An Najah, Potret Pondok Pesantren Dorong Kemandirian Ekonomi Santri
A
A
A
BANYUMAS - Matahari belum beranjak tinggi, namun seperti biasa, setiap pagi di Pondok Pesantren An Najah yang berada di Desa Kutasari, Kecamatan Baturaden, Kabupaten Banyumas ini, para santrinya sudah melakukan aktivitas rutin di depan pondok. Ada yang menghafal Alquran di teras asrama, ada yang menyapu halaman, atau sekedar duduk-duduk saja.
Letak Pondok Pesantren An Najah ini memang cukup unik karena menyatu dengan rumah-rumah masyarakat sekitar. Ada sembilan bangunan asrama di sini, dua bangunan untuk asrama laki-laki dan tujuh bangunan untuk asrama perempuan.
Menurut Alip Mubarok, Kepala Tata Usaha Pondok Pesantren An Najah, konsep bangunan menyatu dengan masyarakat sebagai wujud sosialisasi yang dibangun sejak belajar di pondok. "Ini merupakan bentuk pondok kami mengajarkan kepada santri agar bisa berbaur dengan masyarakat sejak mereka nyantri di sini. Harapannya agar saat nanti lulus pondok mereka bisa kembali dan berguna di masyarakat," ujar Alip.
Pondok pesantren ini memiliki 250 santriwati dan 70 santri. Mayoritas mereka merupakan mahasiswa yang belajar di berbagai perguruan tinggi di Purwokerto, utamanya Institut Agama Islam Negeri (IAIN ) Purwokerto. Pimpinan Pondok Pesantren An Najah, KH Mohamad Roqib adalah Rektor perguruan tinggi tersebut.
Sebagai salah satu pondok pesantren yang ditunjuk sebagai mitra Bank Indonesia Perwakilan Purwokerto, Pondok Pesantren An Najah mengembangkan usaha ternak lele di lahan sekitar pondok. Bantuan ternak lele dari Bank Indonesia sebanyak 15.000 ekor bibit dipelihara melalui sistem kolam bioflok, kolam buatan yang menggunakan plastik terpal. Untuk membuat satu kolam dibutuhkan biaya Rp1,5 juta. Ada sebanyak 12 kolam lele bioflok di Ponpes An Najah ini.
Untuk mencapai kemandirian ekonomi pesantren sebagaimana tujuan kemitraan, para santri sadar bahwa mereka harus pandai membagi waktu antara kuliah, mengaji, dan mengelola ternak lele. Setiap hari, satri laki-laki maupun perempuan mendapat jadwal piket memelihara lele.
Menurut Nurul Hikmatul Aziz, kepala pengelolaan ternak lele Ponpes An Najah mengatakan, dirinya harus mampu mengembangkan usaha ternak lele agar bisa meningkatkan perekonomian pesantren, tempatnya belajar agama.
"Bank Indonesia memberi dana hibah untuk pengembangan pesantren berupa lele, dan kami kelola agar pesantren bisa mandiri secara ekonomi. Rencananya setelah panen ini akan dikelola kembali karena akan ada bantuan lagi untuk budidaya selanjutnya," ujar Aziz.
Hal senada juga dikemukakan Yuyun Yuniar Kartika, santri perempuan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan ternak lele. Ia diberi kewenangan agar bantuan bisa dikembangkan untuk kemandirian ekonomi pesantren yang diharapkan bisa mendukung perekonomian daerah.
"Agar ternak ini berkembang dan bisa meningkatkan kemandirian ekonomi santri dan lingkungan masyarakat, kami kelola dengan sistem penjadwalan karena kami juga harus mengaji dan kuliah,” tutur Yuyun.
Selain ikan lele, Ponpes An Najah juga menerima bantuan ayam 500 ekor ayam arab pedaging dan petelor. Bantuan ini diberikan oleh Balai Pembibitan Ternak Unggul Sembawa, Sumatera Selatan melalui dinas terkait di Kabupaten Banyumas. Bantuan yang diberikan Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sembawa merupakan program dari Kementrian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan bagi kelompok santri milenial.
"Kelompok santri tani milenial merupakan program Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan yang tujuannya mendorong dan mengembangkan ternak ayam lokal melalui adik-adik kita di pondok pesantren. Dengan diberikannya kesempatan ini diharapkan memberikan proses pembelajaran di bidang peternakan bagi anak-anak dan membuka lapangan kerja bagi mereka di masa mendatang," Ujar Bagong.
Tak hanya sektor peternakan, para santri juga membudidayakan berbagai jenis tanaman anggrek. Di lahan yang berada cukup jauh dari ponpes, santri perempuan diberi tugas merawat tanaman setiap hari. Kegiatan mengaji berjalan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan pengasuh ponpes. Setiap hari mereka belajar antara lain mengenai Tahsin Qiroah, Kajian Kitab Kuning tentang Fiqh maupun tafsir dan hadis.
Di sisi lain, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto, Agus Chusaini berharap pesantren bisa menjadi pusat penggerak ekonomi di daerah dan masyarakat di sekitarnya.
"Memang benar bahwa Bangsa Indonesia ini punya program kemandirian ekonomi pesantren. Bank Indonesia sebagai akselerator dan inisiator dalam pengembangan kemandirian ekonomi pesantren berharap pesantren bisa sebagai pusat penggerak ekonomi di daerah, yang tidak hanya hidup bagi dirinya sendiri, tetapi dia juga bisa menggerakkan masyarakat di sekitar," katanya.
Menurutnya, potensi pesantren memang luar biasa. Dari data pemerintahan pada 2015 sudah ada hampir 20.000 pesantren. Di Jawa Tengah ada sebanyak 4.600 ponpes dan di Banyumas ada 463 ponpes. Apabila potensi ini dikembangkan menjadi pusat ekonomi di daerah masing-masing, maka pesantren mampu menjadi penggerak ekonomi nasional.
"Bank Indonesia berharap ke depan pesantren tidak hanya sebagai dunia pendidikan tapi juga sebagai tempat untuk mendidik santri nantinya sebagai wirausahawan baru untuk mendorong perekonomian," kata Agus Chusaini.
Menurut dosen ekonomi syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Abdul Aziz Ahmad, ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam model pendidikan pesantren. Saat ini masih banyak pesantren yang menganut pola konvensional. Jika kurikulum wirausaha terwujud, maka manfaat ekonomi riil pesantren akan bisa sesuai dengan cita-cita pemerintah.
"Bagaimana mendorong ekonomi pesantren itu menjadi lebih baik dan maju itu ada yang perlu diupayakan. Kalau dari sisi sistem pengajaran memang ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Dalam model pesantren kita kebanyakan di Banyumas ini masih menganut pola model pesantren yang konvensional, dalam arti kalau dari sisi kurikulum itu perlu dibandingkan dengan model kurikulum pembelajaran tentang kewirausahaan. Di pesantren sekiranya pola kurikulum itu menjadi bagian integral dalam pesantren, maka cita-cita dari pemerintah untuk mewujudkan pesantren yang memberikan manfaat ekonomi bisa terwujud," ujar Abdul Aziz.
Program kemandirian pesantren yang ditempuh didasari oleh kekuatan pesantren sebagai basis arus ekonomi. Pesantren memiliki jumlah dan ikatan komunitas yang kuat sehingga memiliki potensi sebagai sumber permintaan dan produksi berbagai kegiatan ekonomi.
Daya juang pesantren yang tinggi, berpotensi besar apabila dikombinasikan dengan kemampuan kewirausahaan dan konsep pemberdayaan ekonomi pesantren sebagai bagian dari ibadah. Dengan kekuatan tersebut, kunci kemandirian pesantren adalah pada pendirian unit usaha dan komunikasi bisnis antarpesantren untuk pemenuhan kebutuhan dan pembinaan, khususnya dari pesantren yang maju kepada yang sedang berkembang, sebagaimana terwujud dalam program kemandirian yang dijalankan.
Letak Pondok Pesantren An Najah ini memang cukup unik karena menyatu dengan rumah-rumah masyarakat sekitar. Ada sembilan bangunan asrama di sini, dua bangunan untuk asrama laki-laki dan tujuh bangunan untuk asrama perempuan.
Menurut Alip Mubarok, Kepala Tata Usaha Pondok Pesantren An Najah, konsep bangunan menyatu dengan masyarakat sebagai wujud sosialisasi yang dibangun sejak belajar di pondok. "Ini merupakan bentuk pondok kami mengajarkan kepada santri agar bisa berbaur dengan masyarakat sejak mereka nyantri di sini. Harapannya agar saat nanti lulus pondok mereka bisa kembali dan berguna di masyarakat," ujar Alip.
Pondok pesantren ini memiliki 250 santriwati dan 70 santri. Mayoritas mereka merupakan mahasiswa yang belajar di berbagai perguruan tinggi di Purwokerto, utamanya Institut Agama Islam Negeri (IAIN ) Purwokerto. Pimpinan Pondok Pesantren An Najah, KH Mohamad Roqib adalah Rektor perguruan tinggi tersebut.
Sebagai salah satu pondok pesantren yang ditunjuk sebagai mitra Bank Indonesia Perwakilan Purwokerto, Pondok Pesantren An Najah mengembangkan usaha ternak lele di lahan sekitar pondok. Bantuan ternak lele dari Bank Indonesia sebanyak 15.000 ekor bibit dipelihara melalui sistem kolam bioflok, kolam buatan yang menggunakan plastik terpal. Untuk membuat satu kolam dibutuhkan biaya Rp1,5 juta. Ada sebanyak 12 kolam lele bioflok di Ponpes An Najah ini.
Untuk mencapai kemandirian ekonomi pesantren sebagaimana tujuan kemitraan, para santri sadar bahwa mereka harus pandai membagi waktu antara kuliah, mengaji, dan mengelola ternak lele. Setiap hari, satri laki-laki maupun perempuan mendapat jadwal piket memelihara lele.
Menurut Nurul Hikmatul Aziz, kepala pengelolaan ternak lele Ponpes An Najah mengatakan, dirinya harus mampu mengembangkan usaha ternak lele agar bisa meningkatkan perekonomian pesantren, tempatnya belajar agama.
"Bank Indonesia memberi dana hibah untuk pengembangan pesantren berupa lele, dan kami kelola agar pesantren bisa mandiri secara ekonomi. Rencananya setelah panen ini akan dikelola kembali karena akan ada bantuan lagi untuk budidaya selanjutnya," ujar Aziz.
Hal senada juga dikemukakan Yuyun Yuniar Kartika, santri perempuan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan ternak lele. Ia diberi kewenangan agar bantuan bisa dikembangkan untuk kemandirian ekonomi pesantren yang diharapkan bisa mendukung perekonomian daerah.
"Agar ternak ini berkembang dan bisa meningkatkan kemandirian ekonomi santri dan lingkungan masyarakat, kami kelola dengan sistem penjadwalan karena kami juga harus mengaji dan kuliah,” tutur Yuyun.
Selain ikan lele, Ponpes An Najah juga menerima bantuan ayam 500 ekor ayam arab pedaging dan petelor. Bantuan ini diberikan oleh Balai Pembibitan Ternak Unggul Sembawa, Sumatera Selatan melalui dinas terkait di Kabupaten Banyumas. Bantuan yang diberikan Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sembawa merupakan program dari Kementrian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan bagi kelompok santri milenial.
"Kelompok santri tani milenial merupakan program Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan yang tujuannya mendorong dan mengembangkan ternak ayam lokal melalui adik-adik kita di pondok pesantren. Dengan diberikannya kesempatan ini diharapkan memberikan proses pembelajaran di bidang peternakan bagi anak-anak dan membuka lapangan kerja bagi mereka di masa mendatang," Ujar Bagong.
Tak hanya sektor peternakan, para santri juga membudidayakan berbagai jenis tanaman anggrek. Di lahan yang berada cukup jauh dari ponpes, santri perempuan diberi tugas merawat tanaman setiap hari. Kegiatan mengaji berjalan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan pengasuh ponpes. Setiap hari mereka belajar antara lain mengenai Tahsin Qiroah, Kajian Kitab Kuning tentang Fiqh maupun tafsir dan hadis.
Di sisi lain, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto, Agus Chusaini berharap pesantren bisa menjadi pusat penggerak ekonomi di daerah dan masyarakat di sekitarnya.
"Memang benar bahwa Bangsa Indonesia ini punya program kemandirian ekonomi pesantren. Bank Indonesia sebagai akselerator dan inisiator dalam pengembangan kemandirian ekonomi pesantren berharap pesantren bisa sebagai pusat penggerak ekonomi di daerah, yang tidak hanya hidup bagi dirinya sendiri, tetapi dia juga bisa menggerakkan masyarakat di sekitar," katanya.
Menurutnya, potensi pesantren memang luar biasa. Dari data pemerintahan pada 2015 sudah ada hampir 20.000 pesantren. Di Jawa Tengah ada sebanyak 4.600 ponpes dan di Banyumas ada 463 ponpes. Apabila potensi ini dikembangkan menjadi pusat ekonomi di daerah masing-masing, maka pesantren mampu menjadi penggerak ekonomi nasional.
"Bank Indonesia berharap ke depan pesantren tidak hanya sebagai dunia pendidikan tapi juga sebagai tempat untuk mendidik santri nantinya sebagai wirausahawan baru untuk mendorong perekonomian," kata Agus Chusaini.
Menurut dosen ekonomi syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Abdul Aziz Ahmad, ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam model pendidikan pesantren. Saat ini masih banyak pesantren yang menganut pola konvensional. Jika kurikulum wirausaha terwujud, maka manfaat ekonomi riil pesantren akan bisa sesuai dengan cita-cita pemerintah.
"Bagaimana mendorong ekonomi pesantren itu menjadi lebih baik dan maju itu ada yang perlu diupayakan. Kalau dari sisi sistem pengajaran memang ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Dalam model pesantren kita kebanyakan di Banyumas ini masih menganut pola model pesantren yang konvensional, dalam arti kalau dari sisi kurikulum itu perlu dibandingkan dengan model kurikulum pembelajaran tentang kewirausahaan. Di pesantren sekiranya pola kurikulum itu menjadi bagian integral dalam pesantren, maka cita-cita dari pemerintah untuk mewujudkan pesantren yang memberikan manfaat ekonomi bisa terwujud," ujar Abdul Aziz.
Program kemandirian pesantren yang ditempuh didasari oleh kekuatan pesantren sebagai basis arus ekonomi. Pesantren memiliki jumlah dan ikatan komunitas yang kuat sehingga memiliki potensi sebagai sumber permintaan dan produksi berbagai kegiatan ekonomi.
Daya juang pesantren yang tinggi, berpotensi besar apabila dikombinasikan dengan kemampuan kewirausahaan dan konsep pemberdayaan ekonomi pesantren sebagai bagian dari ibadah. Dengan kekuatan tersebut, kunci kemandirian pesantren adalah pada pendirian unit usaha dan komunikasi bisnis antarpesantren untuk pemenuhan kebutuhan dan pembinaan, khususnya dari pesantren yang maju kepada yang sedang berkembang, sebagaimana terwujud dalam program kemandirian yang dijalankan.
(amm)