Pandemi, Tim Inovasi Unpad Kampanyekan Pengawet Ikan Tanpa Formalin
loading...
A
A
A
BANDUNG - Tim Inovasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung terus mengampanyekan pengawet ikan tanpa formalin sebagai salah satu solusi untuk menjaga kesehatan dan mendongkrak ekonomi, khususnya saat pandemi COVID-19.
Ketua Tim Inovasi Unpad, Prof Keri Lestari mengatakan, pihaknya terus mendorong pemerintah, akademisi, dan dunia usaha untuk menyediakan pengawet ikan yang aman dan alami serta terhindar dari formalin, khususnya bagi para nelayan dan pedagang hasil laut.
"Kalau yang namanya formalin itu kan zat kimia yang harusnya tidak digunakan, tapi kenyataanya di lapangan ada. Padahal, formalin atau boraks bisa memicu penyakit kanker. Seharusnya, ikan dan hasil laut menjadi makanan yang sehat dan bergizi," terang Keri dalam diskusi bertajuk 'Solusi Meningkatkan Ekonomi Nelayan di Tengah Pandemi Melalui Produk Inovatif' di kawasan Jalan RE Martadinata, Kota Bandung, Jumat (8/1/2020) petang.
Menurut Keri, penggunaan formalin maupun boraks sangat berbahaya. Pasalnya, bahan pengawet tersebut memiliki kandungan karsinogenik yang dapat mengaktifkan sel-sel kanker.
"Jadi ada senyawa karsinogenik. Dalam penggunaan yang tiba-tiba banyak atau sedikit-sedikit, tapi dalam jangka panjang akan mengaktifkan sel kanker," katanya.
Selama ini pun, lanjut Keri, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah merekomendasikan pengawet yang relatif aman dan diizinkan sebagai pengawet ikan. Namun, pengawet ikan berbahan aman kebanyakan sulit didapat oleh nelayan atau pedagang.
Oleh karenanya, Keri mengapresiasi produk pengawet ikan berbahan alami, yakni Pengawet Ikan Organik (PIO) yang dikembangkan oleh Zhafira Samudra Nusantara dan PT Sinergi Organik Globalindo yang diluncurkan dalam kegiatan diskusi tersebut.
"Makanya, kami berharap ini (PIO) juga ada pendampingan Kementerian Kelautan dan Perikanan, bagaimana produk pengawet alami inovasi yang bagus untuk kesehatan ini dapat mudah dijangkau," katanya.
Menurut Keri, PIO aman digunakan sebagai pengawet ikan karena tidak menggunakan zat kimia, apalagi zat berbahaya. Menurutnya, pengawet ikan alami itu terbuat dari selada air, kesemek, bayam, dan garam yang difermentasikan.
"Kerja sama (yang dibangun) harus ada akademisi, pemerintah, dan unsur bisnis, sehingga bisa mendekatkan produk ini ke supply chain. Ini diharapkan jadi kerja sama baik dan warga dapat manfaat," tandas Keri.
Sementara itu, Direktur Pemasaran PT Sinargi Organik Globalindo, Restu Kusumah mengklaim produk dapat menjadi solusi permasalahan utama dalam ranah produksi ikan laut segar. Pihaknya pun mengaku, telah memasarkan produknya ke berbagai daerah di Indonesia dan menjamin ketersediaan produknya tetap terjangkau.
"Satu liter PIO dibanderol Rp150.000 untuk mengawetkan ikan sebanyak 250 kilogram. Ini bisa menjadi pengganti formalin yang tidak baik untuk kesehatan," tegasnya.
Kualitas ikan yang terjaga secara langsung, lanjut Restu, dapat meningkatkan produksi nelayan serta tingkat konsumsi ikan dan hasil tangkapan laut bagi masyarakat, terlebih di saat kondisi pandemi COVID-19 saat ini.
(Baca juga: Tanpa Gejala, Wali Kota Bandung Umumkan Positif COVID-19 Lewat Video)
Selain itu, pihaknya pun membuka peluang ekonomi, khususnya bagi para calon distributor untuk memaksimalkan potensi pasar di 34 provinsi di Indonesia dengan nilai hingga Rp 56 miliar per tahun dari industri kelautan.
(Baca juga: Kebakaran Hebat Hanguskan Rumah Kontrakan, Jalur Jabar-Jateng Sempat Macet Saat Pemadaman Api)
"PIO ini tidak memiliki kadaluarsa, namun sesuai anjuran pemerintah, kadaluarsanya dibatasi hingga dua tahun," katanya.
Ketua Tim Inovasi Unpad, Prof Keri Lestari mengatakan, pihaknya terus mendorong pemerintah, akademisi, dan dunia usaha untuk menyediakan pengawet ikan yang aman dan alami serta terhindar dari formalin, khususnya bagi para nelayan dan pedagang hasil laut.
"Kalau yang namanya formalin itu kan zat kimia yang harusnya tidak digunakan, tapi kenyataanya di lapangan ada. Padahal, formalin atau boraks bisa memicu penyakit kanker. Seharusnya, ikan dan hasil laut menjadi makanan yang sehat dan bergizi," terang Keri dalam diskusi bertajuk 'Solusi Meningkatkan Ekonomi Nelayan di Tengah Pandemi Melalui Produk Inovatif' di kawasan Jalan RE Martadinata, Kota Bandung, Jumat (8/1/2020) petang.
Menurut Keri, penggunaan formalin maupun boraks sangat berbahaya. Pasalnya, bahan pengawet tersebut memiliki kandungan karsinogenik yang dapat mengaktifkan sel-sel kanker.
"Jadi ada senyawa karsinogenik. Dalam penggunaan yang tiba-tiba banyak atau sedikit-sedikit, tapi dalam jangka panjang akan mengaktifkan sel kanker," katanya.
Selama ini pun, lanjut Keri, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah merekomendasikan pengawet yang relatif aman dan diizinkan sebagai pengawet ikan. Namun, pengawet ikan berbahan aman kebanyakan sulit didapat oleh nelayan atau pedagang.
Oleh karenanya, Keri mengapresiasi produk pengawet ikan berbahan alami, yakni Pengawet Ikan Organik (PIO) yang dikembangkan oleh Zhafira Samudra Nusantara dan PT Sinergi Organik Globalindo yang diluncurkan dalam kegiatan diskusi tersebut.
"Makanya, kami berharap ini (PIO) juga ada pendampingan Kementerian Kelautan dan Perikanan, bagaimana produk pengawet alami inovasi yang bagus untuk kesehatan ini dapat mudah dijangkau," katanya.
Menurut Keri, PIO aman digunakan sebagai pengawet ikan karena tidak menggunakan zat kimia, apalagi zat berbahaya. Menurutnya, pengawet ikan alami itu terbuat dari selada air, kesemek, bayam, dan garam yang difermentasikan.
"Kerja sama (yang dibangun) harus ada akademisi, pemerintah, dan unsur bisnis, sehingga bisa mendekatkan produk ini ke supply chain. Ini diharapkan jadi kerja sama baik dan warga dapat manfaat," tandas Keri.
Sementara itu, Direktur Pemasaran PT Sinargi Organik Globalindo, Restu Kusumah mengklaim produk dapat menjadi solusi permasalahan utama dalam ranah produksi ikan laut segar. Pihaknya pun mengaku, telah memasarkan produknya ke berbagai daerah di Indonesia dan menjamin ketersediaan produknya tetap terjangkau.
"Satu liter PIO dibanderol Rp150.000 untuk mengawetkan ikan sebanyak 250 kilogram. Ini bisa menjadi pengganti formalin yang tidak baik untuk kesehatan," tegasnya.
Kualitas ikan yang terjaga secara langsung, lanjut Restu, dapat meningkatkan produksi nelayan serta tingkat konsumsi ikan dan hasil tangkapan laut bagi masyarakat, terlebih di saat kondisi pandemi COVID-19 saat ini.
(Baca juga: Tanpa Gejala, Wali Kota Bandung Umumkan Positif COVID-19 Lewat Video)
Selain itu, pihaknya pun membuka peluang ekonomi, khususnya bagi para calon distributor untuk memaksimalkan potensi pasar di 34 provinsi di Indonesia dengan nilai hingga Rp 56 miliar per tahun dari industri kelautan.
(Baca juga: Kebakaran Hebat Hanguskan Rumah Kontrakan, Jalur Jabar-Jateng Sempat Macet Saat Pemadaman Api)
"PIO ini tidak memiliki kadaluarsa, namun sesuai anjuran pemerintah, kadaluarsanya dibatasi hingga dua tahun," katanya.
(boy)