Motang Rua, Pahlawan Kebanggaan Orang Manggarai

Jum'at, 17 April 2020 - 05:15 WIB
loading...
Motang Rua, Pahlawan Kebanggaan Orang Manggarai
Motang Rua adalah pahlawan kebanggaan yang secara nasional mungkin kurang dikenal. Namun untuk kalangan masyarakat Manggarai, kisah perlawanan heroiknya terhadap penjajah Belanda dikisahkan turun-temurun. Foto/Ist
A A A
Patung berukuran lebih besar dari tubuh manusia dewasa itu tegak berdiri di atas beton kokoh. Patung dengan aksesoris pedang di pinggang kiri, tombak di tangan kanan, dan tangan kiri mengapit kapak itu berlatar gemunung di kejauhan dan Mbaru Wunut (rumah adat beratap ijuk dari pohon enau) menempel di belakang, menyiratkan satu kesatuan alam, manusia, dan ruang hunian. Patung dan hunian Mbaru Wunut itu ada di jantung Kota Ruteng, Ibu Kota Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Patung, Mbaru Wunut serta area yang tertata rapi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai sejak 2019 itu menjadi tempat jumpa darat berbagai komunitas dan anak-anak generasi milenial yang ada di kota Ruteng. Di tempat ini mereka bisa melihat jejak kolonial Belanda, pemerintahan kerajaan, perjuangan gigih atas sebuah prinsip yang dianut, dan sosok yang layak dikenang sebagai pahlawan.
Motang Rua, Pahlawan Kebanggaan Orang Manggarai

Sosok pahlawan itu hadir dalam patung bernama Ame Numpu atau yang lebih dikenal dengan nama julukan Motang Rua. Secara harafiah, motang rua (bahasa Manggarai) artinya babi hutan liar, galak, nakal, dan suka menyerang.

Motang Rua adalah pahlawan kebanggaan yang secara nasional mungkin kurang dikenal. Namun untuk kalangan masyarakat Manggarai, kisah perlawanan heroiknya terhadap penjajah Belanda dikisahkan turun-temurun.

Namanya pun dikenang dengan berbagai cara, entah itu berupa lirik lagu, ditulis dalam sejarah, terpampang di papan jalan, jadi nama sebuah lapangan serbaguna di pusat kota, dan juga dipahat dalam bentuk patung. Bagaimana cerita perjuangannya?

Demi Pertahankan Prinsip

Asal-muasal lahirnya perlawanan Motang Rua berawal dari masuknya Belanda di tanah Manggarai yang sekarang sudah menjadi tiga kabupaten: Kabupaten Manggarai Timur, Manggarai Raya, dan Manggarai Barat. Dengan menggunakan armada laut, Belanda datang dari Ende dan berlabuh di Borong (sekarang Ibukota Kabupaten Manggarai Timur) pada tahun 1908. Setelah berapa lama di Borong, Belanda lalu bergeser ke arah barat lewat pesisir pantai selatan. Kaum kolonial ini menjelajah lokasi demi lokasi untuk mendirikan kantor pemerintahan sipil di Manggarai.

Sebelum Belanda masuk, di Manggarai sudah ada kerajaan Todo-Pongkor. Berada di pesisir Selatan Manggarai, membuat Belanda mudah menjumpainya saat eksplorasi lokasi kantor administrasi. Menurut catatan sejarawan Dami N Toda (Manggarai Mencari Pencerahan: Historiografi), utusan Belanda sempat singgah di Todo-Pongkor. Di sana, mereka membuat kesepakatan tidak akan mengganggu apa lagi merebut hak dan kekuasaan kerajaan.

Dari catatan pula, disebutkan bahwa Belanda tak berminat untuk mendirikan pusat administrasi di Todo-Pongkor karena kurang strategis. Belanda menemukan tempat yang cocok, yaitu di Puni, Ruteng. Belanda juga berhasil membujuk penguasa Todo-Pongkor agar memindahkan ibukota kerajaan ke Puni, Ruteng.

Awal konflik dimulai ketika Belanda hendak membangun kantor administrasi pada Maret 1908. Dalam agendanya, Belanda ingin meresmikan pemerintahan administratif daerah jajahan Manggarai pada 31 Juli 1909, bertepatan dengan Hari Raya Kerajaan Belanda. Demi tujuan itu, Belanda mulai memerintah masyarakat di tiap kampung untuk membawa material berupa balok/kaso dan alang-alang ke Puni.

Sementara itu, kerajaan sebelumnya telah menunjuk kepala kampung sebagai yang bertanggung jawab terhadap kampung dalam segala urusan dengan kerajaan. Kehadiran Belanda dan segala titahnya dirasa merusak sistem pemerintahan kerajaan, kesepakatan, dan harga diri.
Motang Rua, Pahlawan Kebanggaan Orang Manggarai

Motang Rua, lelaki kelahiran Kampung Beokina, Desa Golo Langkok, Kecamatan Rahong Utara yang dipercaya sebagai kepala kampung kala itu bereaksi keras. Ia tidak mau menerima perintah Belanda begitu saja. Motang Rua menolak perintah Belanda karena dinilainya melanggar kesepakatan dan menginjak martabat masyarakat setempat.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1325 seconds (0.1#10.140)