Gunung Brintik, Kisah Wanita Sakti dan Asal Usul Kota Semarang
loading...
A
A
A
“Kampung Pelangi” ya siapa tidak kenal dengan kampung yang berada di Kota Semarang, Jawa Tengah ini. Kampung yang berada di Kelurahan Randusari, Kecamatan Semarang Selatan ini, beberapa tahun yang lalu sempat viral di media sosial.
Bahkan, kampung itu kini menjadi salah satu tujuan wisata di Semarang. Kampung ini dibangun di perbukitan atau yang dikenal dengan bukit Pergota (kini disebut Bergota). Ada juga yang menyebutnya dengan sebutan “Gunung Brintik”. Kampung Pelangi awalnya adalah perkampungan kumuh dan padat penduduk.
Ini tidak mengherankan mengingat sejarah panjang kampung ini terbentuk. Mulanya, kampung ini adalah perkampungan nelayan di pesisir pantai Semarang. Ya, dahulu kala, Gunung Brintik atau Pergota berada tepat di pesisir pantai Semarang. Bahkan, ada yang menyebut bahwa Gunung Brintik ini bagian dari pelabuhan Semarang di masa lampau. Ini dibuktikan dengan adanya penemuan tambatan tali kapal nelayan di salah satu sudut bukit itu. Ada yang menyebut tambatan tali itu milik Laksamana Cheng Ho saat bersandar di pantai Semarang sebelum masuk ke Kota Semarang dan mendirikan Masjid Cheng Ho (kini menjadi kompleks Klenteng Sam Pho Khong).
Nama Brintik sendiri diambil dari sosok wanita yang pernah tinggal di gunung itu. Wanita yang bernama asli Dowo Rinjani itu, konon memiliki postur tubuh kecil dengan rambut keriting (brintik). Wanita ini dipercaya sebagai salah satu bangsawan dari Kerajaan (Kasultanan) Demak yang sengaja mengasingkan diri. Menurut cerita penduduk sekitar, wanita yang disebut Nyai Brintik ini memiliki ilmu kanuragan yang sakti mandraguna.
Bahkan, saking saktinya, tidak ada satu pun prajurit Sultan Demak yang berhasil meringkusnya, saat Nyai Brintik mencuri beberapa pusaka kerajaan. Puluhan prajurit yang dikirim sultan saat itu harus pulang dengan tangan hampa. Hanya ada satu orang yang mampu menaklukannya. Yakni Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga saat itu diminta Sultan Demak untuk mengambil kembali pusaka yang dicuri itu. Sang Nyai Brintik pun harus takluk di tangan Sunan Kalijaga dan akhirnya memilih masuk Islam dan menjadi murid Sunan Kalijaga.
Namun, karena sudah terlanjur malu atas perbuatannya, maka Nyai Brintik memilih mengasingkan diri dan tinggal di Gunung Brintik sampai akhir hayatnya. Makam Nyai Brintik dapat ditemukan di samping . Mushala Gunung Brintik. Tepatnya di RT 07, RW 03, Kelurahan Randusari, Semarang Selatan. Makam Nyai Brintik terpisah dari pemakaman umum warga.
Selain berada di sebelah mushala, makam dikelilingi oleh sebuah bangunan yang dijaga oleh juru kuncinya. Sehingga untuk masuk ke dalam harus seiizin juru kunci atau penjaga makam. Nampak di dalam bangunan tersebut ada satu ruangan lagi di mana makam itu berada. Makam itu sekilas seperti biasanya makam, namun makam Nyai Brintik di atas pusaranya ditutupi kain jarik berwarna cokelat gelap.
Di samping makam terdapat benda-benda yang diperkirakan peninggalannya seperti payung kain khas zaman kerajaan, guci, dan kursi. Serta dua wadah untuk menaruh hio sebagai sarana ritual untuk berdoa para peziarah yang datang.
“Biasanya hari-hari tertentu banyak yang ziarah, seperti malam Suro kemarin dan bulan lainnya. Mereka datang untuk berdoa dan minta sesuai keinginannya masing-masing. Dan yang datang tidak hanya dari Kota Semarang tapi juga ada dari luar daerah, seperti Jakarta, Bandung dan bahkan dari Sumatera,” kata Ari, salah satu warga.
Selain itu, di Gunung Brintik tersebut juga ada jejak makam tokoh ulama penyebar agama Islam, Mbah Sholeh Darat. Sholeh Darat atau Muhammad Saleh bin Umar As-Samarani adalah ulama besar di tanah Jawa yang dikenal sebagai pendiri pendidikan pesantren pertama kali. Mbah Sholeh merupakan guru dua tokoh besar KH Hasyim Ashari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), dan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Bahkan, kampung itu kini menjadi salah satu tujuan wisata di Semarang. Kampung ini dibangun di perbukitan atau yang dikenal dengan bukit Pergota (kini disebut Bergota). Ada juga yang menyebutnya dengan sebutan “Gunung Brintik”. Kampung Pelangi awalnya adalah perkampungan kumuh dan padat penduduk.
Ini tidak mengherankan mengingat sejarah panjang kampung ini terbentuk. Mulanya, kampung ini adalah perkampungan nelayan di pesisir pantai Semarang. Ya, dahulu kala, Gunung Brintik atau Pergota berada tepat di pesisir pantai Semarang. Bahkan, ada yang menyebut bahwa Gunung Brintik ini bagian dari pelabuhan Semarang di masa lampau. Ini dibuktikan dengan adanya penemuan tambatan tali kapal nelayan di salah satu sudut bukit itu. Ada yang menyebut tambatan tali itu milik Laksamana Cheng Ho saat bersandar di pantai Semarang sebelum masuk ke Kota Semarang dan mendirikan Masjid Cheng Ho (kini menjadi kompleks Klenteng Sam Pho Khong).
Nama Brintik sendiri diambil dari sosok wanita yang pernah tinggal di gunung itu. Wanita yang bernama asli Dowo Rinjani itu, konon memiliki postur tubuh kecil dengan rambut keriting (brintik). Wanita ini dipercaya sebagai salah satu bangsawan dari Kerajaan (Kasultanan) Demak yang sengaja mengasingkan diri. Menurut cerita penduduk sekitar, wanita yang disebut Nyai Brintik ini memiliki ilmu kanuragan yang sakti mandraguna.
Bahkan, saking saktinya, tidak ada satu pun prajurit Sultan Demak yang berhasil meringkusnya, saat Nyai Brintik mencuri beberapa pusaka kerajaan. Puluhan prajurit yang dikirim sultan saat itu harus pulang dengan tangan hampa. Hanya ada satu orang yang mampu menaklukannya. Yakni Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga saat itu diminta Sultan Demak untuk mengambil kembali pusaka yang dicuri itu. Sang Nyai Brintik pun harus takluk di tangan Sunan Kalijaga dan akhirnya memilih masuk Islam dan menjadi murid Sunan Kalijaga.
Namun, karena sudah terlanjur malu atas perbuatannya, maka Nyai Brintik memilih mengasingkan diri dan tinggal di Gunung Brintik sampai akhir hayatnya. Makam Nyai Brintik dapat ditemukan di samping . Mushala Gunung Brintik. Tepatnya di RT 07, RW 03, Kelurahan Randusari, Semarang Selatan. Makam Nyai Brintik terpisah dari pemakaman umum warga.
Selain berada di sebelah mushala, makam dikelilingi oleh sebuah bangunan yang dijaga oleh juru kuncinya. Sehingga untuk masuk ke dalam harus seiizin juru kunci atau penjaga makam. Nampak di dalam bangunan tersebut ada satu ruangan lagi di mana makam itu berada. Makam itu sekilas seperti biasanya makam, namun makam Nyai Brintik di atas pusaranya ditutupi kain jarik berwarna cokelat gelap.
Di samping makam terdapat benda-benda yang diperkirakan peninggalannya seperti payung kain khas zaman kerajaan, guci, dan kursi. Serta dua wadah untuk menaruh hio sebagai sarana ritual untuk berdoa para peziarah yang datang.
“Biasanya hari-hari tertentu banyak yang ziarah, seperti malam Suro kemarin dan bulan lainnya. Mereka datang untuk berdoa dan minta sesuai keinginannya masing-masing. Dan yang datang tidak hanya dari Kota Semarang tapi juga ada dari luar daerah, seperti Jakarta, Bandung dan bahkan dari Sumatera,” kata Ari, salah satu warga.
Selain itu, di Gunung Brintik tersebut juga ada jejak makam tokoh ulama penyebar agama Islam, Mbah Sholeh Darat. Sholeh Darat atau Muhammad Saleh bin Umar As-Samarani adalah ulama besar di tanah Jawa yang dikenal sebagai pendiri pendidikan pesantren pertama kali. Mbah Sholeh merupakan guru dua tokoh besar KH Hasyim Ashari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), dan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.