Makam Leluhur Digusur Proyek Kereta, Kiai Kasan Mukmin Memberontak Belanda

Jum'at, 05 Februari 2021 - 05:00 WIB
loading...
Makam Leluhur Digusur...
repro ilustrasi perang melawan Kolonial Belanda
A A A
MEI 1904 jelang perayaan maulud Nabi Muhammad SAW, emosi Kiai Kasan Mukmin meledak. Melihat proyek jalan trem ( kereta api ) di wilayah Sepanjang - Krian, Jawa Timur yang menggusur sejumlah makam leluhur, kemarahan tokoh muslim Sidoarjo itu tidak bisa lagi diredam.

Bagi Kiai Kasan, pemerintahan kafir yang tidak menghormati leluhur, sudah sepatutnya dilawan. "Orang orang kafir itu menghina dan tidak menghormati makam leluhur, "tulis L.A Arends pejabat Residen Surabaya dalam surat laporannya kepada Gubernur Jendral Rooseboom 20 Juni 1904.

Arends menulis laporan berdasarkan isi selebaran surat yang ditulis Kiai Kasan Mukmin. Dalam suratnya, Kiai Kasan Mukmin mengajak umat Islam untuk melawan bersama. Karenanya selebaran itu dikirim ke seluruh simpul umat Islam di Sidoarjo.

Baca juga: Penampakan Desa Mati di Majalengka, Banyak Bangunan Runtuh dan Tak Terurus

Sementara pemerintah kolonial Belanda yang memiliki pengalaman menaklukkan pemberontakan Diponegoro (1825-1830), tetap melanjutkan proyeknya. Di mana jalur kereta trem berdiri, seluruh hambatan, termasuk makam harus disingkirkan. Bagi Belanda, suplai tebu dari petani ke pabrik gula, harus berjalan lancar.

Begitu juga distribusi komoditas dari pabrik gula di wilayah Surabaya dan Sidoarjo ke pasar dagang, harus tetap terjaga. Sebagai angkutan massal, kereta trem sendiri juga lagi dilirik sebagai bisnis baru yang menjanjikan.

Tidak hanya soal penggusuran makam oleh jalur kereta trem. Laporan Arends juga menyebut, pemberontakan Kiai Kasan Mukmin dipicu pembangunan pipa air minum dari Bangil (Pasuruan) ke Surabaya. Keberadaan saluran air minum membuat jalan di sepanjang wilayah Sidoarjo terbelah dua.

Dengan pipa yang terbuat dari timah itu, Kiai Kasan menganggap air minum penduduk telah diracuni. "Racun yang dimaksud adalah air serani dan air minum itu yang dimaksud ialah air minum yang disalurkan dari sumber Kasri di Bangil ke Surabaya," tulis Arends.

Baca juga: 14 Taruna AAL Tuntaskan Latihan Sistem Kontrol dan Integrasi Alat Tempur di Malang

Dalam selebaran suratnya, Kiai Kasan juga memprotes bisnis garam. Belanda dituding mengkapitalisasi garam ke dalam bentuk bata, yang itu kotor dan najis. Belanda juga dianggap menindas penduduk, terutama dalam hal penguasaan tanah warga. Bahan pangan kehidupan dirampas sekaligus mencekik warga dengan pajak yang berat.

Dalam bercocok tanam, tanah warga kerap dikalahkan oleh kepentingan pabrik gula yang sedang menanam tebu. Warga di Desa Damarsi, Desa Kruwek, Desa Wagir, Desa Keboanpasar, dan Sumantoro, bergolak. Semuanya berada di wilayah Sidoarjo.

Persoalan sewa tanah dan pajak yang mencekik, serta kelakuan pejabat pemerintahan setempat dan orang Eropa di pabrik gula yang menindas, mendorong warga menyambut seruan perlawanan Kiai Kasan Mukmin.

Kiai Kasan Mukmin bertempat tinggal di Desa Sumantoro, Distrik Krian. Kasan Mukmin lahir di Yogyakarta dengan nama kecil Durachman. Ia merupakan putra Haji Muhammad Kasan Mukmin, seorang tokoh spiritual yang pergi meninggalkan Yogyakarta.

Setelah berselisih dengan Raja Yogya, sejak tahun 1870, Haji Muhammad Kasan Mukmin bersama Durachman, putranya bermukim di Sidoarjo (Jawa Timur). Di masa pertumbuhannya, Durachman sempat menimba ilmu di Kairo Mesir.

Ia pulang ke tanah air karena menerima kabar ayahnya (Haji Muhammad Kasan Mukmin) telah meninggal dunia. Dari Mesir Durachman tidak langsung ke Sidoarjo. Melainkan bertempat tinggal di Yogyakarta dan menjadi penganut tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang taat.

Dari Yogya ia hijrah ke Desa Sumantoro, Distrik Krian, Afdeeling Sidoarjo (Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo) dan bersalin nama Kiai Kasan Mukmin. Di Desa Sumantoro Kasan Mukmin menikahi putri Kiai Botokan, yakni pemuka agama setempat. Dari pernikahannya, Kiai Kasan dikaruniai tujuh orang anak. Dua diantaranya laki laki dan selebihnya perempuan.

Kiai Kasan Mukmin dikenal sebagai guru agama sekaligus tokoh spiritual. Tidak sedikit para pedagang dan petani tambak Sidoarjo, datang kepadanya untuk sekedar meminta jimat atau amalan doa agar usahanya lancar. Menjelang perayaan maulud nabi (grebeg maulud), lokasi pemberontakan disiapkan dan memilih Desa Keboanpasar.

Dipilihnya Desa Keboanpasar bukan tanpa sebab. Sudah lama warga Keboanpasar terkenal sebagai pembangkang. Mereka tidak gentar melawan pemerintah kolonial Belanda. Saat itu tanggal 26 Mei 1904. Di rumah Kiai Kasan Mukmin, sejak pagi para perempuan menyiapkan acara kenduri maulid, yakni kenduren muludan dalam rangka menyongsong datangnya hari maulud nabi Muhammad SAW.

Sementara para perempuan bersama anak anak di dapur, para laki laki bersembahyang. Usai sembahyang, mereka beramai ramai mengasah senjata tajam, merendamnya dengan racun dan selanjutnya diberi mantra oleh Kiai Kasan Mukmin. Kiai Kasan memiliki senjata bernama caluk rancang yang diyakini ampuh. Ketika dilempar ke udara, senjata tersebut akan memusnahkan musuh.

Kemudian, sebagai penanda diumumkannya pemberontakan, malam itu bendera berwarna putih, biru, putih dikibarkan di tengah sawah Desa Keboanpasar. Warna putih, biru dan putih dimaknai simbol kemandulan, kefanaan, dan kepiluan.

Dalam Laporan Tentang Gerakan Protes di Jawa Pada Abad XX disebutkan, tanda bendera itu (bendera putih biru putih) memberitahukan bahwa Imam Mahdi atau Ratu Adil telah turun, dan Perang Sabil segera dimulai.

Esok harinya, yakni 27 Mei adalah tepat perayaan maulud nabi. Usai bersuci dengan mencuci rambut (keramas), para pengikut Kiai Kasan Mukmin, bersama sama berkumpul di Desa Keboanpasar.

Massa berpakaian putih putih dengan berselempang klaras atau daun pisang kering serta bersenjata lengkap. Kepada para pengikutnya Kiai Kasan Mukmin menegaskan, pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda yang dilakukan adalah perang sabil. Karenanya mereka hanya menyasar pejabat pemerintahan antek Belanda serta orang orang Eropa di pabrik gula.

Dengan dimulai pekik takbir, pertempuran meletus. Massa Kiai Kasan Mukmin berhasil menawan Wedana Gedangan dan anak buahnya. Karena melawan, upas Wedana Gedangan yang bernama Kartoprawiro, dibunuh. Pasukan pemerintah Belanda sempat kewalahan.

Untuk memadamkan pemberontakan, Asisten Residen Sidoarjo sampai mendatangkan pasukan militer dari Surabaya. Meski kalah jumlah dan persenjataan, massa pengikut Kiai Kasan Mukmin pantang menyerah. Mereka terus bertempur. Bahkan Residen Surabaya yang terjun ke medan laga, berhasil mereka lukai dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit Ngemplak, Surabaya.

Pemberontakan dinyatakan berakhir pada 28 Mei 1904. Sebanyak 40 orang tewas, 20 orang luka luka dan 101 orang ditahan. Dalam pengejaran yang diiringi penyerbuan di Desa Sumantoro, Kiai Kasan Mukmin gugur tertembak. Sementara sejumlah pengikut yang tertangkap hidup hidup, langsung ditawan.

Meski pemberontakan dinyatakan berakhir, hingga beberapa hari ke depan, situasi masih mencekam. Para pejabat pemerintah kolonial Belanda masih tercekam ketakutan. Begitu juga orang orang Eropa. Yakni terutama yang berada di kawasan pabrik gula.

"Hanya di pabrik gula Ketanen masih ada rasa khawatir. Karena ada desas desus bahwa di dekat Ketanen ada desa yang dipergunakan sebagai tempat bersembunyi kaum pemberontak," tulis pejabat Resident L. A. Arends kepada Gubernur Jendral Rooseboom, 20 Juni 1904.
(msd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2205 seconds (0.1#10.140)