Covid-19 ini hanya pencitraan untuk menaikkan elektabilitas seseorang di eksekutif yang digadang-gadang maju sebagai bakal calon wali kota," pungkasnya.
(eyt)