Status Awu, Gunung Api Paling Mematikan ke-4 di Indonesia Meningkat dari Level Normal ke Waspada
loading...
A
A
A
SANGIHE - Pengamatan visual Gunung Awu di Kabupaten Kepulauan Sangihe , Provinsi Sulawesi Utara mengalami perubahan dari yang semula level I atau normal meningkat menjadi level II waspada .
Perubahan status itu dikeluarkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi ( PVMBG ) yang baru saja menaikkan status Gunung Awu ke level II waspada. Hal tersebut berdasarkan pengamatan visual periode 1 Desember 2021 hingga 10 Desember 2021 terhadap gunung yang terletak pada posisi koordinat 3.682846° LU dan 125.45598° BT Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara.
"Berdasarkan hasil analisis data visual dan instrumental serta mempertimbangkan potensi ancaman bahayanya, maka terhitung mulai 12 Desember 2021 pukul 12.00 Wita, status tingkat aktivitasnya dinaikkan dari Level I (Normal) menjadi Level II (Waspada)," kata Subkoordinator Mitigasi Gunungapi Wilayah Timur PVMBG, Devy Kamil Syahbana, Minggu (12/12/2021).
Untuk diketahui, Gunung Awu memiliki potensi erupsi dengan eksplosivitas tinggi serta secara historis termasuk gunung api yang paling banyak mengakibatkan korban jiwa di antara gunung api lainnya di Sulawesi Utara dan paling mematikan keempat di Indonesia dengan korban total setidaknya 5301 jiwa.
Berdasarkan catatan sejarah gunung ini termasuk gunung api yang mempunyai masa istirahat yang panjang. Tetapi setiap letusannya selalu tergolong besar. Gunung dengan ketinggian 1320 mdpl ini berada di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Propinsi Sulawesi Utara.
Dikutip dari vsi.esdm.go.id, berdasarkan catatan sejarah yang diketahui, dari tahun 1640 sampai dengan 1966 telah terjadi 5 kali erupsi yang menelan korban serta kerugian yang cukup besar. Tahun 1711 erupsi mengakibatkan daerah antara Tabuhan dan Tahuna hancur. Sekira 3.000 orang, 2.030 orang di Kendhar, di antaranya Raja Syamsialam, 70 orang di Koloza dan 408 orang di Tahuna menjadi korban.
Tahun 1812 terjadi erupsi besar dan akibat serupa yang terjadi pada tahun 1711. Pohon kelapa hancur di seluruh pantai. 2.806 jiwa penduduk Tabuhan, Khendar dan Kolengan menjadi korban. Erupsi disertai awan panas, lahar erupsi dan lahar hujan. Kampung Trijang, pondok Pembalarian, Labakassin, Patung dan Hilang sama sekali hancur.
Lalu pada tahun 1892 terjadi erupsi besar dan hampir semua kampung sebelah pantai utara hancur. Kampung yang paling parah adalah yang terletak antara Sawang dan Tabuka. Jumlah korban semuanya mencapai 1.532 orang, antara lain dari daerah Mala, Akembuala, Anggis, Mitung, Kolengan, Metih, Khendar dan Trijang. Selain awan panas, lahar juga mengakibatkan banyak korban berjatuhan di Gereja Sawang dan Kalasugi.
Perubahan status itu dikeluarkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi ( PVMBG ) yang baru saja menaikkan status Gunung Awu ke level II waspada. Hal tersebut berdasarkan pengamatan visual periode 1 Desember 2021 hingga 10 Desember 2021 terhadap gunung yang terletak pada posisi koordinat 3.682846° LU dan 125.45598° BT Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara.
"Berdasarkan hasil analisis data visual dan instrumental serta mempertimbangkan potensi ancaman bahayanya, maka terhitung mulai 12 Desember 2021 pukul 12.00 Wita, status tingkat aktivitasnya dinaikkan dari Level I (Normal) menjadi Level II (Waspada)," kata Subkoordinator Mitigasi Gunungapi Wilayah Timur PVMBG, Devy Kamil Syahbana, Minggu (12/12/2021).
Untuk diketahui, Gunung Awu memiliki potensi erupsi dengan eksplosivitas tinggi serta secara historis termasuk gunung api yang paling banyak mengakibatkan korban jiwa di antara gunung api lainnya di Sulawesi Utara dan paling mematikan keempat di Indonesia dengan korban total setidaknya 5301 jiwa.
Berdasarkan catatan sejarah gunung ini termasuk gunung api yang mempunyai masa istirahat yang panjang. Tetapi setiap letusannya selalu tergolong besar. Gunung dengan ketinggian 1320 mdpl ini berada di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Propinsi Sulawesi Utara.
Dikutip dari vsi.esdm.go.id, berdasarkan catatan sejarah yang diketahui, dari tahun 1640 sampai dengan 1966 telah terjadi 5 kali erupsi yang menelan korban serta kerugian yang cukup besar. Tahun 1711 erupsi mengakibatkan daerah antara Tabuhan dan Tahuna hancur. Sekira 3.000 orang, 2.030 orang di Kendhar, di antaranya Raja Syamsialam, 70 orang di Koloza dan 408 orang di Tahuna menjadi korban.
Tahun 1812 terjadi erupsi besar dan akibat serupa yang terjadi pada tahun 1711. Pohon kelapa hancur di seluruh pantai. 2.806 jiwa penduduk Tabuhan, Khendar dan Kolengan menjadi korban. Erupsi disertai awan panas, lahar erupsi dan lahar hujan. Kampung Trijang, pondok Pembalarian, Labakassin, Patung dan Hilang sama sekali hancur.
Lalu pada tahun 1892 terjadi erupsi besar dan hampir semua kampung sebelah pantai utara hancur. Kampung yang paling parah adalah yang terletak antara Sawang dan Tabuka. Jumlah korban semuanya mencapai 1.532 orang, antara lain dari daerah Mala, Akembuala, Anggis, Mitung, Kolengan, Metih, Khendar dan Trijang. Selain awan panas, lahar juga mengakibatkan banyak korban berjatuhan di Gereja Sawang dan Kalasugi.