Resolusi Jihad, bentuk komitmen Ulama atas NKRI

Jum'at, 08 November 2013 - 06:02 WIB
Resolusi Jihad, bentuk komitmen Ulama atas NKRI
Resolusi Jihad, bentuk komitmen Ulama atas NKRI
A A A
Sindonews.com - Kobaran semangat pertempuran 10 November 1945 tak lepas dari fatwa Resolusi Jihad yang digulirkan oleh Pendiri NU, Hadrotusy Syekh KH Hasyim 'Asy'ari. Akibat, fatwa tersebut, semangat masyarakat terbakar untuk mempertahankan kemerdekaan RI hingga titik darah penghabisan.

Salah satu butir Resolusi Jihad adalah mewajibkan bagi umat Islam terutama Nahdhotul Ulama (NU) untuk mengangkat senjata melawan penjajahan Belanda dan sekutunya yang ingin berkuasa kembali di Indonesia. Kewajiban ini merupakan perang suci (Jihad).

Kewajiban ini berlaku bagi setiap muslim yang tinggal di radius 94 kilometer. Sedangkan mereka yang berada di luar radius tersebut harus membantu dalam bentuk material bagi mereka yang berjuang.

Kontan saja, fatwa sang kiai ini memantik semangat hingga akhirnya terjadi pertempuran di berbagai titik di Surabaya. Bahkan sejarah mencatat, perang pada tanggal 10 November itu diperkirakan menjadi perang paling besar dalam sejarah di dunia. Setidaknya, 160 ribu pejuang Indonesia gugur dalam pertempuran tersebut.

Sejarahwan Universitas Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Sam Abede Pareno, mengatakan perang 10 November lebih besar dari pertempuran Normandia dalam operasi Copras antara Pasukan Hitler melawan sekutu pada tahun 1944.

Korban berjatuhan lantaran pertempuran yang tidak seimbang. Sebagian besar pejuang hanya bermodalkan senjata seadanya, seperti bambu runcing. Sementara tentara sekutu dan NICA menggunakan senjata taktis lengkap.

Lantas apa alasan para Ulama begitu mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia, hingga KH Hasyim 'Asy'ari bersedia mengeluarkan fatwa resolusi jihad tersebut.

Pengasuh Ponpes Tebuireng, Jombang, KH Salahuddin Wahid, mengatakan munculnya fatwa ini sebagai bentuk kepekaan ulama terhadap ancaman yang akan mendera bangsa Indonesia.

Bagaimana tidak, kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 diperoleh dengan darah pejuang para pahlawan akan dikuasai kembali. Ketika itu Indonesia baru baru empat bulan merdeka, tetapi dengan seenaknya NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) dan sekutu berniat ingin berkuasa kembali.

Cucu Hadratus Syech KH Hasyim Asy'ary ini mengatakan, sangat beralasan jika Ulama juga berjuang mati-matian mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena ulama memiliki peran besar dalam pendirian negara ini. Buktinya adalah konsep Pancasila yang dicetuskan oleh salah satu ulama NU, KH Ahmad Shiddiq, asal Jember.

"Hubungan NU dan Pancasila sebagai dasar negara sudah final. Karena konsep Pancasila ini dicetuskan oleh KH Ahmad Shidiq dalam sebuah dokumen yang kemudian ditetapkan dalam Muktamar NU tahun 1984," kata Gus Solah dalam seminar Resolusi Jihad di Gedung Juang, Surabaya belum lama ini.

Saat ini, komitmen terhadap NKRI telah terciderai dengan karut-marutnya sistem tata negara Indonesia. Penyebabnya adalah hasil amandemen Undang-undang yang tidak sesuai dengan harapan rakyat Indonesia. Meski demikian, Gus Solah menyebut jika tidak semua amandemen UUD 45 itu jelek.

"Tapi saya kurang setuju jika MPR seperti sekarang dan otonomi daerah sebaiknya cukup di tingkat provinsi, dan pemilukada langsung cukup di tingkat provinsi supaya kemudharatan bisa dikurangi," kata Gus Solah merinci beberapa amandemen UUD yang terjadi saat ini.

Semangat Resolusi Jihad dan Hari Pahlawan seharusnya dijadikan cambuk untuk memperbaiki negara ini. Ulama yang bertugas dalam urusan Agama saja rela berbuat sesuatu untuk NKRI sebagai negara yang merdeka lepas dari penjajahan.

Wakil Ketua PBNU, Dr H Asad Said Ali, menambahkan dinamika politik yang terjadi saat ini, sudah keluar dari relnya. Bahkan, persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini cukup kompleks.

Jika dulu persoalannya adalah melawan penjajahan secara rill yakni Belanda dan Jepang. Sekarang persoalan itu adalah kebebasan lewat demokrasi, Ekonomi Kapitalis dan Liberal serta Politik sangat liberal dan transaksional.

Saat Musyawarah Nasional (Munas) Ulama di Cirebon pada tahun 2002 silam telah direkomendasikan agar Presiden SBY meninjau kembali amandemen UUD 45. Namun untuk amandemen itu baru bisa dibicarakan paska 2014 mendatang.

"Presiden SBY memahami tapi hal itu baru bisa dibicarakan paska 2014 mendatang," jelasnya.

"PBNU setuju semangat bernegara seperti keinginan para pendiri bangsa tidak boleh dibuang, khususnya isi pembukaan UUD 45 dan mengembalikan MPR sebagai wujud kedaulatan rakyat untuk menegahi konflik antar lembaga negara dengan mengedepankan prinsip musyawarah mufakat," tegas mantan anggota BIN ini.

Baca juga: Memaknai Resolusi Jihad Ulama, dulu dan kini
(rsa)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6179 seconds (0.1#10.140)