Belasan Santriwati Diperkosa HW, DPR: Tak Ada Alasan Tunda RUU TPKS

Selasa, 14 Desember 2021 - 07:02 WIB
loading...
Belasan Santriwati Diperkosa...
Gedung Pondok Pesantren Madani Boarding School di kawasan Cibiru, Kota Bandung yang sudah ditutup dan dipasangi garis polisi. Foto/Ist
A A A
BANDUNG - Peristiwa pemerkosaan belasan santriwati yang dilakukan oknum guru dan pimpinan Madani Boarding School Herry Wirawan dinilai telah menyakiti perasaan publik. Karena itu, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi NasDem, Muhammad Farhan mengatakan, tidak ada alasan untuk menunda pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Farhan menilai, para pelaku tidak hanya harus dijerat hukuman maksimal hingga kebiri untuk memutus mata rantai potensi pelecehan, namun juga harus dibatasi mobilitas fisik dan mobilitas sosialnya. Pasalnya, dampak perbuatan bejat pelaku merusak kondisi sosial para korban.

"Pelaku kejahatan kekerasan seksual harus menanggung beban jangka panjang sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial karena korban kejahatan kekerasan seksual pun menanggung dampak jangka panjang," ujar Farhan, Senin (13/12/2021).

Farhan pun menyadari bahwa kasus pemerkosaan Herry Wirawan di Kota Bandung kini menjadi sorotan publik dan publik berharap pengadilan memberikan hukuman seberat-beratnya kepada Herry Wirawan.

"Memang sangat memprihatinkan. Tetapi, sebelum kita menyoroti dengan amarah menggunung, kita sadari dulu bahwa kejahatan pidana itu tanggung jawab pribadi, bukan lembaga," tegasnya.

Menurut Farhan, peristiwa tersebut menjadi momentum tepat untuk segera mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

"Jadi momentum ini menjadi pas dengan upaya mempercepat pengesahan RUU TPKS karena akan menumbuhkan kesadaran hukum dalam pikiran kita secara proporsional," katanya.

Pihak yang perlu dihakimi, lanjut dia, adalah pelaku, bukan pesantrennya. Lalu bagaimana tanggung jawab lembaga tersebut? Dalam RUU TPKS ada pasal pemulihan korban, yang programnya melibatkan lembaga tempat kejadian dalam hal ini pesantren tersebut.

"Artinya kesadaran hukum masyarakat sudah meningkat dan tidak ada alasan lagi menunda pengesahan RUU TPKS," lanjut Farhan menegaskan.

Farhan juga menekankan agar pemerintah daerah (pemda) hadir memberi perlindungan kepada para korban secara intensif. Dia pun mengapresiasi upaya DP3AKB Provinsi Jabar dan Atalia Praratya Ridwan Kamil yang dinilainya bergerak cepat memberikan perlindungan dan pemulihan korban, jauh sebelum kasus ini ramai diberitakan media massa.

"Perlindungan psikologis dan pemenuhan kesehatan ibu dan anak (yang masih di kandungan maupun yang sudah lahir) menjadi prioritas utama," tegas Farhan lagi.

Farhan juga menilai penting pemenuhan hak korban sebagai anak, baik kepada sang ibu yang masih berusia anak-anak, termasuk anak-anak yang dikandung dan yang sudah lahir.

"Saya mengajak semua pihak jika ingin membantu para korban, kita kolaborasi dengan DP3AKB Provinsi Jabar. Hindari politisasi kasus ini, apalagi sampai dihubungkan dengan Pilpres 2024. Sangat tidak manusiawi," kata Farhan.

Lebih lanjut Farhan mengatakan dari semua pemberatan hukuman, mulai penjara sampai kebiri, ada satu hal yang belum diberlakukan, yaitu pembinaan dan rehabilitasi bagi pelaku setelah menjalani hukuman. Menurutnya, rehabilitasi dan pembinaan kepada pelaku akan memberi ketentuan pembatasan mobilitas fisik dan mobilitas sosial pelaku.

"Tujuannya untuk memberikan efek jera bahwa perilaku kekerasan seksual akan membawa dampak jangka panjang kepada kehidupan para pelaku tersebut. Sayangnya, pidana kekerasan seksual bukan masuk kategori extraordinary crime, sehingga tidak bisa berlaku surut. Akibatnya, perilaku kejahatan kekerasan seksual tidak bisa diusut sampai ke tindakan sang pelaku di masa lalu," tandas Farhan.
(don)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1214 seconds (0.1#10.140)