Batu-batu Misteri di Lereng Gunung Lawu

Kamis, 29 Mei 2014 - 01:30 WIB
Batu-batu Misteri di Lereng Gunung Lawu
Batu-batu Misteri di Lereng Gunung Lawu
A A A
GUNUNG Lawu sejak zaman dulu dipercaya sebagai sumber dari semua kebudayaan. Juga diyakini masyarakat Jawa sebagai sumber atau pusat kekuatan gaib yang melindungi atau memayungi peradapan manusia.

Terkait peradapan manusia di seputar Gunung Lawu, banyak ditemukan fosil ataupun peninggalan dari zaman purba. Baik fosil manusia purba, binatang purba, bahkan tempat pemujaan zaman megalithikum atau zaman batu purba di Sangiran. Kesemuanya berada di sekitar Gunung Lawu, baik itu lembah, lereng, maupun puncaknya.

Salah satu di antaranya adalah Situs Watu Kandang. Situs peninggalan zaman megalithikum, yang terletak di sekitar areal persawahan, di Desa Ngasinan, Karangbangun, Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah, ini terdapat banyak bebatuan.

Batu-batu itu seperti disusun rapi, berdiri membentuk lingkaran dan juga kotak yang mirip dengan kandang. Maka dari itu situs ini dinamakan Situs Watu Kandang.

Menurut catatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah, seperti terdapat dalam papan informasi yang dipasang di lokasi, batu di lokasi tersebut berorentasi pada puncak bukit dan gunung yang berada di sebelah timur, yakni Bukit Bangun, Malang dan Gunung Lawu.

Pada masa perundagian, terdapat kepercayaan bahwa di puncak gunung merupakan dunia arwah. Di Situs Watu Kandang terdapat peninggalan purbakala, antara lain Menhir (Tugu Batu) yang besar dan berdiri tegak seperti tugu.

Lokasi tersebut konon dulunya merupakan tempat suci, dan sebagai tempat pemujaan roh-roh nenek moyang. Kemudian Dolmen (Meja Batu), batu berbentuk seperti meja dan letaknya persis di tengah batu-batu yang di susun memutar.

Diperkirakan, batu itu digunakan sebagai tempat meletakkan sesaji kepada roh nenek moyangnya. Serta, ada juga Lumpang batu (tempat menumbuk padi). Bentuknya besar dan melebar, di bagian tengahnya cekung dan dalam. Batu ini biasa digunakan untuk menumbuk padi.

Selain itu, ada batu Watu Dakon (lambang kesuburan), di tengah batu ini ada lubang seperti dakon (mainan anak-anak khas Jawa). Bahkan ada cap kaki (tapak batu), yaitu Tapak Bima (werkudoro).

Batu selanjutnya adalah Punden Berundak yang berdiri condong, sehingga seperti punden berundak yang biasanya disembah sebagai nenek moyang warga sekitar.

Kepala Desa Karangbangun Sukarno menerangkan, sebelum Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah mengadakan penelitian dan menyatakan tempat tersebut sebagai cagar budaya, masyarakat sering mengambil batu di lokasi yang merupakan areal persawahan.

Mereka beranggapan itu adalah batu gunung biasa. "Karena belum ada pemberitahuan dari pemerintah, warga banyak yang menggunakan batu di lokasi tersebut sebagai sebagai bahan bangunan rumah. Terlebih lagi batuan tersebut menyebar di area persawahan milik warga," jelasnya, kepada wartawan, Rabu (28/5/2014).

Namun setelah ada penjelasan dari pihak terkait, warga jadi tahu batu itu peninggalan zaman purbakala. Mereka tidak berani lagi mengambil, atau memindahkannya, meski batuan tersebut terletak di tanah pribadi milik warga.

"Biasanya pengunjung yang datang ke situs ini kebanyakan warga negara asing. Kalau orang lokal justru sedikit," terangnya.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6179 seconds (0.1#10.140)