Kisah Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said Singkirkan VOC

Selasa, 22 Februari 2022 - 05:01 WIB
loading...
Kisah Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said Singkirkan VOC
Lukisan Pangeran Hamengku Buwono I yang merupakan gelar dari Pangeran Mangkubumi.Foto/wikipedia
A A A
Pangeran Mangkubumi atau nama aslinya Raden Mas Sujana (RM Sujana) merupakan putra Amangkurat IV susuhunan Mataram kedelapan. Dia dilahirkan dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada 6 Agustus 1717.

Pangeran Mangkubumi merupakan gelar berganda yaitu seorang Pangeran yang menjabat sebagai Mangkubumi (kepala pemerintahan). Pangeran yang menyandang gelar ini biasanya Pangeran ke-2 atau putera kedua dari Sultan yang bertahta atau adik Putera Mahkota.

Akan tetapi jika putera kedua tidak ada maka akan dijabat oleh putera selir atau saudara Sultan. Gelar Pangeran Mangkubumi ini sering dipakai di pulau Jawa, Kalimantan dan lain-lain.

Baca juga: Nasib Tragis Ibunda Gajah Mada, Dewi Andong Sari yang Bunuh Diri di Gunung Ratu

Yang menjabat mangkubumi biasanya bukan dari kalangan bangsawan, tetapi lama-kelamaan jabatan mangkubumi dijabat pula oleh para Pangeran dengan sebutan Pangeran Mangkubumi yang merupakan jabatan paling tinggi di bawah raja.

Pangeran Mangkubumi menjadi pendiri dan pembangun Keraton Yogyakarta. Dia sebagai peletak dasar budaya Mataram, disebut akan memberi warna dan ruh tidak hanya bagi lingkungan keraton tetapi seluruh masyarakat Yogyakarta.

Sedari kecil, Pangeran Mangkubumi dikenal sangat cakap dalam olah keprajuritan, mahir berkuda, dan bermain senjata. Dia juga sangat taat beribadah sembari tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya Jawa.

Berkat kecakapannya, sewaktu sang paman bernama Mangkubumi wafat pada 27 November 1730, dia diangkat menjadi Pangeran Lurah. Menjadi pangeran yang dituakan di antara para putera raja. Ketiga sudah dewasa, RM Sujana juga menyandang nama yang sama, Mangkubumi. Sejak itulah dia dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi.

Ketaatan ibadah Pangeran Mangkubumi digambarkan mengenai kebiasaannya puasa Senin-Kamis, salat lima waktu dan juga mengaji Al Quran.

Dikisahkan dalam Serat Cebolek (salah satu khazanah sastra Jawa yang berbentuk tembang alit atau macapat) Pangeran Mangkubumi gemar mengembara dan mengadakan pendekatan dengan masyarakat, serta memberikan pertolongan kepada yang lemah. Pendekatan yang diakukan dengan telaten dan hati lembut berbuah kesetiaan dari pengikut-pengikutnya.

Tak mengherankan jika pengikut Pangeran Mangkunbumi mencapai ribuan orang. Terbukti pada 1746 saat melawan VOC, sebanyak 3.000 pasukannya mengangkat senjata. Pengikutnya terus bertambah dari waktu ke waktu. Setahun kemudian, tepatnya 1747 pengikutnya bertambah menjadi 13.000 prajurit. Termasuk pasukan berkuda yang banyaknya 2.500 prajurit.

Gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I
Mengutip situs kratonjogja.id, era 1740 adalah masa-masa berat bagi bumi Mataram. Pemberontakan merajalela, dimulai Geger Pacina yang dipimpin Sunan Kuning dibantu Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said, hingga gerakan-gerakan sporadis yang dipimpin Pangeran Sambernyawa sendiri pada hari-hari selanjutnya.

Pemberontakan itu mengakibatkan keraton harus berpindah dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745. Untuk memadamkan pemberontakan Sambernyawa, Raja Mataram saat itu, Susuhunan Paku Buwono II mengadakan sayembara yang disambut dan dimenangkan oleh Pangeran Mangkubumi.

Pangeran Mangkubumi kemudian bermaksud untuk mengendalikan pesisir utara Jawa sebagai langkah strategis mengurangi pengaruh VOC di bumi Mataram. Namun akibat penghianatan dan kecurangan yang dilakukan Patih Pringgoloyo yang didukung VOC, langkahnya gagal.

Pangeran Mangkubumi kemudian memutuskan untuk keluar dari lingkup istana dan memulai serangan terbuka terhadap VOC. Keputusan tersebut menuai dukungan dari Pangeran Sambernyawa.

Bersama Sambernyawa, Pangeran Mangkubumi berhasil membebaskan beberapa daerah dari cengkeraman VOC. Di sisi lain, pada akhir 1749, kondisi kesehatan Paku Buwono II semakin menurun.

Belanda memanfaatkan kondisi ini sehingga muncul traktat yang berisi penyerahan Kerajaan Mataram seluruhnya kepada VOC pada tanggal 16 Desember 1749. Hanya berselang hari, Paku Buwono II wafat dan kemudian digantikan oleh puteranya Paku Buwono III.

Mengetahui adanya kesepakatan tersebut, maka Pangeran Mangkubumi dan Sambernyawa semakin sengit bertempur. Garis depan VOC terdesak dan pasukannya banyak yang tewas. Hanya dalam hitungan bulan, hampir seluruh wilayah Kerajaan Mataram sudah berada di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi.

Kegagalan menghadapi perjuangan Pangeran Mangkubumi ini mengakibatkan Gubernur Jawa Utara, Baron van Hohendroff, mengundurkan diri. Gubernur Jenderal Baron van Imhoff yang berkedudukan di Batavia juga turut merasakan tekanan atas kekalahan tersebut. Baron van Imhoff kemudian jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia.

Kepimpinan Gubernur Jawa Utara di Semarang diserahkan kepada Nicholas Hartingh. Perubahan kepemimpinan VOC ini berdampak pada corak penyelesaian masalahnya.

Hartingh yang dikenal supel dan lancar berbahasa Jawa, mendapatkan ide bahwa untuk menyelesaikan masalah ini hanya bisa didapat dengan cara mendekati Pangeran Mangkubumi dan menawarkan jalan perdamaian.

Sadar bahwa dia tidak bisa melakukannya sendiri maka Hartingh mengutus seorang keturunan Arab, Syekh Ibrahim atau lebih dikenal dengan Tuan Sarip Besar, untuk menawarkan jalan perundingan kepada Pangeran Mangkubumi.

Pada 23 September 1754, pertemuan antara Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi membuahkan hasil. Kesepakatan ini merupakan rancangan awal perjanjian dikenal sebagai Palihan Nagari. Hasil kesepakatan ini disampaikan kepada Gubernur Jenderal dan Paku Buwono III. Kata sepakat dari Paku Buwono III diperoleh pada tanggal 4 November 1754.

Kemudian butir-butir kesepakatan tersebut dituangkan dalam naskah Perjanjian Giyanti. Puncaknya pada 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani . Dari situlah babak awal Kasultanan Yogyakarta dimulai.

Bertepatan Kamis Pon, 13 Maret 1755 (29 Jumadilawal 1680 TJ) Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai raja pertama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.(diolah dari berbagai sumber)
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0829 seconds (0.1#10.140)