2 Alat Pendeteksi COVID-19 Buatan Unpad-ITB Masuk Tahap Validasi Virus
loading...
A
A
A
BANDUNG - Dua alat pendeteksi COVID-19 yang dikembangkan peneliti Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) kini memasuki tahap validasi sampel SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19.
Validasi terhadap sampel virus sebenarnya dilakukan setelah kedua alat bernama CePAD yang merupakan kepanjangan deteksi cepat, praktis, dan andal atau rapid test 2.0 dan surface plasmon resonance (SPR) tersebut tervalidasi di laboratorium. (Baca juga: Balita 2 Tahun Akan Diisolasi, Keluarga Menangis Histeris)
"Kami bekerja sama dengan beberapa pihak dalam validasi ini. Saat ini, formulasi dan uji CePAD di skala laboratorium terhadap protein virus sudah menunjukkan hasil yang baik, jadi bisa dilanjutkan ke validasi di lapangan," ungkap koordinator peneliti Fakultas MIPA Unpad, Muhammad Yusuf di Bandung, Kamis (18/6/2020). (Baca juga: Bule Amerika Dihajar Massa Gara-gara Curi Cincin Emas di Kuta Bali)
Yusuf menjelaskan, perbedaan alat rapid test 2.0 dengan alat rapid test yang umum digunakan saat ini adalah molekul yang dideteksi. Alat rapid test yang umum digunakan mendeteksi antibodi. Namun rapid test 2.0 mendeteksi antigen. Sehingga, rapid test 2.0 dapat mendeteksi virus lebih cepat karena tidak perlu menunggu pembentukan antibodi saat tubuh terinfeksi virus.
"Konsep deteksi antibodi maupun antigen keduanya bagus dan berdasar pada teknologi yang benar. Deteksi antibodi saat ini keunggulannya pada samplingnya yang lebih mudah, dari darah. Namun, deteksi antibodi pada COVID-19 lebih tepat untuk tracing penyebaran virus," jelasnya.
Dia menambahkan, deteksi antigen bisa digunakan untuk mengetahui penyebab orang sakit ketika sedang menunjukkan gejala seperti demam dan batuk. "Jika orang baru terpapar virus beberapa hari, deteksi antibodi kemungkinan besar negatif atau nonreaktif karena antibodi terhadap virusnya belum terbentuk," tambahnya.
Yusuf melanjutkan, pihaknya bersama mitra industri sedang melengkapi fasilitas assembly rapid test dan produksi 5.000 unit pada Mei-Juni ini untuk keperluan validasi. Setelah validasi menunjukkan hasil yang baik, pihaknya menargetkan produksi 10.000 unit.
Kemudian dilanjutkan 50.000 unit per bulan sesuai dengan kapasitas produksi mitra saat ini. Jika diperlukan lebih banyak, maka pihaknya mengajak partisipasi berbagai pihak untuk meningkatkan kapasitas produksi tersebut.
"Cara kerja rapid test 2.0 ini, sampel swab dicampurkan ke larutan khusus, kemudian diteteskan ke alatnya. Sama dengan rapid test yang sekarang, 10-15 menit hasilnya keluar. Selain swab nasofaring, kami juga sedang mengembangkan sampling dari air liur," katanya.
Adapun SPR, tambah Yusuf, dikembangkan bersama-sama oleh ITB dan Unpad yang tergabung dalam Task Force Riset dan Inovasi Penanganan Covid-19 (TFRIC-19) yang diinisiasi dan dikoordinasi oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Kemenristek/BRIN.
SPR dikembangkan sebagai alat detektor COVID-19. Alat seukuran aki mobil itu dapat mendeteksi interaksi antara biosensor dan virus SARS-CoV-2. "Cara kerjanya, sampel biologis yang diambil dari pasien atau dalam VTM (viral transport medium) akan dicampur dengan pelarut kemudian dialirkan pada alat SPR. Jika ada virus dalam sampel, maka nanti akan ada perubahan sinyal yang dapat dibaca pada alatnya," paparnya.
SPR dikembangkan sebagai metode alternatif (pendeteksi COVID-19) yang diharapkan memiliki akurasi yang baik setara dengan PCR. "ITB mengembangkan metode SPR-nya dan Unpad mengembangkan biosensornya, yakni molekul yang bisa menangkap virusnya," ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Studi Infeksi Fakultas Kedokteran Unpad Bachti Alisjahbana mengatakan, validasi bertujuan untuk meyakinkan atau menilai kualitas rapid test 2.0 dan SPR, salah satunya membandingkan tingkat akurasi dengan metode teknik reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) yang sudah terbukti baik.
"Kami ambil spesimen yang sama, swab juga, tapi kemudian pasien diperiksa PCR. Kami ambil spesimen 30 pasien yang COVID-19-nya positif PCR dan 30 pasien yang COVID-19-nya negatif PCR," katanya.
"Spesimen yang sama, Kami periksakan dengan alat uji cepat Pak Yusuf dan kawan-kawan. Nanti, kita bisa lihat seberapa besar tingkat ketepatan atau kesamaannya," sambungnya.
Menurut Bachti, sejauh ini, validasi masih dalam tahap pengumpulan spesimen. Jika hasil validasi kurang memuaskan, maka akan ada evaluasi dan perbaikan. Setelah itu, validasi dilakukan kembali. "Tapi, kalau sudah cukup oke, sesuai harapan kita, itu bisa langsung registrasi Kemenkes. Lalu, digunakan layanan-layanan kesehatan," katanya.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Jabar Berli Hamdani mengatakan, jika telah divalidasi, alat rapid test 2.0 dan SPR dapat digunakan untuk diagnosa ataupun penapisan karena memiliki akurasi setara PCR.
Tes masif dengan menggunakan alat rapid tes 2.0 dan SPR akan menemukan peta sebaran COVID-19 yang lebih komprehensif dan mendeteksi virus lebih dini. Dengan begitu, sebaran COVID-19 dapat diputus dan angka kematian bisa dinolkan.
"Setelah produksi pertama ini dipergunakan dan bisa dievaluasi manfaat dan kendala-kendalanya (selama validasi). Sewaktu presentasi dari ITB-UNPAD disampaikan rencana produksi masal di akhir bulan Juli 2020," kata Berli.
Validasi terhadap sampel virus sebenarnya dilakukan setelah kedua alat bernama CePAD yang merupakan kepanjangan deteksi cepat, praktis, dan andal atau rapid test 2.0 dan surface plasmon resonance (SPR) tersebut tervalidasi di laboratorium. (Baca juga: Balita 2 Tahun Akan Diisolasi, Keluarga Menangis Histeris)
"Kami bekerja sama dengan beberapa pihak dalam validasi ini. Saat ini, formulasi dan uji CePAD di skala laboratorium terhadap protein virus sudah menunjukkan hasil yang baik, jadi bisa dilanjutkan ke validasi di lapangan," ungkap koordinator peneliti Fakultas MIPA Unpad, Muhammad Yusuf di Bandung, Kamis (18/6/2020). (Baca juga: Bule Amerika Dihajar Massa Gara-gara Curi Cincin Emas di Kuta Bali)
Yusuf menjelaskan, perbedaan alat rapid test 2.0 dengan alat rapid test yang umum digunakan saat ini adalah molekul yang dideteksi. Alat rapid test yang umum digunakan mendeteksi antibodi. Namun rapid test 2.0 mendeteksi antigen. Sehingga, rapid test 2.0 dapat mendeteksi virus lebih cepat karena tidak perlu menunggu pembentukan antibodi saat tubuh terinfeksi virus.
"Konsep deteksi antibodi maupun antigen keduanya bagus dan berdasar pada teknologi yang benar. Deteksi antibodi saat ini keunggulannya pada samplingnya yang lebih mudah, dari darah. Namun, deteksi antibodi pada COVID-19 lebih tepat untuk tracing penyebaran virus," jelasnya.
Dia menambahkan, deteksi antigen bisa digunakan untuk mengetahui penyebab orang sakit ketika sedang menunjukkan gejala seperti demam dan batuk. "Jika orang baru terpapar virus beberapa hari, deteksi antibodi kemungkinan besar negatif atau nonreaktif karena antibodi terhadap virusnya belum terbentuk," tambahnya.
Yusuf melanjutkan, pihaknya bersama mitra industri sedang melengkapi fasilitas assembly rapid test dan produksi 5.000 unit pada Mei-Juni ini untuk keperluan validasi. Setelah validasi menunjukkan hasil yang baik, pihaknya menargetkan produksi 10.000 unit.
Kemudian dilanjutkan 50.000 unit per bulan sesuai dengan kapasitas produksi mitra saat ini. Jika diperlukan lebih banyak, maka pihaknya mengajak partisipasi berbagai pihak untuk meningkatkan kapasitas produksi tersebut.
"Cara kerja rapid test 2.0 ini, sampel swab dicampurkan ke larutan khusus, kemudian diteteskan ke alatnya. Sama dengan rapid test yang sekarang, 10-15 menit hasilnya keluar. Selain swab nasofaring, kami juga sedang mengembangkan sampling dari air liur," katanya.
Adapun SPR, tambah Yusuf, dikembangkan bersama-sama oleh ITB dan Unpad yang tergabung dalam Task Force Riset dan Inovasi Penanganan Covid-19 (TFRIC-19) yang diinisiasi dan dikoordinasi oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Kemenristek/BRIN.
SPR dikembangkan sebagai alat detektor COVID-19. Alat seukuran aki mobil itu dapat mendeteksi interaksi antara biosensor dan virus SARS-CoV-2. "Cara kerjanya, sampel biologis yang diambil dari pasien atau dalam VTM (viral transport medium) akan dicampur dengan pelarut kemudian dialirkan pada alat SPR. Jika ada virus dalam sampel, maka nanti akan ada perubahan sinyal yang dapat dibaca pada alatnya," paparnya.
SPR dikembangkan sebagai metode alternatif (pendeteksi COVID-19) yang diharapkan memiliki akurasi yang baik setara dengan PCR. "ITB mengembangkan metode SPR-nya dan Unpad mengembangkan biosensornya, yakni molekul yang bisa menangkap virusnya," ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Studi Infeksi Fakultas Kedokteran Unpad Bachti Alisjahbana mengatakan, validasi bertujuan untuk meyakinkan atau menilai kualitas rapid test 2.0 dan SPR, salah satunya membandingkan tingkat akurasi dengan metode teknik reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) yang sudah terbukti baik.
"Kami ambil spesimen yang sama, swab juga, tapi kemudian pasien diperiksa PCR. Kami ambil spesimen 30 pasien yang COVID-19-nya positif PCR dan 30 pasien yang COVID-19-nya negatif PCR," katanya.
"Spesimen yang sama, Kami periksakan dengan alat uji cepat Pak Yusuf dan kawan-kawan. Nanti, kita bisa lihat seberapa besar tingkat ketepatan atau kesamaannya," sambungnya.
Menurut Bachti, sejauh ini, validasi masih dalam tahap pengumpulan spesimen. Jika hasil validasi kurang memuaskan, maka akan ada evaluasi dan perbaikan. Setelah itu, validasi dilakukan kembali. "Tapi, kalau sudah cukup oke, sesuai harapan kita, itu bisa langsung registrasi Kemenkes. Lalu, digunakan layanan-layanan kesehatan," katanya.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Jabar Berli Hamdani mengatakan, jika telah divalidasi, alat rapid test 2.0 dan SPR dapat digunakan untuk diagnosa ataupun penapisan karena memiliki akurasi setara PCR.
Tes masif dengan menggunakan alat rapid tes 2.0 dan SPR akan menemukan peta sebaran COVID-19 yang lebih komprehensif dan mendeteksi virus lebih dini. Dengan begitu, sebaran COVID-19 dapat diputus dan angka kematian bisa dinolkan.
"Setelah produksi pertama ini dipergunakan dan bisa dievaluasi manfaat dan kendala-kendalanya (selama validasi). Sewaktu presentasi dari ITB-UNPAD disampaikan rencana produksi masal di akhir bulan Juli 2020," kata Berli.
(shf)