Laksamana Cheng Ho, Penjelajah Muslim China yang Ikut Sebarkan Islam di Nusantara
loading...
A
A
A
Laksamana Cheng Ho , nama yang tidak asing bagi orang Indonesia. Cheng Ho diyakini ikut menyebarkan agama Islam di Nusantara melalui ekspedisinya antara 1405 hingga 1433.
Dia merupakan penjelajah terkenal dari China. Selama kurang lebih 28 tahun melakukan ekspedisi ke berbagai negeri di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia dengan armadanya terdiri 307 kapal yang membawa sekitar 27.000 pelaut.
Muhibah pelayaran Cheng Ho ke Nusantara ini untuk perdagangan dan mempererat hubungan antara negara Tiongkok dan negara-negara Asia Afrika.
Baca juga: Kisah Perang Saudara Kerajaan Majapahit, Kepala Bhre Wirabhumi Dipenggal oleh Prajurit Raja Suhita
Banyak dari anak buah kapal Laksamana Zheng He adalah Muslim, seperti Ma Huan, Guo Chong Li dan Ha San Shaban dan Pu He-ri. Ma Huan dan Guo Chong-li pandai berbahasa Arab dan Persia. Keduanya bekerja sebagai penerjemah. Ha San adalah seorang ulama Masjid Yang Shi di kota Ki An.
Kisah tentang Laksamana Cheng Ho dikupas dalam buku "Laksamana Cheng Ho- Kisah Ekspedisi Tionghoa Muslim "dan buku "Laksamana Cheng Ho: Jejak Damai Penjelajah Dunia".
Sudah tujuh kali Cheng Ho mengunjungi Nusantara (Kepulauan Indonesia). Ketika singgah di Samudera Pasai, ia menghadiah Sultan Aceh sebuah lonceng raksasa "Cakra Donya", yang hingga kini tersimpan di museum Banda Aceh.
Pada 1415, Cheng Ho berlabuh di Muara Jati ( Cirebon), dan menghadiahi beberapa cindera mata khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon. Salah satu peninggalannya, sebuah piring keramik yang bertuliskan ayat Kursi masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Dalam perjalanannya melalui laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada Cheng Ho) sakit keras. Wang akhirnya turun di pantai Simongan, Semarang dan menetap di sana.
Bukti peninggalannya antara lain kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu) serta patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong. Cheng Ho juga sempat berkunjung ke kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Raja Wikramawardhana.
Baca juga: Briptu Christy Polwan Cantik Ternyata Berdarah Biru Disebut Turunan Bangsawan
Di pantai utara Jawa saja, ada delapan tempat yang disinggahi Cheng Ho. Mulai Sunda Kelapa (Ancol), Cirebon, Semarang, Demak, Lasem (masuk Rembang), Tuban, Gresik, hingga Surabaya. Dari Pelabuhan Ujung Galuh (Surabaya), Cheng Ho berlayar menyusuri Kali Brantas menuju Trowulan (Mojokerto), ibu kota Majapahit.
Pada 1406, Cheng Ho menginjakkan kaki di ibu kota Wilwatikta. Setahun setelah angkat jangkar dari Suzhou, Tiongkok. Setelah singgah di Champa, Ayutthaya, Malaka, Ancol, Cirebon, Semarang, dan beberapa pelabuhan di Jateng serta Jatim.
Anak buah Cheng Ho sempat terlibat perang antara Majapahit Barat dengan Raja Wikramawardhana dan Majapahit Timur dengan Raja Bhre Wirabumi. Literatur sejarah Tiongkok menyebutkan perang antara Raja Barat dan Raja Timur di Zhua Wa (Jawa).
Saat itu, Cheng Ho mengirimkan 170 anak buahnya ke kawasan dekat Semarang. Raja Wikramawardhana mengira pasukan itu sebagai bala bantuan untuk Bhre Wirabumi. Pasukannya langsung menghabisi 170 tentara Tiongkok tersebut.
Meski marah, Cheng Ho tidak menurutkan nafsu. Ia datang dengan sejumlah kecil pengiring. Karena menyadari kesalahannya, Wikramawardhana minta maaf. Wikramawardhana berjanji membayar ganti rugi 60 ribu tael emas. Cheng Ho setuju.
Lalu, Cheng Ho datang lagi pada pelayaran kedua. Namun, Wikramawardhana tak membayar penuh. Hanya 10 ribu tael emas. Cheng Ho tak mempermasalahkan hal tersebut. Sebab, Wikramawardhana sudah mengaku bersalah dan itu semua terjadi karena kesalahpahaman belaka.
Pada 1421, Laksamana Cheng Ho memimpin sebuah armada yang melakukan pelayaran ke berbagai penjuru dunia. Dengan panjang kapalnya yang mencapai 160 meter, ia memimpin kurang lebih 208 kapal berukuran besar, menengah, dan kecil yang disertai kurang lebih 27.800 awak kapal.
Armada besar ini dipimpinnya dengan dibantu 3 panglima: Hong Bao, Zhou Man, dan Zhou Wen. Cheng Ho bersama pasukannya telah menjelajah samudera selama 28 tahun (1405-1433 M).
Laksamana Cheng Ho berasal dari bangsa Hui, salah satu bangsa minoritas Tiongkok. Cheng Ho lahir pada 1371, dengan nama Ma He. Ia adalah putra kedua dari Ma Hazhi dan Wen.
Ia memiliki seorang saudara laki-laki dan empat perempuan. Keluarganya berasal dari Kunyang (saat ini Jinning), selatan Kunming atau barat daya Danau Dian di provinsi Yunnan.
Cheng Ho masih keturunan bangsawan Persia. Ia adalah cicit dari Sayyid Ajjal Syams al-Din Umar, seorang berkebangsaan Persia yang memiliki posisi strategis di Kekaisaran Mongol.
Sayyid Ajjal ditunjuk menjadi Gubernur Provinsi Yunnan pada masa pemerintahan Dinasti Yuan. Sejak kecil, Cheng Ho sudah fasih berbahasa Tiongkok dan Arab. Ia belajar pada ayah dan kakeknya. Ia juga mempelajari geografi dunia.
Pada 1381, ayahnya wafat karena hukuman eksekusi menyusul kekalahan Yuan Utara oleh pasukan Dinasti Ming yang dikirim ke Yunnan untuk membendung pemberontakan orang-orang Mongol yang dipimpin oleh Basalawarmi.
Saat itu, Cheng Ho memasuki usia 11 tahun. Ia pun ditangkap dan dijadikan kasim (pelayan yang dikebiri) di istana kaisar. Ia menjadi pelayan khusus Pangeran Zhu Di, anak keempat kaisar.
Pergaulannya dengan pangeran membuat Cheng Ho menjadi pemuda yang tangguh. Ia mahir berdiplomasi serta menguasai seni berperang. Ia kemudian diangkat menjadi pegawai khusus pangeran.
Saat itu, Cheng Ho diberi nama “San Bao” yang berarti tiga permata. Posisinya pun makin kuat ketika Zhu Di diangkat menjadi kaisar pada 1402.
Cheng Ho merupakan abdi istana pertama yang memiliki posisi tinggi dalam militer China. Cheng Ho memiliki karakter militer sejati dengan prestasi militer yang cukup membanggakan sehingga ia dengan mudah meraih gelar Laksamana. Hal ini juga karena postur tubuhnya yang tinggi, besar, dan berwibawa.
Cheng Ho didaulat menjadi laksamana dan diperintahkan melakukan ekspedisi. Pemerintahan Dinasti Ming menyeponsori tujuh kali ekspedisi laut Laksamana Cheng Ho.
Sebagai Muslim yang taat, sebelum memulai ekspedisi pertamanya, rombongan besar yang dipimpinnya terlebih dahulu menunaikan shalat di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian). Ia memimpin ekspedisi ke wilayah yang saat itu dikenal dengan nama lautan barat.
Cheng Ho memimpin kapal yang diberi nama “Kapal Pusaka”. Kapal terbesar pada abad ke-15. Panjangnya mencapai 44,4 zhang (138 m) dan lebar 18 zhang (56 m).
Kapal dibuat tanpa besi, serta dilengkapi teknologi yang saat itu tergolong canggih seperti kompas magnetik. Ukuran kapalnya 5 kali kapal Vasco da Gama dan Christoper Columbus.
Selain berekspedisi, Cheng Ho juga menuliskan perjalanannya dan peta navigasi yang berisi arah pelayaran, jarak di lautan dan berbagai pelabuhan. Sebanyak 24 peta navigasi yang dibuat Cheng Ho mampu mengubah peta navigasi dunia abad 15. Jalur perdagangan Tiongkok berubah, tidak sekadar bertumpu pada ‘Jalur Sutera’ antara Beijing-Bukhara.
Sekalipun dokumentasi perjalanan Cheng Ho telah banyak yang dimusnahkan oleh Zhu Gaozi dan Zhu Zhanji yang ingin menutup akses dunia bagi Tiongkok, tapi ternyata beberapa masih ada yang tercecer, termasuk salah satu peta perjalanan armada Cheng Ho.
Sebuah peta lengkap dengan gambar benua Amerika serta sebuah peta astronomi milik Cheng Ho.
Laksamana Cheng Ho wafat setelah melakukan ekspedisi ketujuhnya. Tepatnya pada tahun ke-10 bertahtanya Kaisar Xuan De. Cheng Ho dimakamkan di pinggiran selatan Bukit Niushou di Nanjing.(diolah berbagai sumber/okezone)
Dia merupakan penjelajah terkenal dari China. Selama kurang lebih 28 tahun melakukan ekspedisi ke berbagai negeri di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia dengan armadanya terdiri 307 kapal yang membawa sekitar 27.000 pelaut.
Muhibah pelayaran Cheng Ho ke Nusantara ini untuk perdagangan dan mempererat hubungan antara negara Tiongkok dan negara-negara Asia Afrika.
Baca juga: Kisah Perang Saudara Kerajaan Majapahit, Kepala Bhre Wirabhumi Dipenggal oleh Prajurit Raja Suhita
Banyak dari anak buah kapal Laksamana Zheng He adalah Muslim, seperti Ma Huan, Guo Chong Li dan Ha San Shaban dan Pu He-ri. Ma Huan dan Guo Chong-li pandai berbahasa Arab dan Persia. Keduanya bekerja sebagai penerjemah. Ha San adalah seorang ulama Masjid Yang Shi di kota Ki An.
Kisah tentang Laksamana Cheng Ho dikupas dalam buku "Laksamana Cheng Ho- Kisah Ekspedisi Tionghoa Muslim "dan buku "Laksamana Cheng Ho: Jejak Damai Penjelajah Dunia".
Sudah tujuh kali Cheng Ho mengunjungi Nusantara (Kepulauan Indonesia). Ketika singgah di Samudera Pasai, ia menghadiah Sultan Aceh sebuah lonceng raksasa "Cakra Donya", yang hingga kini tersimpan di museum Banda Aceh.
Pada 1415, Cheng Ho berlabuh di Muara Jati ( Cirebon), dan menghadiahi beberapa cindera mata khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon. Salah satu peninggalannya, sebuah piring keramik yang bertuliskan ayat Kursi masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Dalam perjalanannya melalui laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada Cheng Ho) sakit keras. Wang akhirnya turun di pantai Simongan, Semarang dan menetap di sana.
Bukti peninggalannya antara lain kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu) serta patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong. Cheng Ho juga sempat berkunjung ke kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Raja Wikramawardhana.
Baca juga: Briptu Christy Polwan Cantik Ternyata Berdarah Biru Disebut Turunan Bangsawan
Di pantai utara Jawa saja, ada delapan tempat yang disinggahi Cheng Ho. Mulai Sunda Kelapa (Ancol), Cirebon, Semarang, Demak, Lasem (masuk Rembang), Tuban, Gresik, hingga Surabaya. Dari Pelabuhan Ujung Galuh (Surabaya), Cheng Ho berlayar menyusuri Kali Brantas menuju Trowulan (Mojokerto), ibu kota Majapahit.
Pada 1406, Cheng Ho menginjakkan kaki di ibu kota Wilwatikta. Setahun setelah angkat jangkar dari Suzhou, Tiongkok. Setelah singgah di Champa, Ayutthaya, Malaka, Ancol, Cirebon, Semarang, dan beberapa pelabuhan di Jateng serta Jatim.
Anak buah Cheng Ho sempat terlibat perang antara Majapahit Barat dengan Raja Wikramawardhana dan Majapahit Timur dengan Raja Bhre Wirabumi. Literatur sejarah Tiongkok menyebutkan perang antara Raja Barat dan Raja Timur di Zhua Wa (Jawa).
Saat itu, Cheng Ho mengirimkan 170 anak buahnya ke kawasan dekat Semarang. Raja Wikramawardhana mengira pasukan itu sebagai bala bantuan untuk Bhre Wirabumi. Pasukannya langsung menghabisi 170 tentara Tiongkok tersebut.
Meski marah, Cheng Ho tidak menurutkan nafsu. Ia datang dengan sejumlah kecil pengiring. Karena menyadari kesalahannya, Wikramawardhana minta maaf. Wikramawardhana berjanji membayar ganti rugi 60 ribu tael emas. Cheng Ho setuju.
Lalu, Cheng Ho datang lagi pada pelayaran kedua. Namun, Wikramawardhana tak membayar penuh. Hanya 10 ribu tael emas. Cheng Ho tak mempermasalahkan hal tersebut. Sebab, Wikramawardhana sudah mengaku bersalah dan itu semua terjadi karena kesalahpahaman belaka.
Pada 1421, Laksamana Cheng Ho memimpin sebuah armada yang melakukan pelayaran ke berbagai penjuru dunia. Dengan panjang kapalnya yang mencapai 160 meter, ia memimpin kurang lebih 208 kapal berukuran besar, menengah, dan kecil yang disertai kurang lebih 27.800 awak kapal.
Armada besar ini dipimpinnya dengan dibantu 3 panglima: Hong Bao, Zhou Man, dan Zhou Wen. Cheng Ho bersama pasukannya telah menjelajah samudera selama 28 tahun (1405-1433 M).
Laksamana Cheng Ho berasal dari bangsa Hui, salah satu bangsa minoritas Tiongkok. Cheng Ho lahir pada 1371, dengan nama Ma He. Ia adalah putra kedua dari Ma Hazhi dan Wen.
Ia memiliki seorang saudara laki-laki dan empat perempuan. Keluarganya berasal dari Kunyang (saat ini Jinning), selatan Kunming atau barat daya Danau Dian di provinsi Yunnan.
Cheng Ho masih keturunan bangsawan Persia. Ia adalah cicit dari Sayyid Ajjal Syams al-Din Umar, seorang berkebangsaan Persia yang memiliki posisi strategis di Kekaisaran Mongol.
Sayyid Ajjal ditunjuk menjadi Gubernur Provinsi Yunnan pada masa pemerintahan Dinasti Yuan. Sejak kecil, Cheng Ho sudah fasih berbahasa Tiongkok dan Arab. Ia belajar pada ayah dan kakeknya. Ia juga mempelajari geografi dunia.
Pada 1381, ayahnya wafat karena hukuman eksekusi menyusul kekalahan Yuan Utara oleh pasukan Dinasti Ming yang dikirim ke Yunnan untuk membendung pemberontakan orang-orang Mongol yang dipimpin oleh Basalawarmi.
Saat itu, Cheng Ho memasuki usia 11 tahun. Ia pun ditangkap dan dijadikan kasim (pelayan yang dikebiri) di istana kaisar. Ia menjadi pelayan khusus Pangeran Zhu Di, anak keempat kaisar.
Pergaulannya dengan pangeran membuat Cheng Ho menjadi pemuda yang tangguh. Ia mahir berdiplomasi serta menguasai seni berperang. Ia kemudian diangkat menjadi pegawai khusus pangeran.
Saat itu, Cheng Ho diberi nama “San Bao” yang berarti tiga permata. Posisinya pun makin kuat ketika Zhu Di diangkat menjadi kaisar pada 1402.
Cheng Ho merupakan abdi istana pertama yang memiliki posisi tinggi dalam militer China. Cheng Ho memiliki karakter militer sejati dengan prestasi militer yang cukup membanggakan sehingga ia dengan mudah meraih gelar Laksamana. Hal ini juga karena postur tubuhnya yang tinggi, besar, dan berwibawa.
Cheng Ho didaulat menjadi laksamana dan diperintahkan melakukan ekspedisi. Pemerintahan Dinasti Ming menyeponsori tujuh kali ekspedisi laut Laksamana Cheng Ho.
Sebagai Muslim yang taat, sebelum memulai ekspedisi pertamanya, rombongan besar yang dipimpinnya terlebih dahulu menunaikan shalat di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian). Ia memimpin ekspedisi ke wilayah yang saat itu dikenal dengan nama lautan barat.
Cheng Ho memimpin kapal yang diberi nama “Kapal Pusaka”. Kapal terbesar pada abad ke-15. Panjangnya mencapai 44,4 zhang (138 m) dan lebar 18 zhang (56 m).
Kapal dibuat tanpa besi, serta dilengkapi teknologi yang saat itu tergolong canggih seperti kompas magnetik. Ukuran kapalnya 5 kali kapal Vasco da Gama dan Christoper Columbus.
Selain berekspedisi, Cheng Ho juga menuliskan perjalanannya dan peta navigasi yang berisi arah pelayaran, jarak di lautan dan berbagai pelabuhan. Sebanyak 24 peta navigasi yang dibuat Cheng Ho mampu mengubah peta navigasi dunia abad 15. Jalur perdagangan Tiongkok berubah, tidak sekadar bertumpu pada ‘Jalur Sutera’ antara Beijing-Bukhara.
Sekalipun dokumentasi perjalanan Cheng Ho telah banyak yang dimusnahkan oleh Zhu Gaozi dan Zhu Zhanji yang ingin menutup akses dunia bagi Tiongkok, tapi ternyata beberapa masih ada yang tercecer, termasuk salah satu peta perjalanan armada Cheng Ho.
Sebuah peta lengkap dengan gambar benua Amerika serta sebuah peta astronomi milik Cheng Ho.
Laksamana Cheng Ho wafat setelah melakukan ekspedisi ketujuhnya. Tepatnya pada tahun ke-10 bertahtanya Kaisar Xuan De. Cheng Ho dimakamkan di pinggiran selatan Bukit Niushou di Nanjing.(diolah berbagai sumber/okezone)
(msd)